webnovel

Fell in LOVE with a CRIMINAL

TAMAT [Novel ini sedang dalam tahap revisi dan pengeditan] Note : Buku kedua dan ketiga akan segera diterbitkan. Harap bersabar karena proses pencocokan plot dan lain-lainnya membutuhkan waktu yang lumayan lama. Warning : [ 18+ ] dilarang untuk pembaca di bawah umur. Banyak konten kekerasan dan pembunuhan sadis di dalam novel ini. Harap dedek2 kecil yang belum cukup umur, baca saja novel kakak-kakak Author lain yang lebih sesuai rating yaa ?? Silahkan add friend saya di Facebook : Audy Here Saya biasa update beberapa informasi tentag FLWC di fb. Silahkan di Add yaa. Terima kasih Sinopsis : Apakah mungkin untuk jatuh cinta dengan kriminal? Earl, seorang perwira militer kelas menengah yang tertimpa berbagai masalah rumit dalam hidupnya. Suatu hari, Ia harus menangkap Arthur, pria jangkung seperti Slanderman, sang bos mafia nomor satu yang menjadi buruan semua penegak hukum dunia. Top criminal level SSS! Dapatkah Earl menangkap Arthur? Atau justru dirinyalah yang terjerat pesona memabukkan no.1 kriminal ini? Jatuh cinta pada seseorang yang sangat berbahaya. Cinta terlarang antara Perwira dengan kriminal top. Akan jadi seperti apakah kisah cinta mereka berdua? Dapatkah Earl menangkap Arthur? Atau justru dirinyalah yang terjerat pesona memabukkan kriminal no.1 ini?

Audy22 · Urban
Not enough ratings
507 Chs

Datang berkunjung

Earl tertidur dengan damai. Matanya terpejam begitu tenang dan bibirnya yang tajam itu kini terkatup dan hidungnya yang mancung itu berirama dengan nafasnya. Arthur bergerak untuk mengecup bibir itu sedikit lama dan beralih pada dahi Earl.

"Selamat tidur, Earl,"

Keesokan harinya. Earl bangun tepat pukul enam pagi dan memandangi sekitar kamarnya. Arthur memindahkan Earl ke kamar dan pria itu sepertinya telah pergi lama ketika Earl merasakan kasurnya yang dingin. Tubuhnya terasa segar saat ini dan langsung melakukan rutinitas ritual sakralnya di toilet. Earl memakai rok span selutut berwarna hitam dan kemeja hitam lengan panjang. Mematutkan dirinya di depan cermin dengan ekspresi tidak terbacanya.

Setelah dirasa cukup untuk menyisir rambut dan mengikat rambutnya ponytail seperti biasa. Kemudian Earl mengambil tas kecil hitamnya dan segera berangkat meninggalkan rumah. Ketika perjalanan yang singkat, Earl telah sampai di pemakaman dengan dua tangkai mawar yang ia beli dari rumah seorang warga sebelum ia sampai di pemakaman. Terlalu pagi untuk sebuah toko bunga membuka tokonya di jam tujuh pagi.

Earl mengingat selalu kejadian di hari itu. Pengantar jenazah yang berjalan mengiringi jenazah seorang kakek tua. Earl memegangi foto ayah angkatnya dengan tangan bergetar dan seperti hampir hilang nafasnya, mendengar seseorang petugas piket memberinya kabar di asrama militer bahwa ayah angkatnya meninggal dunia.

Earl kembali ke dunia nyata, dan merasakan matanya mulai memanas dengan genggaman mawar yang menguat. Masih berjalan lambat. Kakinya menapaki deretan pijakan demi pijakan yang tersusun rapi membentuk alur jalan menuju ke dalam pemakaman. Ekspresi wajah Earl seketika sendu ketika satu belokan lagi, ia akan bertemu dengan nisan ayah dan ibu angkatnya. Earl terhenti sejenak untuk menenangkan dirinya.

Memang mereka bukanlah orang tua kandung. Tetapi merekalah yang menghidupi Earl hingga bisa sesukses ini. Hingga ia bisa meraih cita-citanya untuk menjadi militer. Earl ingin sekali berbangga dengan dirinya saat ini. Hanya kepada kedua orang itu, hanya kepada mereka Earl ingin pamer... meskipun itu bukan gayanya sama sekali.

Earl ingin mereka tertawa bahagia di setiap acara pengangkatan pangkatnya, Earl ingin melihat mereka menceritakannya ke tetangga-tetangga dengan bangga, bahwa anak yang mereka pikir anak urakan dan bandel itu kini telah menjadi sosok perwira dan bisa berbicara langsung dengan Presiden.

Earl ingin setiap kejadian besar dalam hidupnya, mereka akan hadir untuk merayakannya bersama. Earl menginginkan semua yang kini telah terampas darinya di masa depan. Telah terkubur bersama jasad ayah dan ibunya di dalam peti mati. Earl menundukkan kepalanya, menatap nanar angkle boot hitamnya dan menggigit bibir dalamnya kuat. Menahan tangis.

Earl dengan penuh kerelaan kembali melangkahkan kakinya dan berbelok. Matanya menatap seorang pria yang membelakanginya. Laki-laki yang dengan sekali lihat dari sisi manapun Earl akan langsung mengenalinya. Bunyi langkah kaki Earl membuat pria itu menoleh dan berbalik menatap Earl yang berjalan lambat menuju nisan yang tepat berada di depan pria itu.

Tidak ada raut wajah yang Earl perlihatkan selain kesedihan mendalam di mata itu. Earl melewati pria itu dan meletakkan mawar merah di atas nisan yang telah ada mawar merah yang lain di atasnya. Earl pun mundur beberapa langkah hingga sejajar dengan pria itu dan kemudian mereka berdoa bersama.

"Ayah... ibu... aku datang berkunjung lagi..." Earl terhenti sesaat.

"Aku semakin jarang mengunjungi kalian karena akhir-akhir ini, aku sibuk di militer... ku harap kalian memakluminya,"

"Ayah... ibu. Ini adalah hari ulang tahun pernikahan kalian. Aku datang tanpa satupun hadiah yang aku bawa selain mawar merah yang kalian sukai. Aku tahu aku perwira yang pelit," Earl tersenyum dipaksakan.

"Aku mulai menjalani hariku seperti biasa. Menjalankan misi dan pergi memata-matai. Oh iya! Ayah, ibu. Aku hadir di pesta ulang tahun ibu negara dan diundang langsung oleh Presiden. Jika kalian masih hidup, aku yakin kalian akan iri padaku saat ini hehe,"

"Ayah, ibu. Jangan khawatirkan aku. Aku telah terbiasa hidup dalam ancaman kematian. Walaupun aku sempat hampir mati sekali, tetapi anakmu ini terlalu hebat untuk melangkahi malaikat maut.... Aku selalu menjaga kesehatanku bu. Aku tidak minum-minum hingga mabuk berat. Aku rutin minum obat tradisional yang sering ibu buatkan untukku agar tubuhku tidak mudah sakit,"Earl merasakan air mata mengalir dan terjatuh lembut di pipinya.

"Aku telah belajar bela diri dan hingga saat ini tidak ada yang mampu bertahan melawanku di militer, ayah... kau tidak perlu khawatir apabila ada laki-laki jahat yang akan memperkosaku atau ingin mencopet dompetku ketika di jalan,"

"Aku akan lebih bisa diandalkan. Ayah dan ibu istirahatlah yang tenang... aku... aku..."Earl tidak sanggup lagi berkata. Air matanya mengalir deras dan ia menutup mulutnya yang terasa kelu.

"Kalian tidak perlu khawatir tentang Earl di masa depan. Aku akan menjaganya, mengawasinya dan memperhatikannya dengan serius. Aku tidak mengenal kalian dan begitu juga sebaliknya. Tetapi aku tahu, didikan kalian terhadap Earl membuatku sadar, betapa hebatnya kalian hingga mampu membuat Earl berjuang sampai saat ini,"

"Jangan khawatirkan Earl. Aku yakin ia akan sukses dan bahagia. Ia sangat kuat, percayalah. Ia wanita banteng pertama yang aku temui. Tidak ada perampok yang merampok Earl ketika di jalan, yang ada Earl merampok perampok di jalan,"

"Aku tidak pernah merampok! Kau jangan memfitnahku di depan orang tuaku, Arthur,"

Arthur pun menarik pinggang Earl agar mendekat padanya yang kemudian mengelus kepala Earl. Earl pun menyandarkan kepalanya di dada Arthur sambil terus menangis.

"Esensi kami... aku akan jaminkan kebahagiaan untuk putri kalian. Karena putri kalian ada prioritas utama, kalian tidak perlu khawatir lagi terhadap putri kalian," ucap Arthur dan kemudian menenangkan Earl dengan memeluknya.

Earl membuka seluruh perisai dalam dirinya. Menumpahkan segala emosinya dengan begitu keras. Arthur tidak akan pernah bisa menjadi seperti Earl. Hidup dengan begitu buas dan membangun tembok baja yang kokoh untuk menutupi kelemahannya.

Itulah mengapa Earl seperti mampu menginjak apapun yang menghalangi jalannya. Karena Earl, telah berlatih belasan tahun untuk membangun karakternya hingga menjadi sosok wanita yang sulit ditembus. Ia adalah kaisar tak terkalahkan dari cerita kuno. Ia tangguh. Dan tidak ada yang bisa membangun karakter sekuat Earl. Ialah satu-satunya di dunia, yang ingin Arthur dapatkan. Kaisar angkuh itu, Earl.

"Ayo pulang," bisik Arthur pelan dan Earl mengangguk dalam pelukan Arthur.

Menyadarkan Earl, jika ia sedikit bahagia ketika Arthur mengatakan janji di depan makam kedua orang tuanya untuk melindunginya. Diliriknya Arthur sebentar dan kemudian menatap ke depan kembali.

"Aku tidak akan menagih janji yang kau buat sendiri di hadapan makam ayah dan ibuku... tetapi... bolehkah aku menunggu janji itu kau tepati?"

.

.

.

To be continued