7 Chapter 06 : EVSHILLAN

Ada banyak patah yang tersebab oleh rasa, tapi tidak sedikit rasa yang berawal dari patah itu sendiri.

...............

"Aku seneng bisa ada disini sama kamu. Seenggaknya aku tau kalo aku nggak sendirian, Reev."

"Kita nggak pernah sendirian," ucapnya dengan mata terpejam menikmati angin yang meniup seolah memberi sapaan. Kemudian melirik gadis disebelahnya, "nggak pernah sesendirian itu." lanjutnya lalu menyatukan tangan keduanya saling memberi kekuatan.

"Tapi sekarang aku ngerasa sendiri, Lan. Sendirian sampai aku takut nggak bisa lagi pegang tangan kamu, sekedar menguatkan untuk mendapatkan kekuatan itu sendiri." Reev bergumam sendiri mengingat awal ketika mereka pertama mencoba saling membuka diri dan mengetahui masalah dan keresahan hidup masing-masing. Dari atas pohon dia kembali menatap Shillan. Dari kejauhan itu juga Reev melihat Shillan yang sedang fokus dengan buku paket di dekat cemara kipas seperti biasanya.

Reev bersandar pada pohon mencari posisi ternyaman, satu tangannya ia letakkan di belakang kepala sebagai penyangga. Matanya berat karena mengantuk. Semalam ia tidur terlalu larut dan bangun terlalu pagi untuk menyiapkan sarapan karena Ikra abangnya tidak sempat pulang dan memilih menginap di tempat kerja. Kebelet kawin membuatnya kerja lembur bagai kuda.

"Reev."

Suara itu membuat Reev membuka mata, menoleh kebawah dan menemukan gadis itu berdiri disana. Rambutnya yang tergerai ditiup angin entah mengapa melambatkan kedipan mata. Seolah adegan itu mempertontonkan mahakarya terindah dari nirwana dengan iringan suara-suara surga. Dunia.

Setelah sadar akan kedramaan pikirannya, Reev kemudian turun dari pohon dengan cara melompat tepat dihadapan gadis itu. Sedikit menyeimbangkan tubuh dengan setengah membungkuk dan memegang kedua lututnya.

"Apa?"

Tatapan itu menusuk sekali walaupun nada bicaranya terdengar santai, tapi entah kenapa lawan bicara dihadapannya sedikit terlihat menciut.

"Aku nggak main-main soal selesainya kita, Reev."

Mendengar itu Reev menghela napas, kemudian mengambil posisi duduk bersandar dibawah pohon dengan satu kaki menekuk.

"Sini duduk," ucap Reev menepuk-nepuk tempat disebelahnya lalu mendongak melihat Shillan yang masih setia tegak berdiri memperhatikannya.  "Pegel loh kalo berdiri terus." lanjutnya.

"Aku nggak ada waktu."

"Dan aku kangen."

"Aku nggak main-main."

"Tapi aku juga serius."

"Aku–"

"Aku nggak mau putus." Reev menyela Shillan, tidak mengizinkan cewek itu untuk menyelesaikan kalimatnya. Ditariknya lengan Shillan hingga terduduk paksa disebelahnya. Shillan mendengus sebal tapi tidak berani menatap cowok disebelahnya.

"Reev," suaranya tertahan, tenggorokannya serasa tercekik oleh sesuatu. "kita putus."

"Aku enggak tau alasan apa dibalik putus yang kamu sebut-sebut terus itu. Aku ada salah, ada buat kecewa, atau ada buat kamu terluka sampai-sampai putus selalu keluar setiap kali kita ketemu?"

"Aku cuma mau putus, itu aja."

"Shillan kamu tau alasan kamu nggak masuk akal!"

"Reev aku nggak perlu jadi semasuk akal itu untuk punya alasan buat kita putus...."

"Tapi aku butuh biar aku tau dan nggak menerka-nerka, Shillan."

"Nggak perlu Reev, tolong...."

"Atau harus aku yang tau sendiri alasannya apa?"

Keduanya saling menatap setelah kalimat itu Reev ucapkan, entah kenapa sesuatu mendesak untuk keluar dari mata Shillan. Dia tidak tahu apa penyebabnya tapi kata-kata Reev seolah menaruh curiga kepadanya. Tidak Reev, tidak demikian.

"Kamu buat aku menebak-nebak, memaksa aku buat berpikir jahat dan aku nggak bisa, kamu tau."

"Aku nggak melarang semua itu terjadi, Reev. Aku nggak melarang keluarnya semua pikiranmu, itu urusan kamu."

Ada yang menghantam dada usai kalimat itu keluar, menjalar hingga membuat sesuatu didalam sana terasa menyesakkan dan terasa berdenyut menyakitkan tapi Reev tahan.

"Kamu sepihak dan aku sulit untuk sekedar paham untuk bisa menerima." Reev meninggalkan Shillan begitu saja, dia tidak ingin salah bicara dan semakin membuat mereka jauh sejauh mungkin. Reev tidak bisa mendengar apapun yang Shillan ucapkan untuk saat ini, jelas dia tidak pernah menginginkan Shillan pergi darinya, meninggalkannya tanpa alasan. Dia pengecut dan lebih baik lari, lari dari alasan Shillan yang sesungguhnya walaupun tadi dia ingin tahu, walaupun rasa penasaran itu menghantuinya dan sialnya Reev terlalu takut. Takut dengan alasan yang sebenarnya.

"Reev kita putus!"

Tangannya terangkat dari kejauhan mengusaikan pembicaraan itu tanda tidak ingin melanjutkan, Reev mulai jengah dengan keadaan ini. Memilih menulikan pendengarannya dengan langkah yang mengayun menjauhi Shillan. Dia ingin lari, ingin menjauh, ingin segera pergi dari sana. Reev kita putus! adalah kata yang membuatnya merasa kecil, merasa sendiri, merasa bahwa selama ini tidak ada yang benar-benar tulus dari apa yang Shillan lakukan kepadanya. Reev meyakinkan dirinya sendiri bahwa Shillan tidak begitu, tapi pikirannya sedang dalam keadaan yang sulit untuk sekedar berpikir positif.

"ADUH!"

"Nad lo nggak apa-apa?" Banu bertanya ketika Reev menubruk pundak temannya dari arah yang berlawanan. Sedangkan cowok itu berlalu saja tanpa berkata apa-apa. Bukan. Reev bukan tidak ingin berhenti untuk sekedar minta maaf, hanya saja orang yang seharusnya mendapat kata maaf darinya itu salah satu orang yang saat ini ingin Reev hindari. Malas berdebat lebih tepatnya.

"Itu cowok sengak banget ya! Nggak punya sopan santun, abis nabrak main minggat aja."

"Udah-udah. Nggak usah marah-marah, nanti asma lo kumat." Banu mencoba menenangkan Nada yang sudah mencak-mencak tidak terima.

"Ingetin aku buat nggak lewat sini lagi kalo ada dia, Nu." Nada bersungut-sungut sebal sambil membersihkan roknya yang kotor karena ketumpahan bekal makannya. "Sial mulu kalo ada dia. Yang tadi pagi ditimpuk batulah dan sekarang nabrak-nabrak seenak dengkulnya. Itu orang kesumat banget ya sampai nyari gara-gara terus sama aku."

"Sabar Nad, sabar."

"Udah, ayo jalan keburu masuk."

"Nggak bisa pake kesabaran kalo ngadepin itu orang tau nggak, Nu."

"Iya-iya tauuu." Banu membantu mengambilkan sendok Nada yang terjatuh cukup jauh. Sedangkan cewek itu berkomat-kamit menahan kesalnya sendiri.

"Kesel tau, Nu."

"Udah-udah nggak usah nengok-nengok kebelakang lagi." Banu menepuk-nepuk pundak Nada menyabarkan. Kemudian mengajak cewek itu melanjutkan jalan menuju kelas mereka. Sesekali tangannya menolehkan kepala Nada untuk tetap fokus kedepan karena sesekali matanya masih menatap punggung orang yang telah menabraknya padahal sudah menjauh, jika saja ada sinar panas dari mata cewek itu bukan tidak mungkin jika punggung Reev akan bolong dengan sangat lebar saking berulang kali dan lamanya Nada menatap.

"Amit-amit tau nggak sih, Nu kalo aku jadi pacarnya. Orang kayak gitu, dih. Udah sok ganteng, sengak, nggak sopan, sok jual mahal, ih banyak banget deh kurangnya." Nada menghitung dengan jarinya didepan Banu yang tersenyum aneh disebelahnya.

"Eh. Ngitung-ngitung begitu kayaknya diperhatiin banget sih sampai di koleksi kekurangannya."

Nada melirik Banu dengan memiringkan mulut sinis tidak terima. "Apaan tuh maksudnya!"

Banu malah terbahak dengan ekspresi Nada.

"Suka ya jangan-jangan."

"Siapa, aku?" Nada menunjuk hidungnya sendiri tidak percaya, "kalo ngehoaks mbok ya lihat-lihat dulu tooooo." lanjut Nada menirukan gaya ibunya Banu kalau sedang berbicara.

"Malah ngeledek ibuku. Sampean wani to karo mbokku!" Ledek Banu sambil menarik hidung cewek itu hingga kesal kemudian memukul Banu dengan sendok ditangannya.

"Wani piro! "

"Malah nggak nyambung jawabnya." Kesal Banu.

"Ya abis aku taunya cuma itu." Nada tertawa garing. Tapi Banu malah menertawakannya. Dasar.

Bumi Swarang, 24 Agustus 2020

Tubico!

Hope you have a nice day, thanks for reading.

Terima kasih sudah hadir, jangan lupa votement. Kalau kamu suka silahkan save di library.

Find me on :

Instagram : @in_tanns

Wattpad : @dioreenote

___________

________________

____________________

D

I

O

R

E

E

N

O

T

E

avataravatar
Next chapter