webnovel

Masa Pedih Dulu

"Gendut, gendut, gendut, gendut!" Sorak sorai beberapa anak sekelasku menertawaiku, mengejekku, dan membuatku lumpuh atas kehidupanku.

Namaku Gempita larasati, aku tahu tidak ada yang sempurna di dunia ini, aku tahu dulu aku pembuat onar dalam keluargaku, dan aku tahu aku tidak cantik.

Ayahku memberi namaku Gempita, karena dulu aku terbilang bayi dengan tubuh yang sangat gempal.

Hingga aku tumbuh tak seelok tubuh wanita lain yang percis sepeti biola pada umumnya.

Aku selalu menutupi wajahku dengan sebuah cadar hitam untuk menutupi kekuranganku, bahkan seisi rumah pun langka melihatku telanjang kepala. Setiap aku keluar kamar, aku menutupinya karena malu.

Aku tidak memiliki teman atau kehidupan sosial, aku sudah seperti ini selama bertahun-tahun, hanya sosial media, dan jejaring internet yang menemaniku sepanjang waktu.

Mungkin kalian bertanya-tanya apa yang terjadi kepadaku.

Entah hampir tiga tahun yang lalu ...

Ketika aku masih berseragam putih biru, dengan segala kepolosanku, dan kesederhanaanku, aku berdiri tegak. Berhadapan dengan seorang lelaki yang aku kagumi.

"Ini untukmu!" Ucapku, menyodorkan sebuah kotak berisi bekal yang aku sajikan spesial.

"Untuk apa?" tanyanya dingin.

"Untuk kamu!" ucapku tegas dengan pipi berbinar karena rasa itu.

Segerombolan anak laki-laki menertawaiku, bersorak sorai ramai melemparkan banyak celotehan. Namun aku sama sekali tidak menggubris mereka.

Dengan pipi memerah aku memegang tangan kanannya, memberikan semua bekal spesialku untuknya, dan memaksa dia menerimanya.

"Cukup terima ini, tidak perlu malu!" ucapku percaya diri.

Aku memberikan apa yang aku punya untuknya dengan ketulusanku.

"Maukah kau menjadi temanku?" ucapku mengharapkan jawaban yang indah terlontar dari bibirnya, "Aku benar-benar menyukaimu."Lanjut ucapku semakin percaya diri.

"Terima, terima, terima!" sorak sorai terus beradu kata seolah menyemangati harapanku.

"Kenapa kalian tidak langsung menikah? Sepertinya kalian berjodoh?" cetus salah seorang lelaki dari semua yang berbondong-bondong menonton dan menyoraki aku.

Dan hanya orang bodoh yang menyuruh anak seusia kami untuk menikah.

Dia, seorang anak lelaki dikelas kami yang sangat tampan ,berwibawa, dingin, dan tidak suka bercanda.

Seisi kelas takut akan dia, bahkan beberapa guru tunduk atas apa yang dia katakannya, melakukan apa yang dia inginkan.

Ketika aku mengatakan semua yang aku rasakan dengan kepolosanku waktu itu, dia terlihat sangat gelisah.

Dia melirik kanan dan kiri, semua pasang mata teman-temannya kompak bersarang padaku dan dirinya. Wajahnya memerah karena marah. Sontak ia melemparkan kotak nasi yang aku buat untuknya, ketika itu ia langsung menatap aku dengan tajam.

Makanan itu berhamburan tidak beraturan, merambah di atas tanah, tak ada lagi yang spesial terlihat dalam makanan itu.

"Pergi...berikan saja pada Bebek, ayam atau apalah!" ucapnya sontak mengagetkanku dan membuat hatiku pecah berkeping-keping.

"Apa kau tidak bercermin?" tanyanya kepadaku.

"Setiap hari aku bercermin, ada yang salah denganku?" nadaku meninggi melebihi nada dia.

"Kau terlihat seperti bantal kusut, dan berani memintaku untuk berteman denganmu?" telunjuknya menunjuk-nunjuk tepat di depan wajahku.

"Jika aku jadi kau, aku akan bersembunyi di seutas kain dan tak menampakan lagi di semua tempat. Pergilah! pulang saja kerumahmu! karena kau sangat gendut sekali, kau tahu itu?" penjelasannya mencabik-cabik hatiku,

Ketika Lelaki idamanku sedang memaki-makiku semua gerombolan kelompoknya terdiam hening melihatku ditunjuk-tunjuk olehnya.

Tak lama kata-kata menyakitkan itu selesai.

Lalu sorak sorai itu ramai mulai terdengar terngiang di telingaku.

"Gendut, gendut, gendut, gendut! " kata-kata itu terdengar ditelingaku, terus terngiang seolah menghantuiku.

Air mata yang mulai membulat terus bersarang dikelopak mataku seolah berlomba ingin keluar membasahi pipiku.

Mereka meninggalkanku sendiri di tempat sepi.

Sekolah mulai hening karena proses belajar mengajar pun sudah selesai.

Kakiku melemah tak sanggup lagi menopang beratnya badan ini.

Kacamata yang setia menerka air mata ini menjadi bukti bahwa dunia tak seindah yang kita pikirkan.

Kaca mata itu aku buka perlahan, dan terjatuh terhempas dalam genggamanku.

Perlahan badanku mengikuti alur kacamata itu,

terjatuh dan tak sanggup lagi menopang sesaknya cacian lelaki itu.

Aku duduk tepat didepan makanan spesial yang aku buat khusus untuknya.

Namun semua yang aku inginkan hanya mimpi yang tak sengaja terbangunkan.

"Sadarlah Gempi! Kamu itu Gendut!" ujar hatiku menguatkan topangan kaki ini.

Aku menguatkan diri untuk berjalan menepi, mengayunkan sebuah ayunan kecil duduk diam menyendiri menunggu kedatangan ayah.

Ayahlah satu-satunya orang yang paling aku sayangi, walaupun ayah tidak sesempurna ayah lainnya.

Ayah bekerja disebuah salon ternama didaerahku, yang membuat pribadi ayah melambai-lambai seperti wanita.

Ibu dan Ayah bercerai ketika aku dan adikku masih kecil sekali. Ibuku di kabarkan meninggal di negri sebelah. Kami tidak bisa melihat Ibu didetik-detik terakhirnya hidup, karena memang kami tidak percaya kabar itu.

Mobil jazz silver terdengar berdenyit melantunkan nada parkir yang sudah tidak asing lagi ditelingaku,

itu suara mobil ayahku.

"Selamat siang Pak, anak ku masih disini?" lengkingan suara khas ayahku tak asing lagi kudengar.

Aku mendekat, dan lalu merangkul ayah sambil menangis menjadi-jadi.

"Nah lo?" Ayah bertanya-tanya kebingungan dengan gerak -gerik yang tak biasa lagi.

"Apa yang terjadi pada anak kesayangan saya?" tanya ayah berlenggak lenggok sudah terbiasa dengan gerakan itu.

Satpam penjaga pun mulai kebingungan dengan drama yang terlihat didepan gerbang itu.

Bapak Satpam hanya bisa melirik kanan-kiri melihat situasi setempat dan menemukan jawaban dari tangisan aku.

"Aku tidak paham pak!" ucap pak satpam dengan tangan dilipat kebelakang punggung,

sesekali dia membenarkan topinya yang miring.

"Pokoknya Gempi tidak mau sekolah lagi! Titik!" ucapku membuat bingung ayah semakin berlarut.

"Masuklah nak!" ayah menggopong tanganku setengah menyeret badanku yang lemas, memasukan badan lemas ini kedalam mobil andalannya.

Sepanjang perjalanan aku melihat pepohonan yang terombang ambing angin seolah bergoyang-goyang ikut menertawakanku.

Namun tak lama hujan pun turun menyertai kesakitanku, kaca yang sudah tidak terlihat cerah mulai beruap membuat pandanganku semakin memudar.

Dua jariku mengelus uap mobil itu dan aku lihat secercah kecerahan di balik uap yang aku usap.

Aku lanjutkan dengan sebuah tulisan.

"Aku benci kamu, aku benci kamu, aku benci kamu!"

Beberapa kali aku tulis hingga memenuhi kaca mobil beruap itu.

Sesampainya di rumah,aku melemparkan tubuhku ke atas kasur andalanku. Dan melempar sembarang tas ransel yang selalu menemaniku.

Aku lelah dengan semua itu,

Aku menengok jauh keluar jendela terlihat seekor burung yang terjatuh di depan rumah.

Aku lari keluar rumah dan mengikuti burung itu yang seperti melambai-lambai kepadaku.

Namun sayangnya burung kecil itu terjatuh berguling- guling di atas pohon dan terkapar lemah di atas tanah.

"Ada apa nak? ada yang perlu saya bantu?" ucap seorang Bapak tua menyapaku.

Sontak aku terkaget aku bingung apa yang harus aku lakukan.

Aku benar-benar tak ingin wajahmu nampak di depan orang lain lagi.

Di bibir pohon aku melihat sebuah kain hitam tergantung yang terlihat cukup bersih.

Aku mengambilnya dengan sigap dan menutupi kepalaku dengan kain itu, karena aku mulai tidak percaya diri dengan diriku sendiri.

Seolah tak ingin lagi wajah jelekku terlihat oleh orang di sekitarku.

"Ya... memang sedikit sesak, dan aku tidak bisa leluasa melihat suasana sekitar, tapi kenyamanan itu hadir sedikit demi sedikit" Ujar hatiku berbisik.

Semakin lama semakin berlanjut bertahun-tahun aku menutupi wajahku dengan kain putih penutup wajah apabila aku keluar rumah.

Ayah sangat menyayangiku sehingga setiap apa yang aku inginkan selalu dikabulkannya membuat aku semakin mudah mengisolasi diri sesuka hati.

Namun setiap kali aku mendengar kata "Gendut" badanku melemah dan tak sanggup lagi berdiri hingga bahkan tak sadarkan diri.

Mungkin itu jadi traumaku.

Semua sangat menyiksaku.