11 SELAGI ADA WAKTU

Aska masih terpaku dengan apa yang di lakukan Karin kepadanya. Ini tidak seperti yang di harapkannya.

Aska berharap Karin akan kasihan padanya dan akan menerima cintanya jika dia jatuh sakit karena penolakan Karin kemarin.

"Tapi sekarang Karin mencium bibirnya. Apa maksudnya? apakah Karin juga mencintainya? atau Karin hanya ingin menyenangkan hatinya agar dia mengalah dan masuk ke dalam kamar? Tidakkk!" Aska ingin Karin hanya bisa membalas cintanya, bukan hal lainnya.

Aska dengan mudah bisa menahan godaan Karin yang ingin membuatnya luluh dan mengalah.

Aska diam tak bergerak dan berusaha menahan geloranya, agar tidak tergoda. Aska berusaha tetap tenang, dengan bersikap cuek dan diam. Aska tidak merespon ciuman Karin, namun dia juga tidak menolaknya, Aska menerima saja perlakuan Karin yang melumat bibirnya.

Karin menghentikan ciumannya saat tersadar Aska sama sekali tidak meresponnya ciumannya.

Karin menatap bibir Aska yang tetap terkatup, Karin melirik Aska yang menatapnya dengan pandangan yang tak percaya.

Karin mengumpat kesal dalam hati.

"Sia-sia sudah apa yang di lakukannya." Karin berpikir keras bagaimana caranya agar Aska mau masuk ke dalam kamar, apalagi dari siang Aska belum ada makan dan belum minum obatnya.

Dengan putus asa Karin duduk di samping Aska. Jika memang Aska bersikeras tetap di luar, maka Karin juga akan berada di luar. Dia akan menemani Aska, sampai Aska mau masuk ke dalam kamar.

Aska melirik Karin yang duduk di sampingnya dengan wajah tanpa ekspresi. Sudah hampir beberapa jam Aska dan Karin berada di balkon.

Angin malam yang dingin menerpa kulit tubuh keduanya. Aska mulai merasa kedinginan, apalagi perutnya sudah merasakan rasa lapar sampai mengeluarkan bunyi yang bisa di dengar Karin.

Dalam hati Karin tersenyum, sebentar lagi kayaknya Aska akan mulai menyerah dari demonya.

Karin memejamkan matanya sebentar, rasa kantuk mulai menyergapnya. Aska mulai merasakan lapar yang sangat, tapi masih dengan ego yang tinggi Aska menahan rasa lapar dan rasa dinginnya.

Karin mulai gelisah lagi, Aska tidak menunjukkan rasa mengalahnya. Batin Karin mulai berperang lagi, antara tega pada Aska atau dia yang mengalah lagi dengan sikap Aska yang manja. "Aaaaaaarrrgggggghhhhhhhh." Karin berteriak kesal dalam hati.

"Apa aku yang harus mengalah terus!" jerit Karin.

"Aska." panggil Karin tanpa melihat wajah Aska. Karin sangat sebel sekaligus iba. Hatinya selalu luluh duluan, dia tidak bisa berbuat kejam pada sosok Aska yang selalu membuatnya marah.

Aska menoleh sesaat, dan tetap tak bergerak, dan juga tak menjawab panggilan Karin.

"Aska, apa maumu sebenarnya? katakan?" tanya Karin mulai mengalah dan selalu di pihak yang kalah.

"Aku ingin kamu mencintaiku, dan berada di sampingku selamanya. Bukan hanya enam bulan." jawab Aska pelan dengan pandangan kosong ke depan.

"Aku tidak mencintaimu Aska, bukankah aku sudah mengatakannya!"

Aska menoleh dan menatap mata Karin,

"Belajarlah untuk bisa mencintaiku, waktu masih panjang. Apakah itu berat bagimu?"

"Aku tidak yakin aku bisa, dan hal itu memang berat bagiku. Maafkan aku, aku tidak bisa melakukannya!" kata Karin dengan berat.

"Kalau begitu pergilah! buat apa kamu di sini bertahan denganku? pergilah! kamu tidak perlu repot-repot di sini membujukku agar aku masuk ke dalam. Biarkan aku di sini sendiri, kalaupun aku mati nanti apa perdulinya dirimu? anggap saja kau tidak mengenalku." dingin suara Aska.

Tangan Karin mengepal, kemarahannya terasa ingin meledak saat itu juga. Ucapan Aska membuatnya marah, gelisah, takut, semuanya tercampur aduk.

"Andai aku bisa pergi tanpa ada rasa perduli, pasti aku pergi! Kenapa aku harus mengenalmu? hidupku jadi ribet, jadi terikat tak bisa lepas!" teriak Karin mengumpati Aska dalam hati.

"Kenapa kamu masih di sini! pergilah! kamu tidak usah ragu, bukankah kamu ingin jauh-jauh dariku?" ucap Aska lagi.

Ucapan yang keluar berbeda dengan hatinya. Hatinya menjerit.

"Tetaplah di sini Karin, jangan pergi! Aku pasti tidak akan bisa bertahan jika kamu pergi!"

Karin bangkit dari duduknya, melangkah menjauh dari Aska duduk.

Tubuh Aska terhenyak.

"Karin telah pergi, Di hati Karin benar-benar tidak ada ruang untuknya walau hanya sedikit saja." Aska memejamkan mata dengan perasaan hancur dan hati yang terluka. "Beginikah rasanya jika perasaan tertolak?"

Sungguh terasa sakit, Aska memegang dadanya yang terasa sakit karena luka begitu dalam.

Dengan mata masih terpejam Aska merasakan hawa dingin yang menerpa tubuhnya , berlahan tidak di rasakannya saat Aska merasakan ada sebuah selimut yang tiba-tiba menyelimuti punggungnya.

Aska memutar badannya untuk melihat siapa yang menyelimutinya.

"Karin!" teriak Aska dalam hati, Aska mengusap matanya tidak percaya dengan apa yang di lihatnya.

Karin tidak pergi, Karin kembali datang dan menyelimuti tubuhnya yang kedinginan, dan Karin juga membawa semangkuk bubur yang masih mengepul.

Bibir dan tubuh Aska seakan terkunci. Tetap diam dan terpaku menatap Karin yang berdiri di belakangnya.

Aska tersadar dari keterpakuannya, langsung bangun dari duduknya dan mendekap erat tubuh Karin.

Tubuh Karin hampir limbung karena dekapan erat Aska, dan masih untung mangkuk bubur yang di pegang Karin tidak tumpah.

"Syukurlah kamu tidak pergi! Aku kira kamu tega meninggalkanku." bisik Aska masih dengan memeluk Karin dengan erat.

"Aku mengaku kalah, aku tidak bisa menentang keras kepalamu dan semua keinginanmu. Aku tidak bisa melihatmu hancur dan terluka. Aku memang bodoh!" Karin mengutuk dirinya sendiri.

Aska menarik Karin dalam pelukannya lebih dalam.

Ucapan Karin membuatnya bahagia, Aska sudah tidak perduli lagi Karin mencintainya atau tidak. Aska sudah cukup bahagia dengan mengetahui jika Karin tidak bisa meninggalkannya. Bagi Aska itu sudah cukup.

avataravatar
Next chapter