Ferisha tampak mengeluarkan debitnya dari dalam tas yang dirinya bawa, lalu menyerahkannya, "Debit."
Pramuniaga itu tersenyum sembari mengangguk dan segera memproses pembayaran.
"Nona, maaf. Kartumu ditolak." kata Pramuniaga itu membuat Ferisha mengernyitkan dahinya bingung.
Ferisha menatap pramuniaga itu dengan tatapan tegasnya, "Cobalah lagi, kartu ku tak mungkin ditolak." kata Ferisha membuat pramuniaga itu mengangguk dan kembali mencobanya lagi.
"Nona, maaf--
"Biar pakai punya ku saja," tukas Alodie tersenyum sembari memberikan debit miliknya.
Ferisha menoleh ke arah Alodie, dengan tatapan penuh rasa bersalah Ferisha buka suara, "Aku akan menggantinya nanti," kata Ferisha.
Alodie menggelengkan kepalanya, "Tidak perlu, lagipula ini milik Kak Gavin." kekehnya namun Ferisha tak memberi respon apapun, dirinya sibuk memikirkan akan mengapa debit miliknya diblokir, bukankah hal itu sangat tak masuk akal? Ya, tentu saja.
"Terimakasih," kata Alodie kemudian berjalan bersama dengan Ferisha keluar dari butik.
"Aku akan menghubungi seseorang terlebih dahulu, tunggu saja di restoran tempat kita akan makan," kata Ferisha dan tanpa menunggu lama Ferisha pergi begitu saja, menyisakan Alodie yang tampak kebingungan dengan apa yang terjadi pada Ferisha.
Disisi lain, Ferisha berjalan menjauh dari Alodie, sembari mengotak-atik ponselnya, mencoba mencari nama ayahnya pada benda pipih miliknya, Ferisha harus segera menghubungi Daniel dan segera menanyakan perihal ini.
"Ayah, mengapa aku tak bisa menggunakan kartu debit ku?" tanya Ferisha pada saat panggilan tersambung, Ferisha tak memiliki waktu untuk berbasa-basi.
"Mengapa kau menanyakan itu? Tanyakan sikap dan perilaku mu terlebih dahulu, bagaimana cara kau memperlakukan adik mu, ayah memang memberikan fasilitas untuk mu, namun itu berlaku hanya saat kau bersikap baik saja," balas Daniel diseberang sana, Ferisha tahu jika kedua orangtuanya juga Jesy tengah berada di negara yang sama dengannya, namun Ferisha terlalu enggan untuk mengatakannya sekarang.
"A--
Tut...
Ferisha mengumpat dalam hati kala Daniel memutuskan sambungannya secara sepihak sebelum Ferisha buka suara.
***
"Ya, aku sedang di restoran, ada apa? Tak seperti biasanya kau menelpon ku." kata Alodie sembari menyuapkan sushi ke dalam mulutnya dengan menggunakan sumpit, susah payah Alodie melahapnya.
"Bersama temanmu?" tanya Gavin disebrang sana.
Alodie mencoba untuk menelan makanan dalam mulutnya terlebih dahulu, kemudian pada saat mulutnya sudah kosong Alodie pun buka suara, "Ya, aku bersama Ferisha, hanya saja dia mengalami masalah kecil, kartunya diblokir dan dia sedang menghubungi seseorang, jadi kita menggunakan kartu mu, tak masalah bukan? Lagipula ini kali pertama kau memberikan kartumu itu padaku, jadi tak–
Tutt…
"Astaga! Menyebalkan sekali, apa yang dia mau!" kesal Alodie saat tiba-tiba Gavin memutuskan sambungannya secara sepihak bahkan Alodie belum sempat melanjutkan ujarannya.
Enggan memikirkan apapun yang Gavin lakukan, Alodie kembali fokus pada sushi di depannya saat ini. Kemana pun Alodie pergi, restoran sushi adalah tempat yang harus Alodie kunjungi, sebenarnya Alodie ingin menunggu Ferisha datang, namun tampaknya akan sangat lama, alhasil Alodie memilih untuk memesan terlebih dahulu dan memakannya sekarang.
"Honey, aku datang jauh-jauh dari Indonesia menuju Islandia bersama kedua orang tuaku hanya untuk bertemu denganmu, mengapa setelah aku sampai ke negara ini, aku melihatmu bersama dengan wanita lain! Itu menyebalkan, aku tak suka!"
Alodie mendongakan kepalanya, menatap seorang wanita yang tampak bersandar di bahu seorang pria sembari melontarkan kata demi kata dengan nada yang begitu menjijikan, sedangkan pria yang tengah bersama dengan wanita itu sepertinya terus menghindar, enggan bersama dengan wanita aneh itu.
"Jesy, tolong jangan seperti ini! Ini tempat umum!" tegas pria itu.
Alodie terkekeh, sontak menutup kedua mulutnya, astaga— Alodie tak bisa menahan rasa sebalnya sekarang, ia hanya ingin tertawa melihat wanita yang sangat memprihatinkan itu.
"Apa kau menertawakan kami?" tanya Jesy tiba-tiba saja bangkit dari duduknya, berjalan menghampiri Alodie.
Alodie yang mendengar itu menatap dingin Jesy dari atas sampai bawah, "Tidak, aku tidak menertawakan kalian," kata Alodie.
"Tapi aku menertawakanmu," sambungnya membuat Jesy membelakan matanya tak percaya.
Alodie lagi-lagi terkekeh, bangkit dari duduknya kemudian menatap sinis ke arah Jesy, "Ah, sial! Selera makan ku hilang karenamu."
***
Ferisha duduk di salah satu kursi yang tersedia disana, dirinya tampak memijit pelipisnya pelan, bodoh karena Ferisha bahkan tidak memiliki dana darurat sama sekali, Ferisha terlalu mempercayakan semuanya pada Daniel, Ferisha pikir ayahnya itu akan dengan baik hati pada Ferisha, namun ternyata tidak.
Jika sudah begini, Ferisha tak tahu harus apa dan bagaimana, tak mungkin Ferisha terus membebankan Alodie disini.
Drttt…
Ferisha menatap layar ponsel miliknya, menekan salah satu notifikasi dari Daniel.
Ayah - Just now || Minta maaflah pada adikmu, dengan cara itu ayah bisa mengembalikan seluruh fasilitas mu.
"Shit!" umpat Ferisha semakin dibuat kesal.
"Ada apa, hm?" tanya seorang pria tiba-tiba saja duduk disamping Ferisha, membuat Ferisha menoleh kemudian berdecak sebal kala Ferisha menyadari Gavin lah yang tampak menghampirinya, penderitaan Ferisha seolah tak berujung.
"Mengapa memikirkan apa yang tidak seharusnya kau pikirkan, sweetheart? Kau memiliki aku, tak ada yang perlu dikhawatirkan," kata Gavin meraih tangan Ferisha, namun Ferisha menepisnya kasar.
Gavin tersenyum sinis, "Kau membutuhkan ku, jangan pungkiri itu." kata Gavin berbisik. Tangan Gavin terulur, mengusap surai Ferisha dengan penuh perasaan, "Tak mungkin bukan kau pergi menemui adik mu lalu meminta maaf padanya, padahal kesalahan bukan padamu." sambung Gavin.
Ya, apa yang Gavin katakan memang benar adanya, hal itu tak mungkin Ferisha lakukan.
"Kau tak membutuhkan mereka, kau hanya butuh aku. Sudah cukup kau berada di antara orang-orang yang bahkan tak bisa hanya sekedar mempercayaimu." Gavin kembali buka suara, tutur katanya begitu rendah.
Kedua mata Ferisha mulai berkaca-kaca, ia mengingat seluruh perlakuan Jesy padanya, juga kedua orangtuanya yang tampak selalu ada di pihak Jesy, Ferisha tak suka dan Ferisha tak bisa menerimanya.
Bahkan ayahnya memblokir kartu miliknya hanya karena Jesy, selalu saja Jesy.
Perlahan Ferisha menggeser tubuhnya hingga berhadapan dengan Gavin, air mata mengalir begitu saja, seolah Ferisha mengaku kalah dengan keadaan, Ferisha tak ingin bersikap baik-baik saja.
Gavin yang melihat itu pun segera menarik Ferisha kedalam pelukannya, "Tak masalah, semuanya akan baik-baik saja, sweetheart. Kau hanya perlu bersikap tenang," bisik Gavin.
Pelukan Gavin…
Satu-satunya pelukan yang membuat Ferisha nyaman dan merasa baik-baik saja, tak dapat dipungkiri jika Ferisha sungguh merasa lebih baik dalam pelukan Gavin, selalu saja seperti ini, seolah Gavin dikirim Tuhan untuk menemani hari-hari buruk yang Ferisha lalui, entah mengapa saat Ferisha berada di titik terendahnya, Gavin selalu datang menghampirinya.
"Bantu aku…" kata Ferisha dengan suara rendah, diikuti isak tangis.
Ferisha sungguh sangat terluka, hingga dirinya menyerahkan diri sepenuhnya pada Gavin.