webnovel

Ambang Kematian

Dalam perjalanan menuju ibukota Ignea, William memacu langkah kuda lebih cepat dari biasanya, berlari melewati jalan berbatu hingga akhirnya ia melihat sesuatu yang mencurigakan.

Kepulan asap berwarna kelabu membubung tinggi ke udara. Pemuda itu memicingkan mata, merasa terganggu oleh kejadian yang tak lazim di sekitar sana.

"Sepertinya ada sesuatu yang aneh di depan sana," gumamnya. William lalu berpaling, menemukan sepasang insan dengan kuda putih yang mereka tunggangi. Sontak, jari telunjuk William menunjuk ke arah sumber kepulan asap yang membubung tinggi ke udara. "Tuan Nirwana, saya akan pergi ke sana untuk melihat situasi yang sedang terjadi di desa Nortwood. Sebaiknya Anda tetap di sini dan menunggu hingga saya kembali."

Nirwana yang menyadari bahaya segera mengerutkan dahinya. "Sebaiknya jangan pergi ke sana, Tuan William."

William menggeleng samar. "Maafkan aku, Tuan Nirwana. Bagi saya, tugas adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang kesatria. Oleh karena itu, aku akan pergi ke sana."

William sontak berpaling dan beranjak pergi meninggalkan Nirwana. Sementara Tiara hanya dapat mendundukkan kepala, bersembunyi di balik punggung Nirwana ketika mereka masih duduk di atas pelana.

"Perasaanku memberi peringatan tentang sesuatu yang buruk terjadi di desa itu. Namun, kita tidak punya pilihan selain bertindak, Nirwana," bisik Tiara dengan suara lembutnya.

Nirwana termenung sejenak sebelum berkata, "Berdiam diri tidak akan mengubah apa yang telah terjadi."

"Tapi, Nirwana—"

"Tiara, jika seorang kesatria melanggar perintah yang diterimanya, dia akan dianggap sampah. Namun, seseorang yang membiarkan temannya terluka, derajatnya lebih hina dari sampah. Izinkan aku membantunya jika sesuatu terjadi padanya."

Perasaan cemas terpancar jelas dari wajah cantik Tiara di belakangnya. "Aku hanya khawatir untukmu, Nirwana. Aku takut jika terjadi hal yang tidak diinginkan padamu."

Nirwana menoleh tegas. "Lebih baik mati di medan perang sebagai seorang pejuang daripada melarikan diri seperti seorang pengecut."

Tiara tersentak saat kata-kata itu mengguncang hatinya. Perasaan sedih dan cemas bercampur menjadi satu dalam dirinya.

"Baiklah, tapi aku akan ikut denganmu." Suara Tiara penuh tekad untuk mendampingi Nirwana dalam perjalanan yang penuh tantangan menuju desa yang terancam bahaya.

William menunggangi kuda melintasi jalan berbatu yang terjal, melalui semak belukar yang lebat di tengah hutan yang sunyi. Matanya sesekali memperhatikan kepulan asap kelabu yang membumbung tinggi ke langit. Dengan sigap, pemuda itu memacu kudanya menuju pemukiman desa yang diyakininya tengah berada dalam bahaya. Suasana penuh dengan ketegangan terasa di udara, di mana urgensi tindakan terasa semakin mendesak setiap detiknya.

Kobaran api bergejolak semakin kuat, membara dan membakar setiap atap rumah warga. Suara gaduh dan isak tangis yang menggema menambah kepanikan yang tak terhingga.

Seorang ibu berusaha keras untuk membuka pintu rumahnya, berharap bisa menyelamatkan anak balitanya. Namun, usahanya sia-sia saat ia tertimpa bongkahan kayu yang keras mengenai punggungnya. Sementara itu, sang anak yang masih balita, terdiam tak berdaya setelah menyaksikan ibunya tewas bersimbah darah. Dalam keadaan panik, ia tak mampu berbuat banyak ketika api melahap setiap sudut rumahnya. Hanya isak tangis dan jeritan histeris yang terdengar dari balik jendela berlapis kaca.

Jeritan histeris sang balita menusuk hati William, memaksa dirinya untuk menuruni punggung kudanya saat tiba di pemukiman desa. Sementara kobaran api semakin membara, membakar sebagian atap rumah warga.

"Beberapa rumah terbakar," William melihat sekeliling dengan pandangan yang cepat, mencari asal suara yang memilukan. Nafasnya terengah-engah dan tubuhnya terasa lelah akibat berlari cepat. "Namun, aku harus mencari tahu dari mana suara itu berasal."

Mendengar suara jeritan yang memilukan, William melompat ke dalam aksi tanpa ragu. Dengan langkah cepat dan hati yang penuh keberanian, ia berlari secepat mungkin menuju sumber suara tersebut. Tanpa ragu, William dengan sigap melompat menembus jendela berlapis kaca yang pecah akibat kebakaran, demi menyelamatkan sang balita yang ditinggalkan oleh orang tuanya.

Saat masuk ke dalam rumah yang terbakar, William merasakan panas yang menyengat dan asap yang menyengat mata. Dengan hati yang berdebar kencang, ia berusaha menemukan sang balita di tengah kekacauan dan kobaran api yang mengamuk. Dalam suasana yang penuh tekanan dan ketegangan, William berjuang mati-matian untuk menyelamatkan nyawa sang anak kecil yang masih balita, dengan harapan dapat membawa dia keluar dari bahaya yang mengancam.

William keluar menerobos kobaran api yang membara, hatinya penuh dengan tekad untuk menyelamatkan sang balita yang terjebak di dalamnya. Dengan keberanian yang menggetarkan, pemuda itu mendobrak pintu yang terbakar hingga akhirnya berhasil menyelamatkan sang balita dari ancaman bahaya yang mengintai. Tubuhnya terasa letih dan terbakar sinar panas api saat ia berjalan menjauh dari kobaran api yang membara, namun senyuman samar terlintas di wajahnya.

Beberapa orang berhimpun di sekitarnya, bersyukur atas keselamatan sang balita yang telah diselamatkan oleh William. Ketika ia menyerahkan balita itu kepada warga, tubuhnya semakin melemah hingga membuatnya terjatuh ke tanah yang hangat akibat kobaran api. Kelopak matanya perlahan menutup, namun ia masih sempat melihat Nirwana dan Tiara yang turun dari kuda mereka.

Nirwana dan Tiara segera berlari mendekati William dengan penuh kekhawatiran. "William, bertahanlah! William!!" seru Nirwana dengan suara penuh kekhawatiran, mencoba membangunkan pemuda itu. Namun, akhirnya William harus menutup kedua matanya, meninggalkan mereka dalam ketegangan dan kekhawatiran yang mendalam.

Jemari Tiara menggengam rapat pergelangan tangan William. Ia tersentak karena tidak dapat merasakan denyut nadi pada pemuda tersebut. Tiara menoleh ke arah Nirwana yang masih berada di sampingnya.

"Aku sama sekali tidak merasakan denyut nadinya."

"Apa?!" Nirwana terbelalak seketika. Pandangannya sontak tearahkan pada sosok pemuda yang masih terbaring di hadapannya. "Tidak mungkin ..."

Salah seorang warga berupaya untuk melepas zirah baja dari tubuh kesatria tersebut. Hingga suatu ketika, salah seorang pria paru bayah menekan berulang kali dada William dengan sekuat tanaga, berharap pemuda itu dapat bernafas dan membuka matanya.

Jemari Tiara menggenggam erat pergelangan tangan William, namun ia terkejut karena tidak merasakan denyut nadi pada pemuda tersebut. Dengan wajah penuh kekhawatiran, Tiara menoleh ke arah Nirwana yang masih berdiri di sampingnya.

"Aku sama sekali tidak merasakan denyut nadinya," ucap Tiara dengan suara gemetar.

"Apa?!" Nirwana terbelalak, matanya menatap dengan penuh kecemasan sosok pemuda yang terbaring di depan mereka. "Tidak mungkin..."

Salah seorang warga berusaha melepas zirah baja dari tubuh kesatria itu. Dengan cepat, seorang pria paru baya mulai melakukan tekanan berulang pada dada William dengan sekuat tenaga, berharap pemuda itu dapat bernafas kembali dan membuka matanya. Suasana tegang dan penuh kekhawatiran terasa di udara, di mana harapan dan keputusasaan bergelut dalam detik-detik yang menentukan.

William seakan memuntahkan sedikit cairan dari mulutnya, disertai dengan batuk berulang kali saat ia masih terbaring lemas di permukaan tanah. Napasnya mulai terengah-engah, menunjukkan tanda-tanda kesadaran yang kembali. Kini, dengan penglihatannya yang kabur, ia dapat melihat kembali dua sosok yang dikenalinya.

"Nirwana... Tiara, di mana aku?" suara William terdengar lemah, namun penuh dengan kebingungan.

"Nirwana, lihat," Tiara menoleh kepada William dengan ekspresi lega. "Dia masih hidup!"

Senyuman lega terukir di wajah Nirwana. "Syukurlah," ucapnya dengan suara penuh rasa syukur dan lega. Suasana lega dan haru terasa di antara mereka, menyambut kembalinya William dari ambang kematian.