webnovel

Mahkluk Mitologi

Lembayung senja menggambarkan warna jingga pada keindahan cakrawala saat mentari hendak tenggelam dari singgasananya.

Namun, keindahan itu segera sirna dari pandangan mata setelah sambaran petir berpadu dengan kilauan cahaya berhasil memecah gelapnya malam. Derasnya air hujan yang mengguyur daratan menjadi dominan di sekitar pemukiman warga.

Seorang pemuda dengan jas hitamnya menatap hampa keluar jendela, mengamati derasnya air hujan yang mengguyur daratan. Sesekali, ia menyibak poni yang menutupi dahinya, membiarkan helaian rambut tersebut tersibak oleh jemari tangannya. Sementara itu, pikirannya dipenuhi kegelisahan dan kekhawatiran. Pemuda itu tidak menyadari bahwa apa yang ia alami bukanlah sekadar mimpi belaka, melainkan kenyataan pahit yang harus ia hadapi.

Dalam keheningan malam yang hanya terganggu oleh suara hujan yang membasahi tanah, Nirwana merenungi tentang takdirnya yang seakan telah berubah.

Dalam kehampaan yang melanda, Nirwana mencoba mencari jawaban di dalam dirinya. Ia merenung tentang peran dan tugasnya dalam menghadapi pahitnya kehidupan. Sementara air hujan yang terus mengguyur menjadi simbol dari kesedihan dan penderitaan yang harus ia alami.

Pemuda itu merasa terombang-ambing oleh gelombang emosi yang sangat kuat. Namun, seorang gadis remaja dengan lembut menghampirinya dan berkata, "Saya dapat memahami apa yang Tuan rasakan. Namun, saya tidak dapat sepenuhnya mengerti jika Tuan tidak membicarakan apa yang Tuan rasakan."

Mendengar kalimat Tiara, pemuda itu sedikit terkejut dibuatnya. Ia menoleh ke arah gadis tersebut dan berkata.

"Ketika aku beranggapan bahwa apa yang kualami hanyalah sebatas mimpi, kenyataan itu seolah menjadi misteri dalam perjalanan hidup yang harus aku jalani," Nirwana berkata dengan suara yang terdengar penuh dengan keraguan. Dia sempat mendongak, membiarkan sudut pandangannya menatap jauh ke atas awan yang menggantung di langit. "Jika bukan karena membaca isi dari buku yang aku temukan, mungkin gerbang portal dimensi alam tidak akan terbuka."

Gadis remaja itu mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan ruang bagi pemuda itu untuk berbagi beban yang ia rasakan.

"Anda tidak sendirian, Tuan ... Ada saya di sini," ungkap gadis itu dengan lembut. "Kita semua memiliki perjalanan hidup yang penuh dengan misteri dan tantangan. Tetapi dengan berbicara dan berbagi, kita dapat menemukan kekuatan dan pemahaman yang lebih dalam."

Nirwana menatap gadis remaja tersebut dengan rasa terima kasih yang mendalam. "Terima kasih atas apresiasinya, Tiara."

"Tuan, bisakah Anda menceritakan kepada saya tentang awal mula terjadinya peristiwa yang menimpah diri Anda?"

"Berhentilah memanggilku Tuan."

"Baiklah." Tiara mengangguk pelan.

Nirwana kembali menatap keluar jendela dari dalam pondok tua, sementara hujan lebat menguyur daratan di luar sana. Tetes-tetes air menari-nari di depan jendela, menciptakan melodi yang menenangkan. Suasana di dalam ruangan terasa hangat dan nyaman, dengan cahaya lembut dari lampu yang menyala redup.

Pemuda itu merenung dalam diam, membiarkan pikirannya melayang ke masa lalu untuk mengingat kejadian yang telah menimpanya.

Di dalam ruangan yang hangat, Tiara mendengarkan cerita yang di ungkapkan oleh Nirwana, ia pun dapat merasakan kegelisahan yang terpancar dari paras tampan pemuda tersebut.

Malam itu, suasana di desa Altaraz begitu dingin dan damai seperti biasanya. Desa ini merupakan pemukiman para elf yang terletak di pegunungan Alpine, di bagian utara negara Amarta. Beberapa elf laki-laki sibuk berlalu-lalang di jalan, ada yang baru saja kembali dari hutan dan ada yang sedang berpatroli di sekitar pemukiman desa.

Di atas menara lonceng, seorang gadis elf bernama Linda berdiri dan menatap jauh ke cahaya redup bulan purnama. Senyum indah terlukis di wajahnya saat ia melihat gemerlap cahaya bintang di langit. Namun, senyuman itu segera menghilang saat sesuatu menarik perhatiannya. Bayangan hitam yang cepat melesat dari balik keheningan malam.

Linda memicingkan mata, terkejut melihat seekor naga terbang menuju pemukiman desa. Dengan cepat, dia membunyikan lonceng dan berlari turun dari menara. "Naga! Aku melihat naga terbang menuju desa kita!" serunya sambil berlari di sepanjang jalan. Penduduk desa keluar dari rumah mereka, bingung dengan keadaan yang mendadak.

Beberapa elf laki-laki segera mengambil busur dan anak panah, siap untuk melawan naga. Sementara itu, Linda memisahkan diri dari kelompok dan bergegas menuju pondok Tiara, salah satu penduduk desa, untuk memberitahukan tentang kemunculan naga.

Malam itu, semua warga desa sibuk mengungsi dari pemukiman mereka. Sedangkan yang lain tetap berjaga dengan senjata seperti pedang dan busur yang dilengkapi anak panah.

Suara kegaduhan di luar ruangan terdengar oleh Tiara yang sedang duduk di kursinya. Sementara itu, Nirwana berdiri di dekat jendela seolah tidak menghiraukan kegaduhan tersebut.

Suara gaduh tersebut membuat Tiara bangkit dari kursinya dengan sigap. Pintu terbuka dengan paksa, mengungkap sosok seorang remaja dengan keringat mengucur di dahinya. Gadis remaja itu membelakangi kepala, menunjukkan jari telunjuknya keluar dari pondok dengan nafas terengah-engah.

"Naga! Aku melihat naga terbang yang menuju desa kita!" serunya dengan suara yang terpaksa keluar dari mulutnya.

Tiara terkejut. Dia bangkit dari kursinya dengan cepat. "Apa?!"

Nirwana mengerutkan kening sejenak. "Apa maksudmu?!"

Tiara menoleh, saling bertatap mata dengan Nirwana. Namun, dia segera mengerutkan keningnya. "Tuan Nirwana! Anda mungkin tidak percaya, tapi ini adalah kenyataan pahit yang harus kami terima."

"Maafkan aku," kata Nirwana dengan cepat.

Tiara segera keluar dari rumah, diikuti oleh seorang pemuda yang berjalan di belakangnya. Mereka berdua bergegas meninggalkan rumah.