webnovel

Fate

Caroline Isabel Hariandy, Carol, putri Grup HY yang menghilang setelah kecelakaan. Carol tahu hidupnya dalam bahaya karena ia akan dinobatkan menjadi pewaris Grup HY milik keluarganya. Troy. Tak seperti namanya, ia dikenal sebagai pria yang ramah dan suka membantu. Semua orang yang mengenal Troy menyukainya. Troy adalah pria yang baik, yang sayangnya, terjebak bersama wanita penuh masalah bernama Carol. Dunia Carol dan Troy bertabrakan ketika mereka bertemu. Demi bertahan hidup, Carol harus tinggal bersama orang asing yang terlalu baik. Troy yang baik hati tak sampai hati meninggalkan sang tuan putri yang tersesat ketakutan. Namun, siapa sangka, bersama Carol, datang masalah demi masalah dalam hidup Troy. Melibatkan orang-orang yang tak seharusnya muncul lagi di hidupnya. Mulai dari Cecil yang mengaku ayahnya dibunuh oleh Troy, hingga Eric dan Yuta yang seharusnya tak lagi muncul di depannya.

Ally_Jane · Urban
Not enough ratings
295 Chs

11 – Menerima Kebohongan  

Ketika Carol keluar kamar pagi itu, dilihatnya Jun dan Ricki sudah ada di ruang tamu. Carol menoleh ke dapur dan Troy seperti biasa, sedang menyiapkan sarapan. Carol pergi ke ruang tamu dan menghampiri Jun. Dia mengulurkan tangan di depan wajah Jun.

"Mana ponselmu?"

Jun mendesis kesal, tapi dia memberikan ponselnya pada Carol.

"Seharian kemarin kau juga hanya bermain ponsel. Kau sepertinya mulai kecanduan," ledek Jun.

"Kau benar. Aku kecanduan menonton koleksi video yang ada di ponselmu," jawab Carol.

Jun terbelalak kaget dan hendak merebut ponselnya, tapi Carol sudah mundur.

"Tapi, kau tidak seharusnya menyimpan hal-hal kotor seperti itu di ponselmu,. Aku akan menghapusnya untukmu," ucap Carol.

Jun seketika melompat berdiri dan mengejar Carol yang sudah berbalik dan berlari menuju meja makan. Pelarian Carol terhenti karena ia menabrak seseorang. Troy.

"Jun, hentikan," tegur Troy pada Jun.

Seperti kemarin, Jun langsung menurut pada Troy.

Carol sudah akan masuk ke kamarnya dengan ponsel Jun, tapi Troy menahan tangannya.

"Kau mau ke mana? Tidak sarapan?" tanya pria itu.

"Aku … tidak lapar," jawab Carol. Ia harus mencari tahu kabar papanya. "Nanti aku akan makan begitu aku lapar," ucap Carol seraya melepaskan pegangan Troy di tangannya dan bergegas masuk ke kamarnya.

Begitu Carol masuk ke kamarnya, ia langsung duduk di tepi ranjang dan melakukan pencarian tentang kondisi papanya. Seperti yang dikatakan James, media sudah memberitakan tentang kondisi papanya, menyebutkan tentang para ahli waris, hingga tentang persiapan pemakaman.

Air mata Carol jatuh begitu saja memikirkan bagaimana saat ini papanya dikelilingi oleh orang-orang yang menyiapkan kematiannya begitu rupa.

***

"Troy." Panggilan Ricki mengalihkan tatapan Troy dari pintu kamar tempat Carol berada.

Ketika Troy menatapnya, Ricki mengedik keluar. "Ada yang ingin kubicarakan denganmu."

Troy menoleh pada kamarnya sekali lagi sebelum mengangguk dan keluar dari rumahnya bersama Ricki.

"Apa kau melihat orang-orang mencurigakan di sekitar sini?" tanya Troy.

Ricki menggeleng. "Bukan itu, tapi … kurasa kau harus melihat ini."

Ricki membuka sebuah program di ponselnya dan memberikannya pada Troy.

"Kemarin aku mengecek ponsel Jun untuk melihat riwayat pencariannya. Gadis itu mencari tahu tentang keluarganya. Kurasa, dia sudah mendapatkan ingatannya kembali," beritahu Ricki.

"Dia tidak pernah kehilangan ingatannya sejak awal," jawab Troy dingin.

Ricki tampak terkejut. "Apa? Apa maksudmu?"

"James mengenalnya dan membuat gadis itu seolah hilang ingatan. Menurutnya, gadis itu dalam bahaya dan dia akan aman di sampingku." Troy mendengus sinis.

"Jadi, selama ini dia … membohongimu?"

Troy mengangguk. Namun, keningnya berkerut ketika melihat layar ponsel Ricki bergerak sendiri, membuka mesin pencarian dan mengetik nama Harlan Hariandy. Lalu, muncul artikel berita yang mengerikan.

Harlan Hariandy kritis.

Pengumuman pewaris.

Persiapan pemakaman.

Berita yang seperti disebutkan James semalam benar-benar muncul di sana.

"Rick, jangan bilang ini …"

"Ya, itu penggunaan ponsel Jun saat ini. Gadis itu …"

Troy tak menunggu kalimat Ricki berakhir dan langsung berlari masuk ke rumah. Ia berhenti di depan kamar tempat Carol berada dan menggedor pintunya. Tak ada jawaban.

"Car …" Troy menutup mulutnya lagi ketika sadar ia nyaris membuat kesalahan. "Rose!" panggilnya keras.

Tak lama, pintu kamar itu terbuka. Carol muncul sambil tersenyum, tapi ada sisa jejak air mata di pipinya.

"Ya?" Carol bahkan terdengar begitu riang.

Troy mengernyit. Gadis ini …

"Mana ponsel Jun?"

"Ha?" Carol tampak terkejut karena Troy menanyakan itu.

"Berikan ponsel Jun padaku," Troy meminta.

Carol tampak bingung. "Aku masih menggunakannya."

"Untuk apa?"

Carol tak langsung menjawab, tampak tak siap dengan pertanyaan itu. ���Aku … uh … itu … aku sebenarnya mencoba mencari tahu keluargaku …"

"Dan apa yang kau dapatkan?"

Carol menggeleng. "Tidak ada. Aku tidak mengingat apa pun."

Gadis itu bahkan tak berkedip ketika mengucapkan kebohongan itu.

Troy mengulurkan tangan. "Berikan ponsel Jun padaku."

Carol mengernyit. Gadis itu tampak enggan, tapi akhirnya dia memberikan ponsel Jun pada Troy.

"Apa ini karena aku tidak mau sarapan?" tanya gadis itu.

Troy juga berharap alasan di antara mereka bisa sesederhana itu.

"Jangan pergi ke mana-mana tanpa Jun dan Ricki," Troy berpesan.

Carol menghela napas. "Ya, ya. Aku tidak akan ke mana-mana. Jadi, tidak bisakah kau memberikan ponsel Jun padaku?" Gadis itu meminta dengan muka memelas.

Tatapan Troy tertuju pada sisa air mata di pipi gadis itu. Ia mengepalkan tangan ketika mendapati keinginan untuk menghapus itu. Troy menarik napas.

"Jun harus menggunakannya untuk bekerja," Troy beralasan.

Carol mengerutkan kening. "Tapi, kemarin …"

"Hari ini dia bekerja," potong Troy.

Carol menghela napas. "Baiklah. Tapi, katakan padanya untuk meminjamkan ponselnya padaku lagi begitu dia selesai bekerja."

Troy tak menjawab dan berbalik pergi dengan ponsel Jun di tangannya. Jun yang sudah ada di meja makan, menatap Troy keheranan, tapi Troy menggeleng kecil dan melempar ponsel di tangannya pada pemiliknya.

"Aku akan menghubungimu untuk urusan penting, jadi terus bawa ponselmu," ia berkata pada Jun.

Jun hanya mengangguk meski dia masih tampak bingung. Ketika Jun menoleh ke arah Carol yang ada di belakang Troy, Troy menoleh ke belakang. Dilihatnya gadis itu menunduk muram. Namun, ketika ia mendongak, ia sudah kembali tersenyum lebar dan berkata,

"Hari ini aku akan jalan-jalan dengan Jun dan Ricki."

"Tidak," jawab Troy.

"Kenapa? Aku kan, pergi bersama mereka. Kau bilang, aku tidak boleh ke mana-mana tanpa mereka. Itu berarti, jika ada mereka, boleh, kan?"

"Tolong," pinta Troy penuh penekanan, "jangan membuat masalah dan merepotkanku selama kau tinggal di sini."

Carol mengernyit kecil, tapi dia memasang ekspresi kesal. "Kenapa kau jadi plin-plan sekali? Kau sepertinya benar-benar marah karena aku menolak makan masakanmu pagi ini. Iya, kan?"

Alasan itu akan lebih baik daripada alasan sebenarnya emosi Troy yang mendadak kacau pagi ini.

"Kau takut aku akan pingsan lagi?" cibir gadis itu. "Ya, ya, aku akan makan. Puas?"

Gadis itu pergi ke meja makan. Bahkan, ia masih sempat mengganggu Jun dengan menendang kursi yang diduduki Jun.

Troy menghela napas dan berbalik pergi, hendak keluar, tapi Carol memanggilnya. Troy menghentikan langkah.

"Kau sudah mau berangkat kerja? Tidak sarapan?" tanya gadis itu.

"Aku tidak lapar," jawab Troy tanpa menatap Carol dan melanjutkan langkah.

Ketika Troy tiba di halaman rumahnya, Ricki menyusulnya.

"Apa rencanamu selanjutnya? Apa yang akan kau lakukan pada gadis itu?" tanya Ricki.

Troy mengernyit teringat pertemuan pertamanya dengan gadis itu. Gadis yang seharusnya sudah mati muncul di depan Troy dengan gaun putih berlumuran darah. Jika bukan karena Troy berbaik hati menyelamatkannya saat itu, saat ini gadis itu pasti sudah kehilangan nyawanya.

"Pastikan gadis itu aman," Troy berkata. "Aku yang memberinya hidup kedua. Jika ada yang berhak mengambil hidupnya, akulah orangnya."

***