webnovel

Ziarah

Rasulullah sallallahu 'alaihi aasallam bersabda: “Sesungguhnya setiap orang di antara kalian dikumpulkan penciptaannya di dalam perut ibunya selama empat puluh hari (berupa sperma), kemudian menjadi segumpal darah dalam waktu empat puluh hari pula, kemudian menjadi segumpal daging dalam waktu empat puluh hari juga. Kemudian diutuslah seorang malaikat meniupkan ruh ke dalamnya dan diperintahkan untuk menuliskan empat hal; rejekinya, ajalnya, amalnya, dan apakah dia menjadi orang yang celaka atau bahagia....” (HR. Bukhari-Muslim)

Sepertiga malam adalah salah satu waktu yang mustajab untuk melangitkan doa, tak terkecuali dua insan yang kini sedang bersimpuh di hadapan-Nya, menjalankan shalat sunnah sembari menunggu waktu subuh tiba. Pintu langit terbuka sangat luas buat setiap hamba Allah yang tahu batas, tahu kapasitas sebab tanpa-Nya manusia bukanlah apa-apa.

Mukena yang dipakai Nisa basah oleh air mata, tangannya menengadah ke langit, wajahnya tertunduk, lisannya merapalkan banyak doa-doa dan harapan, untuk dirinya, suaminya, keluarganya, janin yang dikandungnya, dan semua ummat muslim di dunia.

Begitupun Faisal, ia juga tak kalah melangitkan doa-doa, sebab hanya doa sebagai senjata seorang muslim, hanya doa yang mampu mengubah susah jadi mudah. Termasuk juga tak pernah lupa meminta agar Allah membuka pintu hati Maminya agar menerima Nisa, memperlakukannya seperti anaknya sendiri.

Usai jamaah subuh, Faisal menyuruh Nisa siap-siap, dia ingin memberikan kejutan untuk istrinya, ia ingin mengajak ke suatu tempat yang diingankan Nisa. Setidaknya, sebelum acara tasyakuran empat bulanan nanti dimulai mereka sudah kembali ke rumah.

"Dek Nisa! Siap-siap ya ... kita jalan-jalan pagi ini."

"Emang kita mau kemana Bang?"

"Ada deh! Kalau Abang kasih tahu, nggak seru."

"Hmmm ... paling ngajak jalan-jalan pagi aja kan? Keliling kampung Manggis terus sarapan bubur Ayam!"

"Maaf yaa, kali ini tebakan istri Abang yang paling cantik ini salah." sembari memencet hidung Nisa

"Ih! Bang Isal, suka banget ya … sekarang mencet hidung Nisa ..."

"Nggak apa-apa biar tambah mancung! Abisnya gemesin banget."

"Ya kali Bang … bisa tambah mancung, emang Pinokio!"

"Eh kira-kira besok kalau dedek bayi udah lahir kayak siapa ya? Hidungnya, matanya, wajahnya?"

"Yang pasti mirip kita lah Bang."

"Hmmm ... ya, ya ... nggak mungkin mirip tetangga, hahaha.”

"Bang Isal ... udah ah! Nggak jadi siap-siap nih!" Nisa menepuk pundak suaminya.

"Iya ... iya … bercanda, Abang nyiapin mobil dulu ya, Dek Nisa siap-siap!"

Faisal membuka pintu kamar, meninggalkan Nisa yang terpaku dengan perkataan suaminya.

"Katanya jalan-jalan pagi, lah … kok tadi barusan Bang Isal mau nyiapin mobil sih? Ah udah ah … nurut apa kata suami, siap-siap." ia segera merapikan mukenanya, tidak lama ia membuka lemari, memilih pakaianya yang berwarna biru langit senada dengan scraf yang dipakainya, pola laut yang tergambar dalam balutan scraft semakin mempercantik wajahnya.

****

"Dek Nisa udah siap?"

"Udah Bang ..."

"Bang Isal udah ngabarin Engkong, kalau kita mau pergi?"

"Udah, tadi Engkong malah udah pergi duluan sama Tante Tsurayya."

"Ya udah yuk Bang!"

****

Ya, semenjak Raihan putra semata wayang Tante Tsurayya menyatakan persetujuannya agar Engkong Ma'shum menikahi Mamanya, Nisa dan Faisal memberikan dukungan penuh, bersyukur dan bahagia, hingga akhirnya mereka juga berinisiatif agar pernikahan Engkong & Tante Tsurayya disegerakan, dan ya tepat 1 bulan setelah persetujuan Raihan, pernikahan keduanya terlaksana. Kadang Engkong tinggal di rumah, kadang juga di rumahnya Tante Tsurayya.

Pernikahannya digelar khidmat dan sederhana, dan alhamdulillah Engkong bahagia dengan kehidupannya sekarang, Nisa juga bahagia sebab Engkong tidak lagi merasa kesepian, apalagi jika ditinggal Nisa & Faisal. Dan Tante Tsurayya perhatian banget sama Nisa. Nisa merasa kembali merasakan dekapan seoarang ibu yang sangat peduli, perhatian, sayang dan cinta kepadanya. Apalagi Tante Tsurayya juga sering kali memberikan masukan, urusan kehamilan.

****

Sepanjang perjalanan, entah mengapa mata Nisa terasa begitu berat, ngantuk tak tertahankan, nggak seperti biasanya, jadi ia pun tertidur, sehingga tak tahu kemana suaminya akan membawanya. Satu yang Nisa tahu, kalau suaminya ini suka banget ngasih kejutan dadakan, romantisnya kelewatan, lagi-lagi Nisa selalu harus bersyukur dan bersyukur Allah satukan dengan suaminya dalam ikatan pernikahan tanpa proses pacaran. Ya meski memang banyak lika-liku dan hambatan.

Faisal menoleh ke sampingnya, istrinya tampak tertidur pulas, rasanya tak tega mau membangunkannya. Tapi kalau nggak cepet-cepet keburu nanti baliknya macet. Berangkat tadi belum sarapan, Nisa dan calon buah hatinya juga pasti bakalan kelaparan kalau nanti lama-lama.

"Hei, Dek Nisa ..." ia menyentuh pipi Nisa perlahan, ia tahu, Nisa nggak pelor banget, denger suara dikit langsung bangun.

"Hmmmm ..."

"Hei! Kita udah sampai."

"Eh...beneran Bang, udah sampai? Maafin Nisa ya Bang, ketiduran sepanjang perjalanan, jadi nggak nemenin Bang Isal ngobrol.”

"Iya...nggak apa-apa kok, Abang ngerti bawaan bumil, sering pelor sekarang di mobil."

Nisa tersenyum "Hehehe ... maaf Bang, maunya si dedek ini Ayah ..."

"Yaudah yuk turun! Eh bentar, Abang yang bukain pintunya."

Saat itu Nisa baru sadar, ia melihat sekeliling dari jendela mobil, bahwa Faisal membawanya ke pemakaman, ya suaminya ini mewujudkan keinginannya semalam, ingin mengunjungi makam Papa-Mama dan Nini. Mata Nisa berkaca-kaca, seakan kata-kata pun tak mampu ia ucapkan, lidahnya terasa kelu. Kejutan Bang Isal selalu berhasil membuat dirinya berbunga-bunga, semakin menambah rasa cinta pada suaminya, entah kejutan apa lagi yang akan ia terima sepanjang hidupnya bersama belahan jiwanya ini. Perhatian-perhatian kecil, hadiah sederhana, kejutan penuh makna, benar-benar membuat Nisa semakin terpana, terpesona dengan suaminya ini.

"Bang Isal! Makasih Bang ..." Nisa memeluk suaminya dengan tangisan bahagia

"Eh udah ah, Abang nggak mau lihat Dek Nisa nangis, kan ini kita mau ketemu sama Papa-Mama, sama Nini juga, masak iya nangis, yuk!" Faisal menggenggam erat tangan istrinya, menuju pemakaman.

Usai membacakan surat Al-Fatihah dan Yasin, Nisa tak lantas beranjak dari pusara kedua orang tua dan neneknya, ia masih duduk, memegang satu per satu batu nisan di hadapannya.

"Assalamu'alaikum Pa ... Maaa ... Nini ... aku datang sama Bang Isal, dan dedek bayi yang sekarang ada di dalam perut Nisa. Pa … Ma … Nini … Nisa kangeeeen banget, nanti malam akan digelar tasyakuran empat bulanan, Nisa yakin, Papa Mama dan Nini melihat dari alam yang berbeda, pasti juga bahagia … akan bertambah keluarga kita, Nisa balik dulu yaa Pa ... Ma ... Nini."

****

Sengaja Faisal membawa Nisa pagi-pagi buta agar tidak terjebak kemacetan Jakarta, dan bisa sarapan juga di tempat special yang disiapkan Faisal, sehingga ketika balik ke rumah, semua dekorasi, catering dan lainnya sudah siap. Nisa tak perlu ikutan repot, ia juga sudah menghubungi vendor buat mendekor rumah Engkong, Bang Pendi, Mamit, Karim dan Andi juga sudah membantu buat nyebarin undangan ke warga kampung Manggis, Mutia juga sudah dihubungi, Papi Mami, Eyang Utari dan lainnya juga sudah.

"Bang! Makasih banyak ya Bang ... Nisa bahagia banget hari ini, alhamdulillah bisa terwujud juga ziarah ke makam Papa Mama dan Nini."

"Sama-sama, Dek ..." ia terus fokus ke depan, sesekali juga mengusap puncak kepala istrinya

"Kita langsung pulang kan Bang?"

"Hmmmm … lihat aja nanti! Emang Dek Nisa nggak laper? Dedek bayi kan juga pengen makan Bunda! Bunda harus makan yang baik, bergizi dan banyak makan!" satu tangannya menggenggam erat tangan istrinya, mencium punggung tangan Nisa.

"Laper sih Ayah, emang Ayah mau ajakin aku dan Bunda kemana lagi? Kan nanti malam ada acara buat kita Ayah?"

"Nah ... kita sarapan dulu ya Bunda! Udah telat nih sarapannya, apalagi Dek Nisa butuh asupan banyak."

"Tapi acaranya nanti malem bagaimana Bang?"

"Udah … Dek Nisa tenang aja ... semuanya insya Allah beres, Dek Nisa tinggal terima jadi."

Menikmati perjalanan pagi, dengan dentuman musik dari klakson pengendara jalan raya, jam-jam kerja yang sudah pasti bikin lumayan menunggu lama. Tapi alhamdulillah, kemacetan tidak terlalu parah, nggak kebayang kalau parah, istri dan calon anaknya belum sarapan, butuh asupan.

Faisal memarkirkan mobil di depan cafenya, ia sudah menyuruh karyawan untuk menyiapkan menu special kesukaan istrinya, di antaranya seafood. Ya pasangan ini sama-sama menyukai seafood, apalagi seafood juga baik buat perkembangan janin. Bahkan ia juga meminta karyawan untuk mendesign mejanya dengan sangat menarik. Tak kalah seperti candle light dinner yang dulu disiapkan di villa.

"Bang … masya Allah! Ini semua udah Bang Isal siapin?" kelopak mata Nisa tampak berbunga-bunga, senyumannya sumringah, kebahagiaan terpancar di wajahnya. Bahkan pipinya merona meski tanpa bush on merah muda.

Faisal menyiapkan kursi untuk istrinya, mencium puncak kepala istrinya "Untuk Istri Abang, dan dedek apa sih yang nggak?"

"Hmmm … makasih Bang ..." Nisa yang duduk menatap ke arah suaminya lekat, bener-bener suaminya selalu bikin meleleh hatinya, kejutannya selalu berhasil memporak-porandakan hatinya menjadi berbunga-bunga.

Faisal menunduk, mendekatkan kepalanya ke perut Nisa "Assalamu'alaikum … anak Ayah, Nak … kita sarapan bareng dulu ya!"

"Siap Ayah!"

Aneka makanan seafood tersaji di hadapannya, memang sudah tidak terlalu pagi untuk dikatakan sarapan, tapi memang mereka belum sarapan, apa mau dikata.

"Bang … nama anak kita nanti bukan Ponijem bukan juga Tukiyem ya!"

"Hahahah … nggak lah! Waktu itu kan Abang cuma bercanda, nanti kita pikirkan lagi, kita cari sama-sama nama yang baik, sebab nama adalah doa. Ah … udah kita makan dulu! Abang udah laper, Dek Nisa dan si dedek bayi juga kan?"

"Hehehee iya Bang ... laper banget."