"Siapa gadis itu?"
Itu adalah pertanyaan yang tak bisa dijawab Troy.
"Bukannya pergi bekerja, kau malah menyuruhku bekerja," omel James, dokter berusia setengah abad sekaligus pemilik restoran tempat Troy bekerja.
Troy juga tak bisa menanggapi itu.
"Tapi, itu bukan ulahmu, kan?" James menatap Troy curiga.
"Bukan," jawab Troy gusar, tak terima. "Jika memang aku yang membuatnya seperti itu, untuk apa aku membawanya kemari? Aku bisa saja membiarkannya mati di pinggir jalan. Kondisinya sepertinya tidak begitu bagus."
James menghela napas. "Kau benar, kodisinya memang tidak bagus. Tapi, membawanya ke rumah sakit sepertinya berbahaya. Karena itu juga kan, kau memanggilku kemari?"
Troy berdehem. "Aku hanya tidak yakin apa yang terjadi padanya. Jadi, bagaimana keadaannya?"
"Dia mengalami gegar otak. Ada banyak goresan karena pecahan kaca, sepertinya dia mengalami kecelakaan." James menghela napas. "Setelah ini, kau ganti pakaiannya dan cek jika ada memar di tubuhnya," perintahnya.
Troy melotot mendengar itu. "Aku?"
James mengangguk santai.
"Apa kau gila? Aku ini pria dan dia …"
"Kau yang membawanya kemari," potong James. "Jadi, kau yang bertanggung jawab atasnya." James lalu berjalan ke arah pintu depan. "Jika ada memar di tubuhnya, bawa dia ke klinikku."
"James, tunggu …"
"Kau bisa cuti dari restoran sampai gadis itu bangun," tambah James sebelum keluar dari rumah Troy.
Troy sudah akan mengejar James untuk protes, tapi ia teringat pesan James tentang mengecek memar. Jika memang gadis itu kecelakaan dan sampai ada tulang yang retak atau patah sampai menusuk organ dalam tubuhnya, nyawanya dalam bahaya.
Troy tak punya pilihan lain.
***
Mata Carol terasa berat ketika ia mulai mendapatkan kesadaran. Ia mengernyit merasakan pusing yang menghantam kepalanya.
Usapan lembut kain basah di tangannya membuat Carol akhirnya membuka mata. Pemandangan pertama yang dilihatnya adalah sosok pria berambut hitam pendek yang mengelap tangan Carol dengan kain.
"Kau … siapa?" Suaranya terdengar hanya seperti bisikan. Namun, itu cukup untuk membuat pria asing di depannya itu menoleh.
"Kau sudah sadar?" Pria itu langsung berdiri. "Tunggu, aku akan memanggil dokter untuk memeriksamu."
Pria itu kemudian mengeluarkan ponsel dari saku belakang celananya dan menelepon seseorang. Carol terus memperhatikan pria itu. Dia punya karakter wajah yang baik. Sepertinya, dia orang baik.
Setelah menelepon, pria itu mengambilkan air hangat untuk Carol dan membantu Carol duduk untuk minum. Carol akhirnya bisa melihat jika pakaiannya sudah diganti dengan … kain perca? Tidak. Ini pakaian terusan selutut dengan bahan kain perca. Pria ini tidak menjahitnya sendiri, kan?
"Siapa namamu dan apa yang terjadi padamu sebenarnya?" tanya pria itu tiba-tiba.
Carol seketika waspada. "Aku … tidak tahu. Aku tidak ingat apa pun. Apa yang terjadi padaku?" Carol memasang ekspresi lemah, tak berdaya.
Saat ini, ia harus bertahan hidup. Dan saat ini, hanya pria ini yang bisa menolongnya. Dia sudah menolong Carol yang sekarat dan hampir mati, kenapa tidak sekalian menolong Carol untuk beberapa waktu lagi?
"Kau … tidak ingat apa pun?" Pria itu mengernyit ragu.
Carol mengangguk.
"Apa kau ingat pertemuan kita?" tanya pria itu.
Tentu saja. Carol tak akan pernah melupakan bagaimana ia tersadar di tengah hutan, lalu berjalan terseok-seok hingga ke tepi hutan, dan bertemu pria itu. Namun, Carol menggeleng.
Pria asing itu menghela napas. "Sepertinya, kau hilang ingatan."
Carol mengerjap polos. "Hilang ingatan?"
Pria itu mengangguk. "Aku sudah memanggil dokter yang merawatmu. Kita akan tahu keadaan pastimu begitu dia datang dan memeriksamu."
Carol mengangguk. "Tapi … bagaimana aku bisa berada di sini? Apa yang terjadi padaku?"
Pria itu lagi-lagi menghela napas. "Kau sepertinya mengalami kecelakaan. Aku menemukanmu di kebun … semacam hutan, dan kau pingsan. Tidak ada rumah sakit di sini, dan aku tidak punya kendaraaan untuk membawamu ke rumah sakit. Jadi, aku membawamu kemari untuk diperiksa dokter lebih dulu."
Membawa Carol kemari? Bagaimana? Diseret? Digendong? Carol mengecek tangannya, mencari bekas seretan.
"Tanganmu sepertinya terluka karena pecahan kaca kendaraan," terang pria itu, salah paham alasan Carol mengecek tangannya.
Carol hanya mengangguk. "Lalu … kau siapa? Dan ini di mana?"
"Aku Troy. Ini rumahku," terang pria itu. "Jika aku menemukan kartu identitas atau apa pun yang bisa memberiku petunjuk tentang identitasmu, aku pasti sudah menghubungi keluargamu, tapi …" Pria itu menggeleng.
Syukurlah Carol tidak membawa apa pun selain tubuhnya. Namun, ia teringat papanya. Bagaimana keadaan papanya?
"Jika kau merasa pusing, kau bisa berbaring lagi. Kau sudah pingsan selama tiga hari," beritahu Troy.
"Tiga hari?" Carol terkejut. Sepertinya, ia benar-benar hampir mati.
Troy mengangguk. "Aku sedang berusaha mencari tahu tentang kecelakaan di sekitar sini. Siapa tahu dengan begitu, aku bisa menemukan keluargamu atau apa pun yang berhubungan dengan dirimu."
Carol terkejut mendengar itu. Tidak. Pria itu tidak boleh mencari tahu. Jika ada yang tahu Carol masih hidup dan ada di sini, tidak hanya Carol yang akan celaka. Pria itu juga …
Suara ketukan dari luar membuat perhatian Carol teralihkan.
"Oh, itu pasti dokternya." Troy bergegas pergi meninggalkan kamar untuk membuka pintu.
Tak lama, pria itu kembali bersama pria paruh baya yang dikenali Carol. Namun, yang mengejutkan Carol adalah, pria itu seharusnya sudah meninggal sepuluh tahun lalu.
"Sepertinya, dia hilang ingatan," Troy memberitahu dokter itu.
Dokter itu menatap Carol selama beberapa saat, lalu mengangguk pada Troy. "Kau bisa menunggu di luar, biar aku memeriksanya dulu."
Troy hanya mengangguk dan pergi. Begitu Troy pergi dan menutup pintu itu, dokter itu mendekati Carol dan bertanya dalam bisikan, "Nona, apa yang terjadi?"
Carol mengernyit, seketika ingatan masa lalu menyeruak dalam kepalanya, menyulut emosinya.
"Nona harus tenang. Saat ini, Nona harus bertahan di rumah ini. Troy adalah pria yang baik. Nona akan aman berada di sini," ucap James cepat.
Carol menatap pria tua itu penuh kebencian. "Begitu aku bisa kembali ke rumahku, hal pertama yang akan kulakukan adalah membunuhmu."
Pria itu tampak menunduk menyesal dan mengangguk. "Maafkan saya, Nona."
Carol tak membalas dan memalingkan wajah. Tangannya mengepal erat, menahan keinginan untuk membunuh pria tua itu di sana. Saat ini, orang yang membunuh mamanya ada di depan matanya, tapi Carol tak bisa melakukan apa pun karena harus menyelamatkan dirinya sendiri.
Sepuluh tahun lalu, ketika James dinyatakan hilang dan meninggal, Carol frustrasi, putus asa, tak tahu harus menyalahkan siapa atas kematian mamanya. Ia pernah bersumpah akan membunuh pembunuh mamanya di depan makam sang Mama. Namun, saat ini pun ia tak bisa melakukan apa pun.
Carol benar-benar pengecut egois yang hanya memikirkan hidupnya sendiri.
***