webnovel

FIREFLIES : first love

Simon merasa tak pernah merasakan cinta sekalipun dirinya telah banyak berpacaran dan tak jarang berhubungan intim dengan wanita bahkan yang umurnya jauh lebih tua darinya. Ia selalu merasa hampa dan tak mengerti apa itu cinta ? kasih sayang ? mungkin tak hanya sebatas itu. Ia menjadi dingin dan tak berperasaan. Ia telah mati rasa. Namun semua berubah saat seorang pemuda yang adalah adik tingkatnya datang untuk memintanya menjadi model majalah kampus. Pemuda tinggi dengan rambut cepak yang suka sekali membawa kamera ternyata adalah anggota club jurnalistik. Di balik lensa kamera itu, hatinya berdebar. Mungkinkah ia sedang jatuh cinta ? Pada lelaki juga ?!!! "YANG BENAR SAJA !!" "sebaiknya kau terima saja jati dirimu sebenarnya~" "Pergi atau sepatu ini akan masuk ke mulutmu !"

JieRamaDhan · LGBT+
Not enough ratings
165 Chs

Dorongan Kasar

Ashley terpaku menatap pria di atas sofa. Seolah menjadi sosok lain, penampilan Simon sekarang sangat berbeda. Rambut hitamnya tidak disisir dengan rapi, kaos polos berwarna hitam tampak melekat dengan pas di tubuhnya, juga Ashley tak dapat mengalihkan pandangan dari kaki putih mulus yang hanya ditutupi dengan celana boxer hitam.

"Kau bilang ingin minta maaf kan? Temani aku minum."

"Huh?" Ashley mengalihkan pandangan. Seluruh wajahnya perlahan terasa panas, seperti orang yang tertangkap basah telah mengintip orang lain. Tenggorokannya kelu bahkan untuk menjawab sepatah kata.

"Temani aku minum," ulang Simon seraya mengangkat dagu ke arah satu kaleng bir berwarna hijau di atas meja, sementara dia telah menenggak kaleng satunya.

"Tapi, ini kan masih sore Sen— Simon." Ashley berusaha untuk tak menatap terlalu lama pemuda di atas sofa. "Wah, pemandangan dari sini bagus yah~" Dia berjalan melewati punggung Simon menuju ke arah dinding kaca. Langit biru mulai sedikit padam, tergantikan oleh kilau kekuningan nantinya juga akan menjadi jingga merah. Gedung-gedung pencakar langit, apartemen elit lainnya, juga gedung pertokoan berjejer kuat di bawah sana. Benar-benar indah. Ashley merasa beruntung karena dia punya alasan lain agar tak bertatapan langsung dengan Simon. Setidaknya, pengalihan ini tidak akan terlalu kentara.

"Hah, dasar udik.." Simon mencibir dengan suara keras. Bibirnya menempel pada tepi kaleng hendak menyesap, tetapi sebelum cairan beralkohol itu memenuhi mulutnya, Simon menjauhkan kaleng. "Jangan bilang kau tidak pernah minum Bir?" Pertanyaan tersebut lebih terdengar seperti sindiran meremehkan.

Pemuda berambut cepak mengalihkan perhatiannya dari pemandangan di luar dinding kaca, menoleh dan tersenyum kecut. "Hehehe..."

"Berapa umurmu?" Simon menaruh kaleng bir miliknya ke tempat semula, tepat di atas embun berpola lingkaran yang masih tercetak pada meja kaca. Memutar tubuhnya menghadap ke arah Ashley agar dapat melihat wajah didepannya lebih jelas.

"Dua.. puluh," jawab Ashley.

"Bukankah kau harusnya mulai terbiasa dengan alkohol?" Simon menyilangkan tangan di depan dada. Menunjukan sikap anti-simpatik yang sangat cocok dengan wajahnya sekarang.

"Aku, benar-benar tidak bisa minum." Tatapan intimidasi dari Simon telah berhasil menggoyahkan Ashley. Saat ini dia persis seperti seekor babi kecil terpojokkan oleh hyena lapar.

Simon tersenyum miring. Ashley sudah bersiap dengan segala kalimat sarkas, atau bentuk perundungan lewat kata-kata yang pastinya membuat adrenalinnya bertambah. Penantian akan makian padanya tak kunjung datang, malahan Simon menepuk sisi kosong di sebelahnya. "Kemari."

Bagaikan anak anjing, Ashley menuruti perintah Simon. Bahkan tanpa bertanya sedikitpun.

Simon meraih kaleng bir yang masih tertutup rapat. Menarik pembuka kaleng hingga lubang berukuran sedang menganga di permukaan. Suara mendesis terdengar tepat saat penutup kaleng terbuka. "Cobalah.." Simon mengulurkan kaleng bir ke hadapan Ashley, dan hanya memandangi dengan tatapan ragu. "Kau tak akan mati karena minum alkohol." Simon jadi gemas sendiri, dia menahan diri untuk tidak menjejalkan kaleng bir ke mulut Ashley.

Tatapan keragu-raguan masih jelas terlihat, namun tangan Ashley telah terulur meraih permukaan kaleng yang lumayan licin karena masih dipenuhi embun. Dia mendongak sesaat, berharap Simon mengatakan 'Hanya bercanda, taruh kembali kaleng itu dan minum air mineral saja'. Tetapi semua tak lebih dari harapan, karena si pria bertubuh kurus mengangkat alis juga dagunya. Memastikan bahwa semua akan baik-baik saja setelah Ashley menenggak minuman beralkohol itu.

Sensasi tergelitik dan jejak rasa pahit tertinggal di permukaan lidah. Ashley merengut, alisnya menjadi satu lalu dahinya berkerut-kerut. Tapi anehnya sensasi mengejutkan tadi hanya berlangsung beberapa saat, tergantikan oleh rasa yang belum pernah merayapi lidahnya. "Tidak buruk," komentar Ashley sebelum menenggak bir itu lumayan banyak.

Simon tersenyum lebar. Berbangga atas dirinya sendiri karena berhasil membuat seorang yang tidak pernah minum alkohol merasakan bagaimana sensasi pahit terganti dengan rasa manis. "Berani taruhan? Kau akan menjadi ahli minum dalam beberapa hari saja."

"Mungkin tidak juga," sahut Ashley lirih.

"Aku tidak yakin kau akan berpegang pada ucapanmu, setidaknya sampai seminggu." Simon menenggak sekali, lalu kepalanya berputar mencari sesuatu. Remot TV, benda persegi panjang hitam yang cukup jarang dia gunakan. Anehnya remot itu selalu muncul ketika dia tidak membutuhkan, dan sekarang menghilang seperti debu.

"Mencari apa?" tanya Ashley, lumayan penasaran.

"Remot," jawab Simon tanpa menoleh ke arah Ashley. "Remot TV," tambahnya sebelum si pria berambut cepak kembali bertanya.

"Itu," Ashley mengangkat jari telunjuk pada bagian bawah tubuh Simon. "Kau mendudukinya Senior."

Simon menundukkan wajah dan mendapati ucapan Ashley benar. Remot TV tepat berada di bawah pahanya, tersembunyi secara sempurna karena bahan sofa lumayan empuk hingga membuat benda setipis remot TV mudah terselip. Simon langsung mengambilnya tanpa repot-repot mengucapkan terimakasih pada Ashley.

"Ternyata kau memang mudah kehilangan barang yah~" Suara Ashley terdengar gamang. Dia bahkan secara blak-blakan melontarkan ejekan terhadap Simon. Yang mana merupakan hal paling sakral seumur hidupnya. Pengaruh alkohol, sudah pasti.

"Oho!" Alis Simon menukik secara tajam. "Orang yang tidak pernah minum alkohol tidak berhak mengatakan hal itu."

"Memangnya kenapa?" Ashley mendekatkan lubang kaleng pada bibir tebalnya, sekali lagi menenggak cairan pahit-enak memabukkan. "Aku sudah berhasil mengatasi kekuranganku, tetapi kau masih tidak bisa memperbaiki kekuranganmu~" Nada bicaranya menjadi tidak konstan, terdengar seperti gumaman namun lainnya lebih mirip bentakan.

"Ku tarik kembali ucapanku, kau benar-benar tidak ahli minum alkohol." Simon menenggak habis cairan alkohol di dalam kaleng bir, sebelum akhirnya meremas lempeng alumunium itu menjadi lebih kecil dari bentuk aslinya. Menjadi tidak berbentuk. "Dasar orang udik yang payah."

Satu gebrakan meja berhasil mengejutkan Simon. Suara itu lebih besar daripada suara bom atau tembakan yang sering dia tonton di film laga saat harus menghabiskan diri dalam akhir pekan kesendirian. Dia tak pernah terkejut bahkan ketika suara dikencangkan dan hampir mirip seperti memiliki bioskop pribadi dalam apartemennya. Dinding-dinding bergetar di sekitarnya, namun Simon masih tetap memasang wajah datar sambil mengunyah berondong jagung rasa karamel dan bawang putih. Dia mencampur dua rasa dalam satu wadah. Tetapi tidak ada satupun suara benar-benar menganggetkannya hingga saat ini.

Ashley meletakan —membanting— kaleng bir di atas permukaan kaca. Beruntung lempeng transparan itu cukup tebal untuk menahan benturan keras berasal dari tangan besar Ashley juga kaleng bir. Wajah Ashley total memerah, meski tidak terlalu tampak karena warna kulitnya agak gelap. Sorot matanya berpendar sayu, jelas teler.

"Astaga, kau benar-benar mabuk bocah bes—"

Simon belum sempat menuntaskan kalimatnya saat bocah besar yang dimaksud mendorong tubuh kurusnya. Membentur permukaan empuk dingin dari sofa di bawah sana. Sementara seorang pemuda tepat menindih di atas dengan kedua tangan besar mencengkram lengan ramping Simon.

"Apa-apaan kau—"

Simon tak pernah bisa melanjutkan ucapannya ketika sesuatu tidak terduga terjadi.