webnovel

Expensive Baby

"Maukah kau tidur dengan suamiku hingga hamil dan melahirkan anaknya?" Elena Wasley bertemu kembali dengan kembarannya, Elise. Dia meminta bantuan Elena untuk mengandung anak dari suaminya, Brian Fernandez. Tentu saja, Elena menolak karena sebentar lagi dia akan menikah dengan kekasihnya, Diego Orlando. Tapi semua berubah karena satu insiden tak terduga. Elena mau mengandung bayi itu dengan meminta bayaran mahal. Membuat Brian dan Elise membuat perjanjian tertulis untuk kesepakatan bersama Elena itu. Di sisi lain, Tiara Jackson -mantan tunangan Brian masih mengharapkan pria itu menjadi miliknya. Dia bertekad menyingkirkan Elise dan bayi itu dengan berbagai cara untuk mendapatkan Brian. Apa alasan Elise meminta Elena mengandung anak Brian? Mengapa Elena menyetujui perjanjian gila itu? Bagaimana reaksi Diego jika mengetahui semuanya?Apa yang akan dilakukan Tiara untuk menyingkirkan Elise dan bayinya? Bisakah bayi itu terlahir ke dunia dengan selamat? Bagaimana akhir dari cerita ini saat cinta menggoyahkan segala?

MaylisaAzhura · Urban
Not enough ratings
211 Chs

Bab 20. Aku Berjanji Padamu

Brian berjalan mengendap memasuki dapur memandang lekat punggung mungil milik Elise yang sedang berdiri di dekat counter dapur. Berdiri tepat dibelakang istri tercintanya dan dengan cepat memeluknya erat. Tubuh Elise tersentak dan menoleh.

"Brian!" pekik Elise tak percaya dan diakhiri dengan senyuman senang. Brian tersenyum dan mengeratkan pelukannya. Menyandarkan dagunya ke pundak Elise.

"Aku senang kau tak bersedih lagi." Elise hanya diam dan melanjutkan kegiatannya yang tengah membuat coklat hangat.

"Kenapa kau kemari?" Brian langsung membalik tubuh Elise. Protes dengan perkataan wanitanya.

"Jadi, kau tak suka aku pulang." Tangan Elise terulur mengusap pipi Brian lalu dengan gemas mencubitnya.

"Bukan begitu. Aku senang sekali kau pulang. Tapi kau harus menye—" Brian dengan cepat mengecup bibir Elise. Dia tak ingin mendengar apapun yang mau Elise ucapkan. Brian juga tak suka dengan semua ide gila ini. Dan dia tau betapa tersiksanya Elise akan hal ini.

"Jangan bicarakan hal itu. Aku tau apa yang harus kulakukan. Tapi saat ini aku ingin bersamamu. Menemanimu hingga kau tertidur."

"Aku sangat merindukanmu, sayang." Brian memeluk pinggul Elise. Tangan Elise langsung melingkari leher Brian.

"Benarkah?" Mata Elise menggoda dan menggigit bibir bawahnya untuk menggoda Brian. Brian merapatkan tubuh mereka dan langsung mencium bibir Elise.

....

Brian mengusap rambut panjang Elise. Wanita itu tengah tertidur dalam pelukannya. Brian menatap wajah cantik Elise. Kepalanya berputar melirik jam di atas nakas. Jam sepuluh malam. Brian harus ke apartemen dan menyentuh Elena lagi. Brian sekali lagi mengusap kepala Elise mengecup bibirnya sekilas lalu dengan hati-hati turun dari ranjang. Dia tak ingin membangunkan Elise.

Brian memakai pakaiannya. Dan berjalan kembali ke arah ranjang.

"Tidur yang nyenyak, sayang. Aku pergi dulu. Tapi aku berjanji akan pulang sebelum kau terbangun besok pagi." Brian mengecup kening Elise lama. Lalu bangkit dan menatap lekat wajah Elise sebelum pergi meninggalkan kamarnya. Brian melakukan hal ini karena dia tak ingin Elise bersedih. Brian akan berusaha agar selalu ada di samping istrinya saat dia memejamkan dan membuka matanya.

Saat pintu tertutup rapat, saat itulah mata Elise terbuka. Masih terpancar kesedihan di matanya. Tapi Elise tak ingin menjadi wanita yang lemah dan terus menangisi keadaannya. Dia berguling tidur di tempat biasa Brian berbaring. Menghirup aroma pria itu dari bantalnya. Setidaknya Brian sudah berjanji akan ada di sampingnya saat dia terbangun besok pagi.

....

Elena menguap di ruang keluarga. Acara tv yang dia tonton tak bisa mengusir rasa kantuknya. Elena melihat ke arah jam dinding. Sudah jam sepuluh malam. Apa Brian tak akan datang hari ini? Tapi bukannya dia mengatakan akan datang dan menyentuhnya selama seminggu full.

Elena mengambil cangkirnya di atas meja. Tertegun sesaat. Kopinya sudah habis. Astaga, Elena sudah minum dua cangkir kopi tapi mengapa dia masih saja mengantuk. Dimana Brian? Dia datang atau tidak malam ini? Jika tak datang, Elena ingin segera tidur. Lagi-lagi Elena menguap lebar.

Suara pintu apartemen yang terbuka menyentak tubuh Elena. Gadis itu langsung siaga. Matanya yang sejak tadi hanya tinggal lima watt kini terbuka lebar. Jantungnya berdegup cepat. Dia menoleh ke arah langkah kaki yang mendekat.

Brian berjalan dan melihat Elena yang tengah duduk di sofa depan tv. Mata mereka saling bertemu. Brian berhenti. Dia kembali teringat akan mata indah nan berkilau yang kemarin malam dia lihat. Mengusir bayangan itu, Brian melangkah ke dapur membuka pintu kulkas untuk mengambil minum. Dia tersenyum melihat kulkas yang kini terisi penuh dengan bahan makanan. Jadi, Elena mematuhi perkataannya. Wanita itu membeli bahan makanan.

Entahlah, sejak mengetahui Elena masih perawan ada rasa tak tega dan kasihan yang timbul dalam diri Brian. Tak seharusnya dia bersikap kasar pada wanita itu.

Brian menuang air mineral ke gelas dan meminumnya. Sebenarnya dia tak haus hanya saja sedikit tak nyaman. Dia ingin segera menyentuh Elena namun tak tau bagaimana cara memulainya. Brian tau Elena tak akan menolaknya. Namun dia juga tak mungkin menyuruh Elena menanggalkan pakaiannya seperti kemarin malam. Gadis itu layak mendapat perlakuan sopan seorang pria, karena dia bukan pelacur ataupun wanita jalang. Dia wanita baik-baik, ya walaupun sedikit matre. Ah tidak, sepertinya wajar jika gadis itu meminta uang lima ratus juta padanya.

Brian berbalik dan tertegun melihat Elena yang berdiri tak jauh darinya. Kedua tangan Elena meremas ujung baju tidurnya. Dia tengah grogi saat ini. Dan tak tau apa yang harus dia lakukan.

Brian menyadari kegelisahan Elena karena saat ini dia juga begitu. Tapi Brian tau jika gadis itu takut padanya. Karena Elena hanya menundukkan kepalanya.

"Kau sudah makan?" Brian memutuskan untuk bersikap baik pada Elena. Walau bagaimanapun wanita itu adalah kakak Elise dan calon ibu untuk anaknya kelak.

Elena tak menyangka Brian akan menanyakan hal itu. Dia mengangguk.

Mereka terdiam. Astaga, ini sangat canggung sekali. Brian mengusap tengkuknya.

"Ayo tidur, ini sudah malam." Brian berjalan lebih dulu menuju kamar utama apartemen itu. Elena berjalan di belakangnya.

Brian duduk di pinggir ranjang dan Elena berdiri tak jauh darinya. Dia gugup dan tak tau apa yang harus dilakukannya. Akankah Brian memerintahnya melepaskan pakaiannya sendiri di hadapan pria itu seperti kemarin? Sungguh itu sangat memalukan. Apalagi jika mata pria itu menatap lekat setiap gerakkan Elena.

"Apa kau sudah membeli salep atau obat pereda nyeri?" Elena menggeleng.

"Kenapa?" nada suara Brian tak tinggi juga tak rendah. Seakan dia tengah berbicara dengan karyawan atau rekan bisnisnya. Datar dan biasa saja.

"Aku tak tau harus membeli apa. Dan terlalu malu untuk mengatakan pada orang lain tentang hal itu." Suara Elena kecil namun Brian masih dapat mendengarnya. Elena takut Brian marah dan mengatakan hal buruk padanya. Brian menghela napas.

"Lalu, apa masih terasa nyeri?"

Lagi-lagi Elena tak menyangka Brian akan menanyakan keadaannya. Elena tak tau mengapa Brian bersikap baik padanya. Seingatnya kemarin pria itu sangat memusuhi dan tak suka padanya. Tapi sejak ... Tunggu, mungkinkah dia berubah baik setelah tau bahwa Elena perawan dan bukanlah wanita jalang atau pelacur seperti tuduhan pria itu selama ini.

"Sedikit," jawab Elena.

"Ibuku kembali menyudutkan dan memintaku menceraikan Elise. Dan waktu kita hanya lima bulan. Jadi, aku harap kau mengerti bahwa aku harus menyentuhmu lagi. Dalam seminggu masa suburmu aku akan datang dan menyentuhmu. Lalu setelah sebulan aku akan membawamu menemui Diana untuk pemeriksaan."

"Ya, aku mengerti."Elena menatap wajah tampan Brian.

"Berbaringlah." Dengan degup jantung yang kencang, Elena menaiki ranjang dan tidur terlentang. Dia menatap lurus ke arah langit-langit. Tak ingin melirik sedikitpun ke arah Brian. Pria itu kini tengah melepas bajunya. Dan menyisakan boxer di tubuhnya. Dia naik ke atas ranjang dan langsung berada di atas Elena. Membuat jantung Elena semakin berdetak kencang. Wajah Brian tepat di atasnya. Dia membuang wajahnya.

"Sejak semalam aku ingin menanyakan ini." Elena menoleh.

"Mengapa kau memberikan keperawananmu padaku? Bukankah semua wanita sangat menjaga harta itu?"