5 Bab 4. Ide Gila Elise

Elise menunggu Brian pulang untuk mengatakan idenya. Dia bahkan meminta bik Yanti-pembantu di mansion fernandez, untuk memasak makanan favorite Brian.

Elise tau Brian tak akan mudah menyetujui ide gila ini. Tapi dia harus berusaha. Hanya ini jalan satu-satunya. Hanya ini cara agar mendapatkan anak Brian tanpa harus meninggalkan pria itu.

Lagipula wanita yang akan mengandung anak Brian adalah saudarinya sendiri. Dia pasti bisa menyayangi anak itu nantinya. Dia yakin Elena tak akan merebut Brian dari sisinya. Ini ide yang sangat sempurna.

Elise sangat yakin itu. Dan saat Elena hamil besar, mereka akan bertukar posisi, jadi Rena tak akan menyadari hal ini. Karena wajah Elena sangat mirip dengannya.

Yang harus Elise lakukan saat ini adalah meyakinkan Brian. Membujuk pria itu untuk menyetujui ide gilanya ini. Hanya ini satu-satunya cara agar mereka tetap bersama. Hanya ini satu-satunya cara agar Rena tak memaksa Brian menikah lagi. Hanya ini.

Waktu mereka tak banyak tinggal enam bulan lagi sebelum kesepakatan ini berakhir dan Rena akan menikahkan Brian dengan Tiara. Elise harus bisa meyakinkan Brian.

Suara pintu yang terbuka menyentak Elise dari lamunannya. Dia tersenyum dan langsung menghampiri Brian. Memeluk pria itu dan tersenyum lebar menatapnya.

"Kau sudah pulang. Aku sudah menyiapkan air hangat untukmu mandi. Kau mandilah dulu, aku akan memanaskan makan malam." Elise tersenyum membantu Brian melepaskan dasi juga jas pria itu. Bukannya segera ke kamar dan mandi, Brian malah memeluk pinggang Elise erat. Menatap lekat wajah cantik gadis itu yang terlihat berbinar bahagia. Berbeda dengan raut wajah Elise saat mengantar makan siang Brian tadi.

"Kau sangat bahagia sekali. Ada apa?" Bukannya menjawab Elise malah mengalungkan kedua tangannya ke leher Brian.

"Aku punya kabar bahagia untukmu." Masih melekat senyuman lebar di wajah cantik Elise. Dia tersenyum bahagia membayangkan akan menggendong anak Brian yang nanti dilahirkan Elena.

"Kabar bahagia apa?" Sesekali Brian mengecup bibir Elise. Gemas dengan wajah berseri-seri yang Elise tunjukkan. Membuat pria itu juga ikut bahagia.

"Aku akan mengatakannya nanti saat makan malam. Sekarang kau mandi dulu." Elise mendorong tubuh Brian, namun pria itu malah semakin mengeratkan pelukannya.

"Bagaimana jika kau yang memandikanku?" Goda Brian sambil menaik-turunkan alisnya.

"Brian!" Rona merah muncul dengan cepat di wajah Elise. Tangannya memukul pundak Brian pelan untuk menutupi rasa malu dan godaan suaminya itu.

"Jika kau bersikap seperti ini, aku malah semakin ingin mandi bersamamu."

"Brian!" pekik Elise kencang saat Brian menggendongnya. Dengan refleks Elise memeluk leher Brian agar tak jatuh.

"Brian turunkan aku." Brian tak memperdulikan protes istrinya. Dia terus berjalan menaiki anak tangga menuju kamar mereka.

"Tidak, aku akan menurunkanmu di kamar mandi."

"Brian, aku sudah mandi tadi sore," protes Elise lagi.

"Kau bisa mandi lagi."

"Brian, jika kita mandi bersama maka selesainya akan sangat lama. Aku ingin memberi tahumu hal yang penting."

"Kau bisa langsung mengatakannya sekarang, atau nanti saat aku mengisi tubuhmu." Pandangan mata Brian menggelap ditutupi oleh hasrat.

"Brian, aku serius. Aku-" dengan sedikit menundukkan kepalanya, Brian mencium bibir Elise. Membungkam wanita itu dalam sekajap dengan ciuman lembut yang tak akan pernah bisa Elise tolak.

Sejam kemudian Elise dan Brian tengah berbaring di atas ranjang. Setelah sesi panas di kamar mandi dan satu tambahan ronde di atas ranjang, mereka sekarang tengah berbaring sambil berpelukan dengan Elise yang bersandar di dada Brian.

"Ada kabar bahagia apa?" Brian berbicara sambil mengusap kepala Elise.

"Akhirnya aku bisa bertemu kembali dengan saudariku." Seketika Brian menjauhkan kepalanya menatap Elise terkejut.

"Aku kira kau sebatang kara, karena kau sama sekali tak mengundang saudarimu saat pernikahan kita."

"Itu karena aku tidak tau dimana keberadaannya. Kami sudah berpisah puluhan tahun. Aku bahkan tak berpikir bisa kembali bertemunya."

"Jadi karena hal itu wajahmu terlihat bersinar."

"Tak hanya itu. Aku juga mendapatkan solusi untuk masalah kita."

"Apa maksudmu?"

"Elena bisa membantu kita untuk mendapatkan anak, Brian."

"Benarkah? Bagaimana caranya?" tanya Brian antusias.

"Elena akan mengandung anakmu." Brian terdiam menatap Elise dengan seksama. Pria itu seakan menunggu penjelasan lebih lanjut.

"Kau harus menghamilinya. Melakukan hubungan sex dengan Elena hingga dia hamil anakmu." Sedetik kemudian Brian langsung mendorong tubuh Elise menjauh.

"Apa?!" teriak Brian tak percaya.

"Apa kau gila Elise? Kau ingin aku menghamili saudarimu? Aku tau waktu kita tidak banyak lagi, tapi melakukan hal itu bukanlah jalan terbaik."

"Hanya ini satu-satunya cara Brian."

"Bagaimana jika anak itu nantinya tidak mirip denganku atau denganmu? Mommy pasti akan curiga. Apalagi jika saat kelahiran nanti, kau mungkin bisa berpura-pura hamil depan Mommy tapi saat melahirkan itu tidak mungkin Elise."

"Elena akan melakukan semua itu dan Mommy tak akan curiga. Karena Elena dan aku adalah saudara kembar." Mata Brian membesar kembali. Dia tak percaya dengan apa yang baru saja Elise ungkapkan. Dia sama sekali tak tau kenyataan itu.

"Kau maukan melakukan rencana ini. Kau maukan?" pinta Elise dengan penuh harap.

"Tidak! Apa kau sudah gila Elise? Aku tak mungkin menyentuh gadis lain, apalagi dia masih saudarimu."

"Justru karena dia saudariku. Aku percaya dia tak akan merebutmu dariku. Dan aku juga percaya kau tak akan meninggalkanku. Rencana ini sangat sempurna Brian. Hanya ini satu-satunya cara agar Mommy tidak memaksamu menikah dan menceraikanku."

"Tidak, aku tak mau." Brian bangkit dari ranjang ingin pergi meninggalkan Elise.

Namun Elise sudah mengejar dan memeluknya erat dari belakang. "Brian, aku mencintaimu. Aku tak ingin berpisah denganmu. Hanya ini satu-satunya cara. Aku mohon," ucap Elise di sela isak tangisnya.

Brian terdiam dan menatap jauh dengan perasaan berkecamuk. Suara tangis Elise menyayat hatinya. Dia tak akan rela melihat wanita yang dicintainya menangis.

Brian berbalik dan memeluk Elise dengan erat.

"Aku benar-benar tak ingin melakukan rencana gilamu. Aku tak ingin menyentuh wanita lain. Tapi aku lebih tak bisa melihatmu menangis ataupun berpisah denganmu, Elise. Aku sangat mencintaimu." Brian mencium puncak kepala Elise dan memeluk erat tubuh Elise.

.

.

Elena berjalan terburu-buru menuju Amazing Bar. Dia baru saja pulang bekerja dari Wonderfull Cafe. Tadi siang Elise mengiriminya semua pesan untuk bertemu malam ini. Seharusnya dia sudah datang sejak pukul tujuh tadi, tapi karena pelanggan Cafe yang terakhir memesan banyak kue membuat dia bekerja lembur dan akhirnya baru datang kemari pukul delapan malam.

Elena tau dia sudah sangat terlambat untuk bertemu dengan Elise. Tapi Elise mengatakan dia akan tetap menunggu karena ada hal penting yang akan gadis itu bicarakan padanya. Elena masuk ke dalam Bar dan mencari keberadaan Elise. Gadis itu tersenyum melihat Elise yang tengah duduk sendiri di salah satu meja Bar sambil memandang seorang pria yang tengah menyanyi di panggung kecil.

Elena berjalan cepat menggampiri meja itu.

"Maaf, kau pasti bosan menungguku sejam lebih." Elena menunjukkan raut menyesal.

"Tak apa. Ayo duduk dulu. Kau pasti lelah pulang bekerja." Elena mengangguk dan duduk di hadapan Elise. Ada dua gelas yang sudah tersedia di atas meja. Kening Elena mengerut karena kedua gelas itu sudah berkurang setengahnya.

Seakan tau kebingungan Elena yang menatap lama dua gelas di hadapannya. Elise tersenyum, "Aku kemari bersama suamiku."

"Oh benarkah? Dimana dia? Aku ingin bertemu dengannya. Seperti apa pria yang sudah merebut hati adikku dan menikahimu tanpa persetujuanku," canda Elena dengan raut antusias dan penasaran.

"Dia sedang ke toilet. Ah itu dia." Elise menunjuk ke arah belakang Elena. Dan perlahan Elena berbalik untuk melihat seperti apa wajah suami Elise. Pria yang sudah mencuri hati adiknya. Pria yang sudah menjaga, menyayangi dan memberikan kebahagiaan untuk adiknya.

avataravatar
Next chapter