"Pada tahun ke 1250 akhirnya Republik Redexyan berhasil mengalahkan orang-orang gurun di selatan sejak saat itu kedamaian telah kembali ke benua Frezna."
Suara ketukan pintu tiba-tiba menyela pelajaran guru Rose, yang tengah berlangsung. Bu guru Rose berkata, "Silahkan masuk."
Pintu kemudian terbuka, sosok remaja yang merupakan anggota OSIS berdiri di depan pintu. "Permisi, giliran kelas ini untuk di tes oleh Gereja Keselamatan telah tiba, silahkan ke lapangan segera."
Setelah mengucapkan itu dia kemudian pergi. Bu guru Rose menghela nafas sebentar ia kemudian melihat ke arah kami. "Baiklah, pelajaran sejarah ditunda untuk sementara waktu, silahkan pergi ke lapangan segera."
"Yes, akhirnya giliran kami!"
"Apa kalian pikir Anak Dewa itu ada di kelas kami?"
"Dari tahun pertama sampai tahun kedua, Anak Dewa belum ditemukan tentu itu artinya dia ada di tahun ketiga, masih ada kemungkinan, mungkin saja itu kelas ini atau kelas lain."
Kami berjalan keluar kelas menuju ke lapangan utama, aku menyempatkan diri mendekati Stephanie yang kebetulan sedang sendirian. Meskipun kami sangat akrab tetapi aku pernah meminta Stephanie agar tak terlalu dekat denganku saat di kelas, tentu kali ini pengecualian karena aku yang memulai percakapan.
"Hei Stephanie," panggilku.
Dia memutar kepalanya menoleh ke arahku, "Oh Kevin, ada apa?"
"Apa kau punya ide siapa Anak Dewa itu?"
Stephanie memegang dagunya sambil berpikir. Ia kemudian berucap, "Mungkinkah itu Shawn? Dia sangat berbakat di berbagai bidang, Anak Dewa itu pasti seseorang yang istimewa bukan?"
Aku mendesah pelan, "Tidakkah kau punya tebakan yang lebih baik? Contohnya…. " Aku mengayunkan jariku dan menunjuk diriku sendiri, "Aku."
"Pff." Stephanie menutup mulutnya sambil menahan tawa.
Aku mendecak melihatnya. Tentu saja aku tak benar-benar berpikir bahwa diriku adalah Anak Dewa tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa jika itu benar-benar aku maka kehidupanku akan berubah 180 derajat. Aku pasti akan memiliki kehidupan yang lebih baik, hal itu bisa membuatku berada dalam status sosial yang sama atau bahkan lebih tinggi dari pada keluarga Stephnie.
Setelah beberapa saat akhirnya kami sampai di lapangan utama. Orang-orang dari Gereja Keselamatan sudah menunggu kami disana. Orang yang nampak seperti pemimipin diantara mereka, maju selangkah dan menyambut kami dengan senyuman, "Selamat datang kawan-kawan mudaku, sampai saat ini kami masih belum menemukan Anak Dewa yang kami cari, tetapi kami tak akan menyerah, mungkin saja Anak Dewa itu ada diantara kalian."
Teman-teman sekelasku terlihat gembira mendengarnya.
"Baiklah, aku ingin satu persatu dari kalian maju dan menempelkan tangan kalian pada bola kaca ini. Bola kaca ini adalah bola kaca khusus yang akan menampilkan resistensi tubuh terhadap polusi dewa, apakah ada diantara kalian yang tahu apa itu polusi dewa?"
Orang itu menunjukkan sebuah bola yang sebesar bola sepak. Berbicara mengenai polusi dewa aku pernah mendengarnya, tetapi, aku lupa detail penjelasannya. Salah seorang murid perempuan di kelas kami mengacungkan tangannya.
"Baik, silahkan terangkan pada teman sekelasmu, apa itu polusi dewa."
"Secara sederhana, polusi dewa adalah sebuah aura khusus pada dewa yang bisa menyebabkan kegilaan pada setiap makhluk yang tidak memiliki kualitas mental yang kuat. Polusi tersebut bisa terjadi karena adanya perbedaan status yang sangat besar antara dewa dan manusia biasa." Orang yang berasal dari Gereja keselamatan itu mengangguk puas.
"Kalian sudah paham? Yang disebut Anak Dewa bukanlah benar-benar Anak Dewa ataupun seseorang yang sangat spesial, satu-satunya hal yang membedakan Anak Dewa dengan manusia biasa hanya resistensi terhadap polusi dewa yang lebih baik."
Aku mengangguk paham, pada dasarnya Anak Dewa tidak seperti yang orang-orang pikirkan, itu tak ada sangkut pautnya dengan bakat ataupun hal-hal lain. Tunggu! Bukankah itu berarti Weasly juga bisa menjadi Anak Dewa, tidak-tidak hehe seharusnya tidak … bukan?
"Baiklah kalau begitu mari kita mulai dengan absen pertama, Abby silahkan maju."
Abby, seorang remaja pria yang agak kurus maju ke depan. Di bawah tatapan penasaran rekan setimnya, Abby menaruh tangannya di atas bola kaca tersebut. Bola Kaca itu tiba-tiba bercahaya, angka dari 1-100 mulai bermunculan secara acak. Setelah beberapa detik angka tersebut berhenti dan menampilkan angka 23.
"Sangat buruk, aku menyarankan agar kau berhati-hati setiap benda suci sudah cukup untuk membuatmu menjadi gila."
"Hhahahah, ini bukan anak dewa namanya, tapi anak kecoa."
"Pfff, lagipula Abby itu tahan banting aja tidak, apa lagi tahan polusi dewa."
Tes ini diawali dengan teman-teman sekelasku yang menertawakan Abby. Dengan wajah merah Abby berlari kembali ke belakang. Selanjutnya murid dengan absen terakhir dipanggil, Zeyn, mendapatkan angka 55, orang itu bilang ini kisaran normal. Tes ini terus berlanjut, kebanyakan murid mendapatkan angka antara 60 dan 50. Weasly secara mengejutkan mendapatkan angka 68, meskipun cukup tinggi tetapi dia bukan Anak Dewa. Aku tentu saja lega mendengarnya.
Tes tersebut akhirnya sampai pada nama Stephanie. Teman-teman sekelasku kini sudah santai mereka tidak terlalu gugup seperti pada awal tes. Mungkin karena melihat terlalu banyak orang yang bukan Anak Dewa merreka menjadi yakin bahwa Anak Dewa tersebut tidak berada di kelas ini. Orang dari gereja keselamatan itu juga santai, Stephanie kemudian menaruh tangannya di atas bola kaca tersebut.
Saat semua orang berpikir tidak akan ada yang terjadi, bola kaca itu menampilkan angka 100. Suasana tiba-tiba sunyi. Entah itu teman-temanku, aku ataupun orang-orang dari Gereja Keselamatan mereka semua melihat ke arah bola kaca itu dengan tatapan kosong.
Tidak mungkin … ini bercanda bukan? Pasti ada kesalahan pada bola kaca tersebut. A-ataukah 100 belum cukup untuk menjadi anak dewa, itu, pasti seperti itu.
"Ini bohong bukan?"
"B-bagaimana bisa setinggi itu?!"
"i-ini!"
Stephanie dengan terheran-heran menatap orang dari gereja keselamatan, "B-bolehkah kutahu apa maksudnya?"
Orang itu menelan ludah dan menatap Stephanie, "Kau adalah orang yang kami cari."
"Uwoooh! Apa ini! Aku sedang menyaksikan sesuatu yang besar!"
"Sialan! Aku harus segera mempostingnya di Fakebook!"
"Mama aku akan masuk Tv!"
Suasana menjadi ricuh, para murid melompat kesana kemari tak karuan. Disisi lain aku menatap kosong ke arah Stephanie. Aku harusnya senang, kehidupan Stephanie akan berubah menjadi lebih baik. Tetapi tak ada tawa yang muncul, hanya duka yang begitu mendalam. Semuanya akan berubah, Stephanie yang diluar jangkauanku kini akan semakin mustahil untuk kugapai.
"Diam! Kalian semua tidak diperbolehkan untuk membocorkan berita ini," dengan ekspresi marah yang menakutkan, orang dari gereja itu menghentikan suasana ricuh yang terjadi. Ia kemudian melihat ke arah Stephanie, "Besok, datanglah ke tempat peribadatan Gereja Keselamatan, kau juga bisa membawa keluargamu, kami akan berbicara cukup panjang."