webnovel

Dijodohkan dengan Wanita Lain

Weekend ini kulalui dengan begitu gembira. Sudah tak sabar aku ingin segera bertemu dengan  Aldi dan mengatakan bahwa aku ingin hubungan kami bisa kembali seperti sebelumnya. Tak lupa, aku juga ingin menjawab pinangan laki-laki itu.

Segera kuambil ponsel menekan tombol aplikasi Whatsapp, dan mencari kontak Aldi dan mengiriminya sebuah pesan.

[Kita langsung ketemu di kafe saja, ya. Aku cuma ingin bicara berdua. Kalau kamu ke sini, anak-anak pasti akan ikut.]

Tak lama, Aldi pun membalas pesanku, yang isinya menyetujui permintaanku. Bahkan, dia juga mengusulkan agar tempat pertemuan kami diganti di kafe yang lebih dekat rumahku. Alasannya, agar tak menyulitkanku tentunya, cukup dengan naik ojek, dalam waktu sepuluh menit pun sudah sampai di tujuan.

Riasan di wajah sudah dipastikan rapi, dengan warna lipcream nude yang menempel di bibir, membuat kepercayaan diri ini meningkat. Bahkan, keputusanku untuk memberikan hubungan ini kesempatan sekali lagi, rasanya sudah sangat tepat.

"Demi Kenzo dan Naura .... Tuhan, tolong ridhai setiap langkahku."

Dengan penuh percaya diri kaki ini melangkah ke luar kamar. Tak lupa, senyum terbaik mulai kuperlihatkan. Rasanya, aku ingin seisi dunia mengetahui bahwa hari ini, aku akan menerimamu kembali. Bukan hanya sebagai seorang kekasih, tetapi juga sebagai calon suami sekaligus ayah sambung untuk kedua anakku.

"Mama cantik banget. Mau ketemu Om Papa, ya?" tanya Naura yang berada di ruang keluarga saat melihatku keluar kamar dengan nada polosnya.

Aku menghampiri putri kecilku itu sambil tersenyum lebar. "Iya, Sayang. Mama mau ketemu Om Papa.

"Kenzo boleh ikut, nggak, Ma?" tanya Kenzo.

"Ara juga ...," sahut Naura.

Kedua anak di hadapanku ini selalu menampakkan keantusiasan mereka tiap kali berkaitan dengan Aldi. Hal itu makin membuat hati ini yakin, bahwa keputusanku untuk kembali pada laki-laki itu memanglah tepat.

"Nis ...," panggil Ibu, "apa kamu sudah mengambil keputusan?"

Kembali kutegakkan badan ini, kemudian berjalan perlahan dan duduk di sofa di sampingnya. Pelan-pelan kujelaskan bahwa hati ini sudah sangat yakin, bahwa statusku yang seorang janda beranak dua, tak 'kan memengaruhi hubunganku dengan Aldi. Baik saat ini, ataupun nanti.

Aku pun berusaha meyakinkan ibu, bahwa hal itu juga pasti akan diterima oleh keluarga Aldi. Kuceritakan semua sikap baik yang dilakukan keluarga laki-laki itu kepadaku. Akan tetapi, rupanya ibu masih saja merasa khawatir, hal itu dia tunjukkan dari raut wajah sedih dan genangan air mata yang memenuhi kelopak mata itu

"Apa kamu yakin dengan keputusanmu?" tanya Ibu.

Aku mengangguk. "Nisya yakin, Bu. Tolong doakan Nisya, ya, Bu."

Setelah mendapat restu dan dukungan dari Ibu, aku pun berangkat ke sebuah kafe yang tak jauh dari rumah. Akan tetapi, belum juga aku melangkah keluar dari halaman rumah, tiba-tiba Lina datang menghampiriku.

"Bisa kita bicara?" Lina langsung mengatakan keinginannya.

"Bisa, ayo masuk dulu," ajakku.

Namun, gadis yang suka mengenakan dress ketat itu menolak. "Aku nggak mau basa-basi. Aku ke sini cuma sebentar. Aku minta, tolong jauhi Kak Aldi. Kalian juga sudah putus, 'kan? Jadi, jauhi dia. Dia pantas mendapat wanita yang jauh lebih baik dan single."

Sungguh aku terkejut dengan permintaan Lina. Akan tetapi, apa yang dia katakan memang ada benarnya. Semua yang gadis itu ucapkan, kembali melemparkanku ke sebuah kenyataan tentang statusku, dan membuatku kembali berpikir ulang tentang rencanaku hari ini.

Aku hanya tersenyum merespons perkataan Lina, tak ingin sedikit pun aku menunjukkan bahwa saat ini, ada kegetiran dalam hatiku atas semua yang dia ucapkan tadi.

Gadis itu lantas mengeluarkan sebuah lembaran berupa foto dari dalam tas jinjing berwarna putih tulang. Lalu, menunjukkannya kepadaku. Itu foto seorang gadis berparas cantik, dan sepertinya aku pernah melihat gadis itu, tetapi entah di mana.

"Semalem aku udah kasih tahu ke seluruh keluarga besar aku, kalau Kak Aldi dan Kak Nisya udah putus. Mereka sungguh sangat senang. Bahkan, nenek langsung memutuskan untuk menjodohkan Kak Aldi dengan wanita ini."

Dijodohkan? Tidak ... tidak mungkin hal itu terjadi. Kenapa Aldi tak mengatakan apa pun tentang ini padaku? Aku tahu, di antara keluarga besar laki-laki itu, hanya orang tuanyalah yang merestui hubungan kami. Sedangkan yang lain ... sama seperti Lina, mereka menginginkan Aldi agar mendapat wanita yang statusnya belum menikah. Akan tetapi, harusnya laki-laki itu mengatakan padaku jika dirinya telah dijodohkan. Setidaknya, hati ini sudah siap dan tak berharap akan datangnya hari ini.

"Udah. Itu aja, sih. Aku cuma mau kasih tahu itu. Ya, aku doain, semoga Kak Nisya mendapat laki-laki yang, ya ... statusnya sama seperti Kakak. Duda ...."

Bak tersambar petir di siang bolong, hatiku benar-benar terkejut melihat dan mendengar semua tingkah dan ucapan Lina hari ini. Aku paham, gadis itu ingin mengeluarkan seluruh isi hatinya yang sudah dia tahan, mungkin sejak dua tahun lalu. Namun, apa memang harus terus-menerus mengingatkanku tentang status, hingga mengatakan, seolah aku hanya pantas bersanding dengan duda.

Aku tak sempat ... tidak, mungkin lebih tepatnya, Lina tidak memberiku kesempatan untuk berbicara. Gadis itu hanya menghina dan menghinaku sejak awal kedatangannya. Hingga akhirnya dia pergi, meninggalkanku yang masih syok atas tingkah lakunya.

Tak ingin merasa sakit hati lebih dalam lagi, aku pun segera pergi ke kafe, dan menanyakan langsung pada Aldi tentang perjodohan itu. Berharap, jika laki-laki itu bisa memberikan penjelasan yang bisa menenangkan keresahanku.

Aku yang memutuskan berjalan kaki ke kafe tersebut, akhirnya sampai juga dalam waktu lima belas menit. Aku menoleh ke kanan dan kiri, mencari sosok Aldi dalam ruangan yang untungnya masih belum sesak orang itu.

Netraku tertuju pada sebuah bangku kafe, di mana di sana sedang duduk dua orang, seorang perempuan dan laki-laki yang tak lain itu adalah Aldi. Perlahan langkah ini maju mendekati bangku itu. Senyum dan tawa di wajah Aldi terlihat jelas dari posisiku saat ini.

"Nisya ...," panggil Aldi dan membuat gadis yang sedang bersamanya juga menoleh padaku.

Ya Tuhan ... ada apa dengan hari ini? Kebahagiaan dan keantusiasanku hari ini untuk menemui Aldi dan mengatakan tentang kelanjutan hubungan kami seolah tak mendapat restu dari-Mu. Kenapa aku harus bertemu dengan Aldi, dan dia sedang bersama dengan wanita yang fotonya Lina tunjukkan tadi? Mungkinkah semua yang Lina katakan itu benar, dan Aldi menyetujui perjodohan itu?

Namun, kenapa Aldi masih terus menunjukkan sikap bahwa dirinya sangat mencintaiku? Perlakuan laki-laki itu tak berubah. Memundurkan sebuah kursi di sampingnya untuk kududuki. Apakah perhatian kecil itu hanya untuk menjatuhkanku ke dalam jurang kepedihan?

"Ray, kenalin ... ini Nisya. Wanita yang aku ceritakan ke kamu," ucap Aldi sambil tersenyum lebar pada wanita itu.

"Ah, i see. Halo, Nis, kenalin, aku Raya." Wanita itu mengulurkan tangannya padaku, mengajakku berkenalan.

Raya ... nama yang indah dengan paras yang cantik. Kelihatannya, wanita itu juga baik.

"Nisya," balasku singkat sambil membalas uluran tangannya.

"Senang bisa bertemu dengan kamu," ucapnya ramah. "Oh ya, Al. Aku harus pergi sekarang. Ada kerjaan soalnya."

Aldi mencoba menahan wanita itu pergi, dan rasanya begitu sakit melihat hal itu. Akan tetapi, bibir ini masih berusaha tetap tersenyum. Aku tak ingin menunjukkan kelemahanku di hadapan kedua makhluk berlainan jenis itu.

Selepas kepergian Raya, Aldi langsung menghadap ke arahku. Menatapku seolah penuh cinta, tetapi kuyakini itu hanya sebuah kepalsuan.

"Raya itu siapamu, Al?" tanyaku yang mengharap sebuah kejujuran dari mulut Aldi sendiri.

"Oh ... dia temanku yang pernah aku ceritakan ke kamu dulu. Kamu ingat, 'kan tentang teman masa kecilku?" Cara Aldi bercerita tentang Raya begitu berbeda dari biasanya dia menceritakan tentang teman-temannya yang lain.

Aku tersenyum sinis. Tak percaya akan apa yang Aldi katakan tentang Raya.

"Teman masa kecil yang bentar lagi akan jadi jodoh?"

Raut wajah Aldi berubah serius. Laki-laki di hadapanku ini mengubah posisi duduknya menghadapku. "Lihat aku, Nis," pintanya.

Sepertinya sudah cukup aku mendapat penghinaan hari ini. Tidak lagi. Semua keputusan yang tadi kubuat, harus kuubah. Aldi, yang kuharap bisa mengatakan semuanya padaku, ternyata kali ini dia berbohong.

"Apa lagi, Al? Aku sudah tahu semuanya. Kamu dan Raya akan dijodohkan, 'kan? Keluargamu begitu bahagia setelah mendengar kita putus. Lalu, akan menjodohkan kamu dengan Raya. Apa lagi yang bisa aku harapkan dari pertemuan kita kali ini?" ucapku penuh emosi.

Aldi memegang tanganku. "Hey ... siapa yang mengatakan itu semua kepada kamu, Nis? Itu semua nggak benar. Aku dan Raya hanya berteman. Walaupun, dia teman masa kecilku, nggak akan ada yang namanya perjodohan di antara kami."

Aldi begitu tenang mengucapkan semua hal itu, dan hampir saja aku memercayai semua yang dia katakan. Namun, semua ucapan Lina tadi, kembali berputar di otakku, membuat hati ini kembali merasakan sakit yang begitu dalam di hati.

"Aku hanya mencintaimu. Selamanya akan seperti itu. Nggak akan ada yang bisa menggantikan posisimu, Nis. Aku masih berharap dengan hubungan kita," lanjutnya.

Kuhempaskan dengan kasar tangan lelaki itu. "Cukup, ya, Al. Aku ke sini hanya untuk mengatakan, supaya kamu pergi jauh dariku. Dari hidupku dan juga anak-anak. Jangan pernah lagi menemui kami."

Setelah mengatakan itu, aku langsung pergi dari kafe itu. Namun, rupanya Aldi mengikutiku. Di belakangku laki-laki itu mengatakan semua rayuannya. Hingga saat berada tepat di depan mobilnya, laki-laki itu menarik tangan dan memintaku untuk masuk ke mobilnya.

Kutatap wajah Aldi dengan emosi yang sudah memuncak. "Aku bilang ... pergi dari hidupku. Jangan pernah temui aku. Aku menyesal telah menyiakan waktu selama dua tahun dengan laki-laki pembohong seperti kamu. Bahkan, kamu pun tidak jauh lebih baik daripada Angga, mantan suamiku."

Mendengar semua ucapanku, Aldi perlahan melepaskan tangan ini. Wajahnya terlihat syok, dengan mata yang membulat sempurna, seolah tak percaya atas apa yang sudah kukatakan.

Melihat Aldi yang masih terdiam, kugunakan kesempatan itu untuk pergi dari hadapannya. Sambil berjalan cepat, aku merogoh tas jinjing yang kubawa dan mengambil ponsel. Berhenti melangkah sejenak, lalu memblokir semua kontak dan sosial media milik Aldi.

Kali ini, tekadku sudah bulat. Aku tak ingin berhubungan lagi dengan laki-laki mana pun. Entah Aldi atau siapa pun itu. Rupanya, cinta tak pernah memihak padaku. Dia tak membiarkanku bisa hidup bahagia, hanya luka yang terus saja ditorehkan karena cinta di dalam hatiku.