Seorang anak remaja laki-laki terduduk seorang diri di atas bangku kayu sebuah ruangan temaram. Dengan dua mata tertutup sehelai pita berwarna hitam. Kedua pergelangan tangan yang terikat di balik senderan kayu. Dan dua pergelangan kaki yang terikat ke kaki kursi. Anak remaja itu sama sekali tidak menunjukkan respon emosional yang umum dimiliki manusia dalam keadaan tersebut. Ia hanya diam tak keluarkan sedikit pun suara atau raungan. Punggungnya menempel di senderan dengan kepala terdangak ke belakang. Bibirnya yang berwarna pink cerah sedikit terbuka menunjukkan deretan gigi terawat yang rapi dan bersih.
Ia adalah seorang anak yang indah. Apa gerangan yang buat ia berada dalam keadaan seperti itu?
MATI! MATI! MATI! MATI! MATI! MATI! MATI! Bagaimana ini? Sebenarnya aku sudah bangun dari tadi, tapi tetap pura-pura pingsan agar siapa pun yang melakukan ini berpikir aku sudah mati.
Bodoh sekali, sih.
Yang jelas aku tidak tau apa yang terjadi sampai bisa ada dalam situasi ini. Kedua tangan dan kakiku tidak bisa digerakkan sama sekali. Kalau sampai sembrono dan bertindak sok seperti tokoh utama film yang macho serta berani, tapi ujung-ujungnya aku malah habis ditonjoki... YA MENDING AKU PURA-PURA BEGINI!
Njiit. Hekh. Tiba-tiba anak remaja itu merasa ada sesuatu mendarat di selangkangannya. Seperti sebuah telapak tangan besar serta macho meremas Mr. Jhony-nya. Eeekh... euukh, tahan, tahan, aku mohon... tahan... jangan sampai orang ini sadar kalau aku sudah...
"Sampai kapan kamu mau pura-pura seperti itu?" tanya seorang lelaki di depannya. "Kamu memang sangat suka berpura-pura," ucapnya seraya membelai salah satu bagian wajah tak berdaya si anak remaja.
"Suara ini... Sas..." ucap anak itu karena sangat familier dengan apa yang baru didengarnya. "Heh, ternyata sampai saat ini pun kau masih begitu kotor seperti dahulu."
"Padahal aku jadi berlumuran cinta seperti ini kan karena dirimu, darling," balas Sas.
"LEPASKAN AKU!" teriaknya tiba-tiba.
Lelaki yang anak itu panggil Sas memasukkan tubuhnya ke dalam dekapan erat. Sstt sstt sstt. Beberapa kali ia belai bagian belakang rambut anak itu. "Aku tidak akan pernah melepaskan kamu lagi. Seperti bagaimana bayangan akan masa lalu tidak pernah membiarkan aku pergi."
"Bu, Bukannya nilai Bahasa Indonesia kamu je, jelek, ya?" tanya anak remaja yang masih sangat terkejut itu. Sekujur tubuhnya kaku lagi kelu. Jantungnya terasa berdebar tidak karuan. Bukan debaran yang menyenangkan, tapi menyakitkan.
Dan air mata menetes tanpa pembuka.
"Kenapa kamu meneteskan air mata?" tanya Sas.
"..."
"Apa yang sudah buat dirimu menderita begitu dalam selama ini?" tanyanya lagi.
"..."
"Tenang saja, darling. Aku akan segera menghancurkan segalanya. Semua yang sudah buat hidup kita yang pendek ini jadi begitu menderita," janji Sas.
"Lepaskan aku... lepaskan aku... lepaskan aku... aku mohon..." pinta anak remaja itu menarik kedua tangan dan kaki. Pita hitam yang tutupi matanya jadi semakin sembab.
"Maafkan aku, darling," respon Sas kembali berjongkok dan menaruh kedua telapak tangannya di atas ujung paha anak remaja itu yang terus meronta.
"Aku mohon! Maafkan aku! Aku tidak mau seperti ini. Aku benci diikat. Aku tidak suka ditahan. Aku benci kegelapan. Aku mohon!" pinta anak itu sekuat tenaga.
"Untuk saat ini... hanya cara inilah yang bisa aku gunakan untuk mencintaimu," ucapnya lagi.
"Tolong aku! Tolong aku! Tolong aku! Hwaaaa! Apa yang kau rencanakan, Sas? Aku mohon... aku bisa mati jika terus seperti ini," ucap anak itu. Belum menyerah memohon walau tau kemungkinan terkabulnya permohonan itu sangat kecil.
Laki-laki dengan wajah yang tegas, tapi sangat lembut itu tersenyum kecil. Sembari menatap kedua mata putus asa anak remaja di depannya yang tak terlihat, ia menjawab "Aku tidak punya masalah walau kau harus mati selama itu saat berada dalam dekapanku, darling."
"KAU TIDAK WARAS!" umpat si anak remaja putus asa.
GREP. Sas mencengkram kuat dagu anak laki-laki di depannya. Ia tak lagi bersuara karena ketakutan kuasai jiwa. Sebagai gantinya air mata dan keringat menetes deras di ruangan panas itu.
"A, Apfhaa..." anak itu berusaha bicara. Tapi, tak kuasa karena cengkraman tangan Sas sangat kuat menjepit wajah. Dgub dgub dgub. Jantungnya berdegub sangat kencang. Semakin mendorong pabrik air mata untuk memproduksi air mata. Air mata yang menetes tak lagi hanya karena alasan takut, benci, atau marah. Namun, hal yang tak bisa dimanifestasikan dengan sekadar ucapan.
Laki-laki itu, Sas, dengan tatapan lembut yang kini berubah jadi tatapan sadis tak punya perasaan. Memasukkan dua jarinya, jari telunjuk dan tengah, ke dalam mulut anak itu.
"HAAAAKKH! HAAAAKKH! HAAAAKKH!" respon anak remaja laki-laki di atas kursi tanpa bisa bicara satu patah kata pun juga. Hanya mampu refleksikan emosi dalam suara tanpa makna.
"Kalau kamu terus berisik nanti benda yang ada di tanganku ini aku potong, lho," peringat Sas.
"..."
"He he he, bercanda," ucap Sas lagi seraya mengeluarkan jemari panjangnya dari mulut si anak remaja laki-laki. Setelah itu ia tarus telapak tangannya yang sebagian basah oleh saliva di wajah si anak remaja. "Kalau kau bersikap baik. Lain kali akan kucium bibir lembut ini timbang memotong lidah yang tidak cantik."
"Akan aku lakukan apa pun untukmu, Sas. Tolong lepaskan aku. Aku tidak mau seperti ini," pohon anak itu lagi menurunkan oktaf suara. Bicara jauh lebih tenang. Belum punya niat menyerah. Berharap kerendahan diri bisa manipulasi hati. Lagipula selama ini juga ia sama sekali bukan orang yang mudah untuk ditangani.
"Melakukan apa pun itu... berarti sangat banyak hal lho, darling..." balas Sas.
Anak itu mengangkat wajah. Jauh, jauh, jauh lebih tenang. Berkata, "Aku heran. Bagaimana sampai akhirnya bisa terjebak dengan orang sakit jiwa sepertimu."
Sas menekuk kaki dan menaruh lutut di selangkangan anak itu. Ia bungkukkan tubuh dan merengkuh kepalanya. Dimasukkan dalam dekapan dada paling hangat di seluruh alam semesta. "Yah, kamu, aku, bahkan semua orang di muka bumi ini menyimpan anak kecil tidak waras dalam kepala mereka, 'kan? Tinggal menunggu waktu sampai ada yang membangunkan saja," jawabnya seraya menaruh dagu di dahi anak itu.
Menutup mata hendak kembali mengulang kenangan indah soal bagaimana semesta menari hingga pertemukan takdir yang awalnya terpisah.
"Aku tidak ingin kehilanganmu, darling," ucap Sas.
Anak itu membalas, "Terjun saja dari lantai tiga bangunan yang ditinggalkan sana!"
Drrk zrrk drrrb.
Sas mendirikan tubuh. Menoleh ke arah pintu ruangan yang ada di belakang. "..."
Tindakan mencurigakan lelaki itu membuat si anak remaja yang tadi sangat putus asa heran hingga memutuskan bertanya, "Ada apa, sih?"
Sas kembali melihatnya. Menaruh telunjuk di depan bibir dan mendesis kecil, "Ssstt!"
Walau diminta diam, anak itu kembali berkata, "Sebelum main rahasia-rahasiaan bisa lepaskan aku dulu tidak, sih? Aku serius lho saat bilang aku tidak suka diikat."
"Aku juga serius lho saat bilang tidak akan pernah melepaskanmu lagi," balas Sas sambil mengecup dahi anak remaja yang tak berdaya. "Tunggu sebentar ya, darling. Sepertinya ada yang mau mengajak kita bermain di luar," ucapnya lagi sambil melingkarkan dasi di mulut anak itu agar tak bisa bicara. "Nanti kita akan bertemu lagi."
Jangan pergi!
Sas tak ingin dengar lebih jauh. Berjalan keluar dan berdiri di balik pintu yang tengah "lindungi" pemuda itu. Melihat beberapa orang lelaki berpakaian hitam dengan tampang suram dan berbagai senjata tajam di tangan. Siap perjuangkan apa yang mereka anggap sebagai kebenaran.
"HEEEEAAAAHHH!!!" pekik Sas siap menghadapi tantangan. Demi hal yang ia jadikan pilihan.
Bagaimana... semua bisa jadi seperti ini pada awalnya?
Once upon a time...