webnovel

Apakah Ketahuan?

Ketukkan pintu kamar membuat Jemmi harus terpaksa bangun. Awalnya dia pikir bisa mengabaikan ketukan itu dengan kembali tidur. Akan tetapi Jemmi salah, ternyata orang yang ada di depan kamarnya bukalah orang yang mudah menyerah.

Mau tak mau, Jemmi membuka selimutnya dan turun dari tempat tidur. Dia berjalan dengan mata yang nyaris tertutup, kalau saja dia tidak hapal dengan bentuk kamarnya mungkin dia sudah menabrak sesuatu. Hingga sampailah tangan Jemmi memegang handel pintu.

"Apa?" tanya Jemmi sambil menyandarkan kepalanya di daun pintu. Matanya masih saja terpejam.

Lalu, sebuah sentilan keras pada dahi akhirnya membangunkan Jemmi. Mata cowok itu seketika menjadi segar. Kini dia dapat melihat orang yang sudah berbuat jahat padanya itu.

"Kak!" Protes Jemmi.

"Jam berapa kamu pulang?" Januari atau Jaya seperti tidak terpengaruh dengan protes adiknya.

"Jam tiga mungkin, tapi aku udah kunci pintu pagar sama pintu depan yaa," jelas Jemmi sebelum kembali dimarahi oleh Jaya. Matanya kembali terasa berat.

"Mandi, dan kita makan siang bareng. Ada yang mau Kakak bicarakan sama kamu."

Jemmi menarik napas panjang dan membuka mulutnya untuk berbicara. Namun ucapan Jemmi tidak tersampaikan. Sebab Jaya sudah lebih dulu kembali bicara.

"Lima belas menit, Kakak tunggu di bawah. Kalau lebih dari itu, Kakak laporkan ke papa kalau tadi malam kamu mabuk." Jaya menaikkan kedua alisnya sambil tersenyum mengejek, sebelum dia pergi dari hadapan Jemmi.

Mendengar ingin dilaporkan ke papanya, membuat Jemmi harus segera bersiap-siap. Dia menutup pintu dan berjalan masuk ke kamar mandi. Sebelum lima belas menit dis harus sudah berada di hadapan kakaknya.

Ini adalah salah satu hal yang tidak Jemmi sukai dari kakaknya. Jaya adalah orang yang tepat waktu dan apa yang dia katakan tidak pernah menjadi bualan. Walaupun terdengar seperti ancaman anak kecil soal melaporkan Jemmi ke papanya, itu pasti akan terjadi.

Akan menjadi masalah besar bagi Jemmi kalau sampai papanya tau dia pulang pagi dan dalam keadaan mabuk. Bisa-bisa seluruh fasilitasnya akan diambil dan dia harus kembali diawasi seperti saat dia SMA dulu. Membayangkannya saja membuat Jemmi takut. Ejekan dari teman-teman kampusnya sudah pasti akan terjadi.

Dari mandi sampai bersiap-siap, Jemmi hanya menghabiskan waktu tiga belas menit. Menuruni tangga dan melangkahkan kaki ke arah dapur. Rumahnya sangat sunyi karena pembantu yang bekerja di sini sedang diliburkan oleh Jaya dan orangtuanya sedang berada di luar negeri.

"Apa Kak?"

Mata Jaya teralih dari tab ke Jemmi. Dengan tatapan dia menunjukkan tempat duduk di dekatnya. Setelah itu dia menutup tab-nya dan menaruh benda itu di kursi yang lain.

"Makan, kamu pasti lapar."

"Kak Jaya kenapa sih?" Jemmi menyipitkan matanya melihat Jaya karena curiga. Tidak biasanya kakaknya itu bersikap seperti ini di hadapannya.

Jaya mengembuskan napas panjang.

"Oke. Kita langsung aja." Jaya lalu menyingkirkan piring yang ada di hadapannya. Kembali tab tadi dia diambil. Setelah itu, dia tunjukkan pada Jemmi. "Buat apa kamu belanja di toko yang menjual peralatan bayi?"

Jemmi melihat layar tab yang ditunjukkan kakaknya itu. Pada layar tab itu tertera riwayat pengeluaran yang dilakukan oleh Jemmi. Dia pikir kakaknya sibuk dengan urusan pertunangan sehingga tidak sempat untuk mengecek pengeluaran yang dilakukan olehnya.

"Terus ini." Jaya kembali mengambil tab-nya dan beberapa saat kembali lagi menunjukkannya pada Jemmi.

Sekarang, apa yang tertera di layar tab itu adalah riwayat pengiriman uang yang dilakukan oleh Jemmi ke Karin. Ada juga penarikan yang dilakukan oleh Jemmi untuk uang jajannya.

"Minggu ini pengeluaran kamu terlalu banyak dibanding biasanya. Pengeluaran yang paling aneh, yang pertama kakak tunjukkan tadi. Apa yang kamu beli di toko perlengkapan bayi?"

Otak Jemmi terus berpikir untuk mencari alasan. Sekarang bukan saatnya dia seperti apa yang dikatakan pepatah dalam kamus, sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga. Jemmi belum mau seperti itu. Kalau sampai keluarganya tahu soal Emily, habislah dia.

"Kamu buat masalah baru ya?" tubuh Jaya yang sudah mulai curiga dengan sikap diam Jemmi.

"Bukan begitu," jawab Jemmi cepat. "Sebenarnya...."

"Apa?"

"Sebenarnya, itu buat bantu teman Kak."

"Bantu teman?"

Jemmi sekarang sudah menemukan karangan cerita yang tepat untuk membuat kakaknya percaya. Dia pun memasang ekspresi yang percaya diri. "Jadi gini Kak, teman SMA aku dulu. Mungkin Kakak ingat cewek yang namanya Karin?"

"Karin?" tanya Jaya sambil mengingat-ingat namanya. "Cewek yang selalu juara kelas itu?"

Setiap pembagian rapot, Jaya selalu menjadi orang yang mengambilkan rapot untuk Jemmi. Dia pasti datang lebih cepat dari wali yang lain, bahkan sebelum upacara perpisahan selesai. Sehingga Jaya selalu menonton saat kepala sekolah mengumumkan siapa yang menjadi juara di masing-masing kelas.

"Iya itu," jawab Jemmi. "Dia hamil di luar nikah, pacarnya kabur gitu aja dan enggak mau bertanggungjawab karena takut sama orangtuanya. Karin enggak mau menggugurkan dan lebih milih untuk ngerawat anak itu."

Sebenarnya, Jemmi sedikit tidak nyaman dengan apa yang baru saja dia katakan. Sebab apa yang dikatakannya itu menggambarkan diri sendiri.

"Reaksi keluarga Karin gimana waktu tau kalau Karin punya anak tanpa ayah?"

"Karin enggak punya keluarga Kak. Dari kecil dia tinggal di panti asuhan. Hidupnya keras Kak, makanya waktu dengar dia punya masalah lain aku langsung bantuin dia."

Jemmi bisa melihat kalau Jaya mempercayai cerita karangannya. Sepertinya Jemmi sukses menghindari masalah ini. Mungkin saja, lain waktu dia tidak perlu sembunyi-sembunyi lagi untuk memberi uang ke Karin karena kakaknya sudah tahu masalah ini.

"Apa aku bisa ketemu dia hari ini?" tanya Jaya setelah dia beberapa saat.

"Maksud Kakak, ketemu Karin?"

"Iya. Karin sama anaknya itu. Bisa kan? Tinggal di mana dia?"

"Buat apa Kakak mau ketemu dia?"

"Mau memastikan cerita kamu itu benar atau enggak." Jaya menutup tab-nya dan meletakkannya lagi di kursi samping. Piring yang tadi dia singkirkan dan kembali ditarik ke hadapannya. Sampai memotong daging yang ada di atas piring itu, Jaya kembali berbicara. "Kalau cerita itu benar, harusnya kamu enggak takut ngajak Kakak ketemu dengan Karin. Iya kan?"

"Iya, iya. Nanti kapan-kapan aku ajak Kakak ketemu sama Karin."

Rasa percaya diri Jemmi seketika menurun. Jika awalnya dia berpikir Jaya percaya dengan karangan cerita yang dia buat, kini Jemmi mulai meragukan itu. Jaya masih terlihat curiga padanya. Sekarang Jemmi hanya berharap kalau apa yang dikatakan Karin nanti bisa mendukung cerita karangannya.

"Selesai makan, kita langsung ke sana," ucap Jaya tegas.

"Hah?" Mulut Jemmi ternganga mendengar perkataan Jaya. Habislah sudah. Dia tidak mempunyai waktu untuk menjelaskan pada Karin.