webnovel

FIREFLIES : first love

Simon merasa tak pernah merasakan cinta sekalipun dirinya telah banyak berpacaran dan tak jarang berhubungan intim dengan wanita bahkan yang umurnya jauh lebih tua darinya. Ia selalu merasa hampa dan tak mengerti apa itu cinta ? kasih sayang ? mungkin tak hanya sebatas itu. Ia menjadi dingin dan tak berperasaan. Ia telah mati rasa. Namun semua berubah saat seorang pemuda yang adalah adik tingkatnya datang untuk memintanya menjadi model majalah kampus. Pemuda tinggi dengan rambut cepak yang suka sekali membawa kamera ternyata adalah anggota club jurnalistik. Di balik lensa kamera itu, hatinya berdebar. Mungkinkah ia sedang jatuh cinta ? Pada lelaki juga ?!!! "YANG BENAR SAJA !!" "sebaiknya kau terima saja jati dirimu sebenarnya~" "Pergi atau sepatu ini akan masuk ke mulutmu !"

JieRamaDhan · LGBT+
Not enough ratings
165 Chs

Makan Malam Bersama

"Makan yang banyak~"

Ashley sibuk mengelus si kucing hitam, Maggy. Seakan berada dalam dunianya sendiri, bersama kucing kesayangannya tentu saja. Segala rasa lelah seketika langsung lenyap begitu saja. Memang benar, mengelus bulu kucing dapat membuat pikiran lebih tenang dari sebelumnya. Sebuah terapi tanpa obat. Mungkin itu juga alasan kenapa Ashley tidak akan pernah membuang Maggy, meninggalkannya di kampung halaman, atau menitipkannya di tempat penampungan hewan hanya karena tidak diperbolehkan membawa hewan peliharaan di tempat kos. Ashley lebih memilih tinggal di gudang Cafe daripada terpisah dengan Maggy. Kucing itu sudah seperti belahan jiwanya.

'Knock... Knock..'

Dunia kecilnya pudar saat ketukan pintu terdengar. Ashley menatap pintu kamar sembari memiringkan kepala, mencoba untuk mendengar lebih seksama. Tetapi hanya keheningan yang menyapa. Ashley mengangkat bahu acuh dan kembali menyibukkan diri mengelus Maggy, kucing itu kini tengah menjilat-jilat cairan putih di dalam mangkuk berwarna merah maroon.

Tetapi, sebelum dia sempat menganggap suara itu hanya berasal dari isi kepalanya, sekedar halusinasi atau ketukan lain di pintu seberang barangkali. Suara tadi kembali terdengar, lebih menggema karena tidak ada suara yang lain seperti kunyahan dari Maggy ketika taring-taringnya meremukan biskuit kering khusus kucing.

"Kau ada di dalam Ass?"

Kini bukan hanya sekedar ketukan saja, suara seorang pemuda terdengar dari balik pintu. Memanggil Ashley untuk keluar.

"Kenapa kau memanggilku pantat," tukas Ashley tepat setelah dia membuka pintu. Pemuda di depannya hanya memasang wajah tidak bersalah, seolah tampang Ashley sama sekali tak membuatnya ketakutan.

"Namamu kan Ashley kan?"

"Tapi jangan seenaknya memanggilku pantat." Ashley keluar dari kamar, menutup pintu tanpa menguncinya. "Tambahkan 'H' ketika memanggilku."

"No!" Sean menggeleng cepat. "Itu akan terdengar seperti desahan. Ass lebih cocok untukmu, lagipula kau juga memiliki pantat yang besar." Kedua bola mata Ashley hampir saja meloncat keluar. Dia reflek menutupi pantatnya dengan kedua tangannya. Meski terkesan percuma saja karena Sean sama sekali tak menatap dua bongkahan daging di balik tubuh si raksasa yang berdiri di depan pintu. "Cepat ikut aku." Si pemuda pendek berjalan lebih dulu, Ashley mengikuti di belakang.

Mereka berjalan dalam keheningan sepanjang menyusuri selasar. Menuruni tangga sepelan mungkin, meski kaki besar Ashley cukup berisik. Pintu-pintu masih tertutup, tidak ada tanda-tanda kehidupan di balik ruangan-ruangan yang seharusnya memiliki setidaknya satu penghuni, orang sungguhan. Menambah kesan 'Gedung yang tidak berpenghuni.'

"Kau mau mengajakku kemana?"

Pertanyaan Ashley belum mendapat jawaban sampai mereka berhenti di pintu dapur. Satu-satunya ruangan yang menyala diantara kegelapan pekat mengelilinya, termasuk ruang tamu dan satu ruang lagi yang berfungsi sebagai tempat kumpul. Sayangnya tempat itu selalu kosong karena para penghuni lain lebih suka menikmati hidup mereka sendirian tanpa bersosialisasi. Terkecuali pemuda bertubuh kecil yang masih berjalan memasuki dapur.

Di atas meja makan berukuran 90x50 tergeletak beberapa dus pizza. Totalnya ada tiga, dan masih belum terbuka. Tetapi Ashley sudah bisa mencium aroma lelehan keju, papperoni, dan aroma manis lain. Butiran jagung manis barangkali? Rasa penasarannya tidak akan terjawab kalau dus itu tetap tertutup. Namun Ashley bukan tipikal orang yang selalu bertindak seenaknya, melupakan tatat krama yang sering digembar-gemborkan ibunya ketika di kampung halaman. Tidak boleh mengambil milik orang lain, tidak boleh berkata kasar (yang ini sudah dilanggar, apalagi setiap kali mengobrol dengan Helena) harus selalu membantu.

Maka, Ashley hanya duduk di hadapan dus-dus pizza yang berusaha menggodanya untuk membuka tutup dus tersebut. Dia lalu mengalihkan pandangan ke arah Sean yang tengah berada di depan lemari pendingin. Mengeluarkan sebotol soda, lalu meraih dua gelas plastik di atas lemari pendingin itu.

"Aku beli ini lumayan banyak, tidak bisa ku habiskan sendiri. Jadi, ayo temani aku makan, bantu aku menghabiskannya." Sean berjalan mendekat. Terlihat kesulitan dengan barang-barang memenuhi kedua tangannya, belum lagi botol soda itu kelewat besar. Semakin membuat tubuh Sean terlihat kecil.

Ashley mengernyitkan dahi, agak iba juga melihat tubuh sekecil Sean membawa barang yang seukuran tubuhnya.

"Mau ku bantu?" Pertanyaan Ashley bukan sekedar basa-basi semata, dia sungguh ingin membantu Sean. Hanya saja, sebagai sesama pria, dia akan merusak harga diri Sean kalau tiba-tiba mengambil alih botol soda dan gelas-gelas itu.

Sean menggeleng tegas. "Tidak perlu." Dia meletakan benda-benda itu di dekat dus pizza yang masih tertutup. "Kenapa kau hanya duduk saja? Apa kau kesulitan membuka dus ini huh?"

"Bukan begitu—"

Ucapan Ashley teredam oleh suara dus yang dibuka, karton-karton itu saling bergesekan sebelum akhirnya terlepas. Aroma lezat yang tadi menusuk-nusuk lubang hidung Ashley semakin tajam. Melingkupi ruangan berdiameter lumayan kecil. Apalagi di ruangan ini hanya ada dirinya dan si pemuda kecil. Setelah membuka semua dus pizza, Sean beralih pada botol soda yang masih tertutup rapat.

Jika tadi dia tampak tidak kesulitan membawa botol itu kemari, masalah mulai muncul saat Sean terlihat mengerutkan dahi dengan wajah tegang. Dia kesusahan memutar tutup botol plastik itu, tangannya bahkan sama sekali tidak bergerak meskipun sudah mengeluarkan seluruh tenaganya.

Tidak ada penawaran diri untuk membantu, Ashley langsung mengambil alih botol soda dari tangan Sean. Memiliki tubuh yang tinggi besar (seperti raksasa menurut Sean) tidak heran jika Ashley berhasil dalam sekali percobaan. Bahkan tidak ada ekspresi kesusahan menonjol di wajahnya. Hanya datar, seolah itu bukanlah sesuatu yang sulit.

"T—terimakasih!" Sean meraih —lebih tepatnya merebut— botol tersebut, menuangkan ke dalam masing-masing gelas plastik. Wajahnya masih menunduk secara canggung. Dia tengah menyembunyikan sesuatu, bisa dilihat dari bagaimana warna telinganya berubah menjadi merah.

"Tidak masalah.."

Ashley kembali ke tempat duduk. Sepertinya tak melihat perubahan warna pada telinga Sean. Pemuda berambut cepak itu menarik satu slice pizza rasa pepperoni keju, lelehan berwarna kuning pucat semakin melebar saat tarikan pizza tersebut semakin menjauh. Ashley memilin jalinan keju pada ujung runcing pizza, sampai benang-benang keju itu terputus sendiri. Dia mendapatkan ekstra keju, membuat pizza di tangannya semakin kaya rasa. Gigitan pertama memenuhi isi perutnya.

"Kau seperti orang yang tidak makan setahun," ejek Sean, tertawa kecil di sela-sela ucapannya. Dia menarik satu slice pada pizza dengan toping jagung di atasnya. Tidak banyak keju pada pizza ini, tetapi rasa manis tetap bisa dinikmati dari butiran jagung rebus. Lumayan aneh sebenarnya. Karena pizza jagung pasti memiliki banyak keju, bahkan hampir setebal adonan roti pizza itu sendiri.

"Kau baik hati sekali~" Ashley tidak bermaksud menjadi penjilat, dia berkata tulus dari isi hati. Sepertinya dia harus mengurangi pikiran negatif saat pertama kali bertemu orang baru. Sosok Sean yang cukup mengganggu di awal ternyata menjadi penolong saat perutnya butuh untuk diisi.