webnovel

Exorcis

Grey adalah seorang prajurit bayaran ordo Exorcist, dengan identitasnya saja benar benar rumit, dia menyusuri tempat berbau iblis dengan ditemani dengan teman-teman yang hebat.

Nisa_Aracelia · Fantasy
Not enough ratings
17 Chs

Chapter 6

"Sudah mau jam 11, dan dua orang yang kau ajak itu belum juga menampakan batang hidungnya," keluh Bu Yola menyandarkan diri di mobil.

"Santai saja, lagi pula janjinya jam 11 malam, masih ada beberapa menit sebelum mereka dikatakan terlambat" kata Gray duduk di atas kap mobil.

"Tetap saja, seharusnya kita bisa memulai lebih awal dari rencana kita" gerutu Bu Yola.

Succubus itu melirik ke Gray, ia matanya menilai dari atas ke bawah pemuda, hasrat dalam dirinya menyeruak kembali berharap menaklukan pemuda tampan di sampingnya.

"Jangan mikir yang aneh-aneh" gumam Gray tanpa memandang Bu Yola.

Iblis wanita itu hanya menjulurkan lidahnya.

"Ah itu mereka" kata Gray meluncur turun. Dan melambai bersemangat kepada dua orang yang berjalan mendekat.

"Maaf, aku tadi ada urusan sedikit" kata Robert menunduk meminta maaf.

"Sudahlah, kau tak usah meminta maaf. Lagipula belum ada jam 11 kok" kata Bu Yola memasang tampang tersenyum.

"Bukannya kau sendiri sedari tadi kesal menunggu kedatangan mereka berdua?" sahut Gray berterus terang.

"Itu tidak benar!" sanggah Bu Yola cepat-cepat, dia tampak malu. "Ah sudahlah, kita berangkat saja"

Bu Yola begegas masuk ke dalam mobil untuk menyembunyikan rasa malunya, dalam hati ia menyumpahi Gray.

"Oh hai Helena," sapa Gray ramah kepada satu temannya lagi. "Kupikir kau tidak datang"

"Tidak, aku pasti datang" tukas cewek itu dingin, lantas duduk di belakang mobil.

Gray nyengir mendengarnya, ia dan Robert pun ikut masuk ke dalam mobil. Gray bertugas mengemudikan mobil, di sampingnya duduk Bu Yola. Sedangkan Robert, duduk di belakang bersama Helena.

Mobil itu melaju cepat membelah Kota Jakland yang malam itu lumayan sepi, karena di cuaca yang berangin kencang seperti ini, rupanya warga kota lebih memilih mengurung diri di rumah ketimbang keluar.

Tak lama mobil itu berhenti tepat di pinggiran sungai, di depan rumah tua kecil yang bangunannya hampir roboh.

"Terlalu banyak gagak di sini" kata Robert memperhatikan banyaknya burung gagak yang bertengger di sekitar rumah.

"Museum Hantu?" gumam Helena membaca papan kayu yang sudah reot di depan rumah.

"Jadi, bisa kau jelaskan kenapa kita harus masuk ke dalam rumah bobrok ini?" tanya Bu Yola kepada Gray.

"Hanya ingin menyelidiki rumah ini, itu saja" jawab Gray masuk ke dalam rumah terlebih dulu. Pedang hitamnya ia sandang di punggungnya.

Gray mengetuk pintu rumah itu, ia melirik ke kanan dan kiri. Cat di dindingnya sudah terkelupas, atapnya jebol di sana-sini. Karena tak ada jawaban, Gray mencoba memutar pegangan pintu, ternyata pintu itu tidak terkunci, dia dan teman-temannya masuk ke dalam rumah.

Sepasang mata semerah darah mengawasi di kejauhan diam seperti patung, anehnya sosok itu seolah berdiri di tengah-tengah sungai.

Aura pekat nan jahat berhembus sangat kuat ketika keempat orang itu melangkahkan kakinya ke dalam rumah. Ekspresi keempat orang itu pun berbeda-beda, Robert menggigil seperti orang kedinginan, Helena menggambar simbol aneh di udara, ekspresi Bu Yola mengeras, hanya Gray yang tampak santai seakan tidak peduli dengan perubahan suasana yang terjadi.

Gray mendekati sebuah lukisan keluarga yang terpajang di ruang keluarga, terlukis seorang ayah, ibu, dan dua anaknya, wajah mereka tampak ceria dan bahagia. Tak ada yang aneh.

Helena menyongsong maju, berdiri di sisi Gray, ia mengulurkan telapak tangannya dan menyentuh lukisan itu. Di pejamkan matanya.

Kening Gray berkerut, ia bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan gadis ini. Dari dekat ia mengamati wajah gadis itu di bawah cahaya reman-remang lampu minyak, Gray melihat kulit wajahnya yang halus, cantik, dan mempesona. Sejenak dia terhipnotis kecantikan gadis itu.

Gray mengerjap-ngerjap menyadarkan dirinya. Reflek ia bergeser beberapa senti menjauhi Helena.

Mendadak tubuh Helena bergetar hebat, wajahnya mengernyit seperti orang yang menahan sakit. Napasnya pun semakin memburu.

"Hei! Apa yang terjadi?!" tanya Gray khawatir, menyentuh bahu gadis itu.

Dan, Helena pun tersadar, terhuyung-huyung lemas, Gray menangkap tubuhnya dan mendudukkannya di sofa.

"Kau tidak apa-apa?" tanya pemuda itu lagi.

Helena tak menjawab, ia hanya menunduk dan menutupi wajahnya.

"Ada apa ini?" kata Bu Yola menatap curiga, muncul dari dalam kamar. Melihat Gray dan Helena duduk di kursi berduaan, ia agak terbakar cemburu.

"Helena tadi menyentuh lukisan itu, tak lama dia seperti trans, aku pun menariknya karena takut terjadi sesuatu" jelas Gray.

Bu Yola memalingkan mukanya dan memandang lukisan keluarga itu. Sejenak ia merasakan kekuatan jahat mengalir keluar dari lukisan, namun dia menganggapnya tidak terlalu berbahaya.

"Baunya memang jahat, tapi tidak terlalu berbahaya" gerutu Bu Yola.

"Aku tahu," batin Gray setuju. "Tapi..."

"Kita harus segera pergi dari rumah ini!" teriak Helena tampak histeris.

"Hei! Tenanglah, ada apa memangnya?" tanya Gray memegangi bahu Helena.

"Ada kekuatan besar yang menutupi kebenaran dari misteri pembunuhan penyihir ini" kata Helena pucat.

"Maksudmu?" tanya Bu Yola mengernyit penasaran. "Dan, bagaimana kau bisa mengambil kesimpulan seperti itu?"

Gray tampak mencoba mengingat-ingat sesuatu.

"Dari dulu aku memiliki kekuatan, semacam penglihatan gaib apabila menyentuh suatu benda tertentu, pamanku mengatakan aku ini semacam cenayang" ujar Helena jujur.

"Simbol... Cenayang..." gumam Gray tidak jelas, dia menggaruk-garuk kepalanya.

"Aku juga tahu siapa sebenarnya Bu Yola dan Robert, lalu beberapa orang di sekolah juga aku tahu siapa mereka sebenarnya" tambah Helena tiba-tiba.

"Jadi kau bisa melihat sosokku sebenarnya?" kata Bu Yola terkejut, menatap tajam ke arah Helena.

"Yeah, Anda adalah Succubus, dan Robert adalah vampir."

"Menarik, sungguh menarik" kata Bu Yola menyunggingkan senyum.

Helena mencengkeram lengan Gray erat-erat, dan menatap mata pemuda itu dengan intens. "Gray... Aku tau kau kuat, tapi kau pun tak mungkin tak terkalahkan, bukan?"

"Aku tahu, tapi aku tak akan mundur" tukas Gray memegang lembut tangan Helena di lengannya.

Helena menarik tangannya, berdiri mendadak. Dan, berbicara dengan nada keras, "kalau begitu, aku mencabut permintaanku kepada Ordo Exorcist dan membatalkannya sekarang juga!"

Gray menyunggingkan cengiran lebar, lalu ia tertawa terbahak-bahak.

"Sinting" gumam Bu Yola.

"Kenapa kau tertawa?" tanya Helena bingung.

"Begini akan ku jelaskan. Pertama aku bukan Exorcist atau anggota organisasi pemburu hantu, kedua misi ini diberikan kepadaku karena mereka memang tidak mau atau dari awal tidak bisa dihadapi oleh mereka, jadi aku takkan mundur sekalipun klien mencabut permintaannya, paham Helena?"

"Tapi..."

"Sejujurnya, aku hanya ingin bersenang-senang, dan jika mendapat imbalan berupa uang, itu ku anggap sebagai bonus"

Helena tahu ia tak akan menang jika mendebat Gray, apalagi Bu Yola sudah memberi isyarat agar ia diam.

"Oh ya, di mana Robert?" celetuk Bu Yola mengatasi keheningan.

Gray dan Helena bersamaan mengangkat bahu. Mereka berdua tak melihat Robert sejak tadi.

"Hai! Teman-teman! Kemarilah, aku menemukan sesuatu!" terdengar suara teriakan Robert dari arah dalam rumah itu.

Ketiga orang itu bergegas menghampiri sumber suara itu. Takut terjadi apa-apa pada temannya itu.

Ketiganya menemukan Robert sedang duduk jongkok di dapur yang sudah berbau apak dan berdebu. Berbagai peralatan dapur, seperti kompor, penggorengan, panci, sendok, gelas, dan juga piring pun banyak yang sudah hancur dan hanya sedikit yang utuh, itu pun dalam kondisi yang menjijikan.

Robert tampak sedang berusaha menyingkirkan meja kayu di tengah-tengah ruangan. Gray pun segera membantunya, namun sayang ketika meja itu diangkat dan diturunkan di pojokan, salah satu kakinya patah akibat dimakan usia.

"Ups, merusak properti orang itu melanggar hukum," gumam Bu Yola, disambut cengiran meremehkan dari Gray. Robert hanya menunduk malu.

"Apa ada yang kau temukan, Rob?" tanya Helena.

"Oh ya, ini!" Robert kembali ke tengah ruangan, menyingkap karpet penuh debu yang sudah dimakan ngengat, dan menggulungnya. Menampakan tutup besi berbentuk lingkaran, ada gambar pentagram dengan kepala binatang seperti kambing.

"Simbol Baphomet?!" gumam Bu Yola terkejut. Menyorotkan cahaya senternya ke simbol itu. "Kenapa simbol beliau ada di rumah ini?"

"Baphomet?" Helena sepertinya tidak tahu.

"Dewa kuno Romawi, biasa dijadikan simbol bagi pemuja setan, dulu juga pernah digunakan oleh Ksatria Templar pada masanya, sebelum dibubarkan oleh pihak gereja, kadang biasa digunakan untuk memanggil tujuh dosa besar," jelas Gray, tangannya menelusuri simbol itu.

"Jadi mereka memuja setan, Gray?"

"Bisa dibilang begitu... Memuja, menyembah, dan menganggap setan adalah Tuhan, aku tak menyangka menemukan simbol satan di rumah ini," kata Gray heran.

"Apa sebaiknya kita menyudahi penyelidikan ini? Sepertinya ini semakin berbahaya," kata Robert menyarankan, ia tampak sedikit was-was.

"Aku setuju dengan Robert" kata Helena mengangguk sepakat.

"Dari awal penyelidikan ini sudah melalui jalan yang berbahaya, jika kalian ketakutan sebaiknya pulang saja, karena aku tidak akan memaksa" ujar Gray bicara tanpa memandang mereka semua, ia tampak berusaha membuka tutup lubang itu.

"Bagaimana denganmu Bu Yola? Apa kau masih ikut menyelidiki hal ini?" tanya Helena berpaling ke Bu Yola.

Succubus itu bersedekap, sejenak ia terlihat berpikir dan kemudian ia berkata, "aku ikut Gray... Walau ada kemungkinan aku bertemu Tuanku, dan aku akan terbunuh"

"Takkan ada yang terbunuh jika kalian mengikuti ku, aku berjanji. Asal kalian menuruti semua kata-kataku" sela Gray.

"Aku percaya itu, sayang" tukas Bu Yola bersikap genit.

Helena dan Robert pun bertukar pandang, keduanya mengangguk bersamaan, dan memutuskan untuk menyelidiki hal ini sampai akhir.

Gray mendongak dan tersenyum puas atas keputusan teman-temannya. Dia pun menyuruh Robert mengambil linggis di mobil yang akan digunakannya untuk mencongkel tutup besi ini.

Setelah bersusah payah, akhirnya mereka berhasil membuka tutup lubang palka itu dengan linggis. Gray menyorotkan senternya ke dalam, dan mengukur kedalaman lubang itu.

Yakin kalau lubang itu tidak terlalu dalam, dia pun melompat ke dalamnya, dan mendapati sebuah lorong panjang berdiameter 2 meter, lantainya dari tanah dan terdapat sulur-sulur akar tanaman yang sudah lama mengering.

"Di sini aman, kalian bisa turun" teriak Gray.

Bu Yola, Robert, dan Helena melompat turun. Mereka berempat pun bersiap menyusuri lorong bawah tanah ini dan menghadapi apapun yang akan mereka temui di ujung lorong nantinya.