webnovel

Bab 35

Elena mengerutkan keningnya. Apa yang akan dilakukan pria itu jika mengetahui bahwa Elena kini sudah tak perawan dan sedang mengandung anak dari pria lain?

Elena terdiam dalam pemikirannya sendiri. Dia sudah mengenal Diego dalam waktu yang sangat lama. Mereka hidup berdua dan berjuang menghadapi kerasnya kehidupan. Pria itu sangat menyayangi Elena. Dia mungkin bisa memaafkan perbuatan Elena yang melakukan perjanjian gila ini. Tapi ... jika Diego mengetahui semuanya, pria itu pasti akan sangat kecewa pada Elena. Dia tak mau. Elena tak menginginkan hal itu. Elena tau cepat atau lambat Diego pasti akan mengetahui semuanya. Tapi biarkanlah saat ini semua menjadi rahasia. Elena akan mengatakan semuanya nanti, saat dia sudah menyiapkan hati dan setelah melahirkan anak ini.

"Mira, tolong bantu aku menyembunyikan semua ini. Tolong rahasiakan kehamilanku dari Diego." Elena memandang lekat Mira. Mengerti kugundahan wanita hamil di depannya. Mira mengusap lengan Elena, meyakinkan wanita itu bahwa Mira akan selalu mendukung dan membantunya.

"Aku akan membantumu, Elena. Tapi kita tak bisa terus menyembunyikan kehamilanmu. Perutmu pasti akan cepat membesar. Diego pasti menyadarinya."

Elena tersenyum lemah. Dia juga memikirkan hal itu. Kepalanya menunduk. Perutnya kini tak sedatar dulu. Perutnya sudah mulai membuncit, tapi masih bisa di tutupi. Elena yakin satu setengah bulan lagi perutnya pasti sudah membesar dan kehamilannya akan sulit disembunyikan dari Diego. Apa yang harus Elena lakukan saat itu?

Elena menghembuskan napasnya panjang. Biarlah dia memikirkan hal itu nanti. Yang penting saat ini adalah melepas rindu pada pria yang sangat dia sayangi itu.

"Aku akan memikirkannya nanti. Sekarang aku ingin menemuinya." Elena menyingkirkan nampam berisi makanan itu ke atas nakas. Makanan yang hanya dimakan beberapa sendok saja olehnya.

Wanita hamil itu bergerak turun dari ranjang. Melihat itu Mira dengan sigap membantu.

"Ayo, aku antar ke ruangannya."

Elena menatap lekat lengan Mira yang memapahnya. Lalu bergumam, " Hei! Aku bukan pasien yang sekarat, kau tak perlu memapahku." Ada nada sindiran yang dimaksudkan untuk bercanda dan menggoda Mira.

"Kau itu memang pasien yang hampir saja sekarat jika aku tak menolongmu. Jadi, jangan membantah."

"Siap, suster." Mata Elena melirik Mira dengan pandangan geli. Mira memutar bola matanya jengah. Kesal dengan Elena yang mulai menggodanya. Namun di dalam hati Mira, dia bahagia karena sahabatnya kini bisa kembali tertawa. Sangat jarang sekali Mira melihat Elena tertawa sejak pertemuan kembali mereka beberapa bulan yang lalu. Dan dia juga sangat bersyukur Diego kini sudah sadar.

....

Malam ini Brian kesulitan tidur. Dia selalu memikirkan Elena. Memikirkan di mana wanita itu berada sekarang? Apa Elena memang kabur dan membawa lari anak kembarnya? Namun dari semua itu yang membuat Brian gelisah dan tak tenang adalah keadaan Elena saat ini. Dia mengkhawatirkan kandungan Elena. Brian ingat dengan sangat jelas jika Elena berlari dengan cepat tadi. Seorang ibu hamil tak boleh berlari cepat dan kelelahan, itu bisa berakibat buruk pada kehamilannya. Brian tak ingin ada hal buruk yang menimpa Elena dan juga anak kembarnya. Brian semakin cemas jika kemungkinan terburuk bahwa Elena akan keguguran dan kehilangan bayi kembarnya bisa saja terjadi.

Malam ini Brian tak bisa tidur. Matanya tak bisa terpejam bahkan hingga dini hari. Brian terlelap ketika jam sudah menunjukkan pukul empat pagi, itu juga karena kondisi tubuh Brian yang sudah sangat lelah.

Saat pria itu terbangun di pagi hari dan hanya tidur selama tiga jam. Hal pertama yang terlintas adalah Elena. Dia mencari Elise dan menanyakan kabar tentang Elena.

"Elena belum pulang dan ponselnya masih tak bisa dihubungi." Mendengar jawaban Elise tangan Brian terkepal erat. Ada amarah yang tersulut dalam dirinya, namun ada rasa cemas yang begitu besar mengiringi amarah itu. Di mana sebenarnya Elena saat ini?

....

Elena tertidur dengan kepala yang terkulai di pinggir ranjang Diego. Wanita itu bersikeras menunggu Diego malam ini. Matanya terpejam rapat, wajahnya kini jauh lebih putih dibanding beberapa bulan lalu. Menambah kecantikan Elena.

Diego yang baru terbangun beberapa saat yang lalu tersenyum lembut menatap Elena. Sejak pertama kali bertemu dengan Elena di panti asuhan dulu. Diego sudah jatuh hati padanya. Dia juga yang meminta kedua orangtuanya untuk mengadopsi Elena. Rasa suka itu perlahan berubah jadi cinta.

Dan dia ingin hidup bersama Elena hingga ajal memisahkan mereka. Bukan sebagai kakak dan adik angkat melainkan sebagai suami istri yang mempunyai keluarga kecil bahagia, bersama anak mereka kelak.

Tangan Diego terulur mengusap kepala Elena dengan sayang. Dia tak tau apa yang terjadi saat dia berada di rumah sakit ini. Tapi dia yakin itu pasti sangat berat untuk Elena yang hanya memiliki dirinya seorang. Diego berjanji dia akan berusaha untuk segera sehat secepatnya. Dia tak ingin membebankan Elena.

Usapan di kepalanya mengusik tidur Elena. Wanita itu perlahan membuka mata. Mengerjap pelan sebelum mata mereka saling terpaut. Diego tersenyum, senyum yang menular pada Elena.

Elena mengusap kedua matanya dan duduk tegak di kursinya. Tubuhnya pegal-pegal, namun dia menahan rasa itu.

"Kau sudah bangun?" Suara serak Elena membuat Diego terkekeh. Sudah sangat lama Elena tak pernah mendengar suara indah itu. Membuat Elena tersenyum bahagia.

"Baru saja. Mandilah, wajahmu sangat berantakan dengan belek dan air liur dimana-mana."

Sontak mata Elena membesar dan menutup wajahnya. Mengusap-ngusap sudut mata dan sudut bibirnya. Wajahnya sudah memerah malu.

Diego terkekeh geli karena dia baru saja mengerjai Elena. Tangannya mengacak rambut Elena. Membuat wanita itu merenggut kesal dan memanyunkan bibirnya.

"Sudah mandi sana. Ini sudah siang, kau tidak pergi bekerja."

Bekerja? Tubuh Elena membeku. Dia teringat apa yang terjadi kemarin. Dia kemarin mengambil libur kerja untuk pemeriksaan kandungan bersama Brian. Elena melupakan Brian dan meninggalkannya begitu saja.

Bagaimana ini? Brian pasti marah? Elena mencari ponselnya di dalam tas. Hatinya semakin tak tenang mendapati ponselnya lowbet total. Sementara baterei ponselnya di cas, Elena mandi di salah satu kamar mandi rumah sakit. Jantungnya berdegup kencang tiap kali teringat amukan apa yang akan dia dapatkan dari Brian.

....

Elena berjalan memasuki mansion dengan degup jantung yang bertalu kencang. Keringat dingin sudah membasahi keningnya.

Elena sudah mandi dan memakai pakaian yang kemarin dia pakai. Dia berjalan dengan perlahan dan mengendap-endap. Matanya waspada menatap ke segala penjuru. Takut akan sosok mengerikan Brian yang Elena yakin akan marah dengan aksinya kemarin.

Jantung Elena berhenti sedetik sebelum berdegup lebih kencang. Jantungnya berdebar-debar dengan irama yang cepat karena sepasang mata tajam yang menatapnya dengan lekat. Seperti elang yang sudah menargetkan buruannya. Layaknya cheetah yang siap menerkam mangsa dengan kecepatan tinggi.

Tubuh Elena seakan membeku dan terpaku di lantai. Brian yang duduk menunggu di ruang tengah bangkit dan melangkah dengan mantap. Menguarkan aura mengancam dan membuat keringat dingin Elena semakin banyak keluar.

Brian sudah berdiri tepat di hadapan Elena, "Kemana saja kau semalam, Hah?!" Tanpa basa-basi lagi Brian meneriakkan amarahnya. Tubuh Elena gemetar takut akan amukkan Brian.

"Jawab aku, Elena. Kau punya mulut, kan?"

Elena menundukkan kepalanya. Tangannya meremas ujung bajunya dengan erat. Dia ingin sekali bersembunyi dan menjauh dari Brian saat ini.

"Pergi kemana kau? Berlari tanpa memedulikan kehamilanmu? Pergi begitu saja tanpa mengatakan sepatah katapun padaku? Dan tak bisa dihubungi sama sekali?!"

Next chapter