webnovel

Entah Kenapa Hidupku Tak Secerah Matahari

SINOPSIS : Penyendiri dan pembenci. Haika Michi adalah seorang anak SMA biasa. Ia hanyalah siswa SMA seperti pada umumnya, tidak lebih. Jikalau pun ada yang berbeda dari dirinya dengan yang lain, itu adalah tentang sudut pandang garis kerasnya. Paradigma tentang kehidupannya sendiri dan masyarakat benar-benar melenceng dari seharusnya. Bisa dibilang, pola pikir dan sudut pandangnya itulah yang membuatnya sedikit berbeda dari yang lain. Ia sendiri melandasi 3 hal dalam kehidupannya : 1. Bermasyarakat hanyalah permainan bajak laut kecil yang tidak menyehatkan. 2. Teman hanyalah kebahagiaan sesaat. 3. Kebahagiaan hanyalah cerita fiksi belaka. Dan jika ditanya tentang cita-citanya, ia akan menjawab ”Aku ingin jadi orang yang beruntung”. Begitulah dia. Biarpun ia memiliki warnanya sendiri, tentu ini bukanlah hal yang bisa dibanggakan. Tapi baginya itu tidak terlalu menjadi masalah. Baginya hidup yang hambar itu tidak terlalu buruk. Ya, tidak masalah jika mengatakan ia memiliki kepribadian yang Busuk. Dengan kehidupannya yang seperti itu, apakah ada hal yang bisa membuatnya menjadi lebih baik???

Beruang_Biru · Realistic
Not enough ratings
15 Chs

BAB 6-B (Dan Akhirnya, Ia Memiliki Satu Lagi Permintaan)

"Kalimat" --> artinya Dialog saat ini.

["Kalimat"] --> artinya Dialog yang terjadi di masa lalu.

[kalimat] --> artinya Bicara dalam hati.

'kalimat' --> artinya Kalimat Kutipan / Kata Ambigu / Informasi berita yang dibaca oleh Haika Michi sebagai tokoh utama {tergantung bagaimana konteks dan situasinya nanti}.

Selama Membaca ^-^

@ @ @ @ @

"Tapi kenapa kau tidak datang ke UKS saja?" aku menemuinya dalam keadaan yang menahan nyeri dan belum adanya tindakan medis. Jadi aku hanya asal ceplos sesuai apa yang terlintas di benakku.

"Aku sudah ke sana. Namun pintunya masih terkunci. Aku menjadi panik karena darahnya yang terus mengalir. Jadi yang terpikirkan oleh ku adalah membasuhnya dengan air. Aku tahu keran air yang paling dekat dari UKS itu toilet laki-laki. Jadi aku mendatanginya untuk membasuh lukaku, karena ku pikir toilet perempuan terlalu jauh." oh, jadi begini alasan yang sebenarnya.

Sambil menarik kedua ujung kain itu diatas lukanya, "Aw…" ia selesai membalut lukanya dengan mengikat balutan kain itu dengan cukup erat. Hanya sedikit ringisan saat aku melihatnya melakukan itu dan ku pikir ia cukup tangguh sebagai seorang perempuan yang sedang terluka. "Semoga dengan ini pendarahannya berhenti."

"Uh. Semoga saja itu membuatnya lebih baikan."

Sejujurnya aku juga tidak akan tahu apa yang harus ku lakukan jika dalam posisinya. Aku harus berbuat apa dan bagaimana. Aku juga tidak tahu apakah ini tindakan yang benar dan dianjurkan oleh medis atau tidak. Tapi aku akan melakukan hal yang sama seperti yang dia lakukan saat ini jika aku mengalaminya—toh justru aku sendiri yang menyuruhnya melakukan ini-itu seperti seorang dokter berpengalaman—oh…ternyata pengetahuan sederhana tentang medis itu sangat penting—apa mungkin kuputuskan untuk menjadi dokter saja aku nanti? Agar aku bisa membantu penanganan luka gores seperti ini dengan cara yang benar!

Ia pun terdiri dari rundukannya. Ia berdiri tegap sembari menggoyangkan kaki kanannya berulang-ulang seperti memastikan bahwa ia sudah baik-baik saja. Dan di seberangnya ada aku yang hanya melihat gerakan-gerakan kecil yang ia buat itu sambil berbisik dalam hati : [Semoga saja semua itu membantu.]

"Lebih baik setelah ini kau pergi ke UKS saja." jelas, itu memang harus dilakukan agar dapat penanganan langsung dari seorang ahli.

"Ya. Aku akan ke sana nanti."

Oke, obat luka itu pun dikembalikan padaku. Sejauh ini tidak ada pertanyaan darinya tentang mengapa aku membawa obat luka ke sekolah—atau mungkin saja itu sesuatu yang wajar bagi seseorang jika dengan asumsi obat itu akan digunakan untuk praktik.

"Kucing kecil itu… syukurlah dia baik-baik saja." dalam tatapan yang menerawang, ia bergumam pelan pada dirinya sendiri. Aku tidak tahu, aku tidak tahu apa yang ada di benaknya sampai ia berani beraksi heroik saat mendengar suara teriakkan kucing kecil itu dan mendapatkannya sedang terjebak. Tapi yang pasti, ia harus mencari kucing itu lagi nanti.

Karena kucing kecil itu pasti belum mengatakan ucapan terima kasih padanya.

"Sebenarnya ini masih terasa sakit," sembari memegang lukanya, "Tapi ini tak seberapa." ia memberikan pengertian padaku. Meringis nyeri, menahan perih, mungkin juga menyerah. Ya, dia gadis yang hebat. Meski raut wajahnya terlihat kesakitan, "Lagi pula…." ia masih bisa tersenyum. "Aku sangat merasa bahagia hari ini."

Sejauh mataku memandang, ia memang terlihat baik-baik saja jika dinilai dari gayanya berbicara. Tidak ada keluhan, penyesalan ataupun kutukan yang keluar dari mulutnya. Bahkan dengan menahan nyeri, ia masih memberikan raut wajah yang sumringah.

"Maafkan aku karena sudah menabrakmu, ya, kak." ah, dia meminta maaf lagi.

"Tidak apa-apa."

"Dan terima kasih banyak atas pertolongannya." kembali, ia membuat lekukan senyum di bibirnya dan sebuah anggukan kecil terima kasih.

"Itu juga tidak masalah." tidak sepertinya, aku tidak melantunkan sebuah senyuman, melainkan hanya sebuah jawaban sederhana.

Aku masih berdiri mematung di tempatku berdiri. Ia pun masih berdiri mematung di tempatnya berdiri. Tentu, ini adalah momen sebelum skenario pertemuan kecil ini berakhir—momen tak sengaja yang terjadi atas kecerobohan kami berdua.

Aku mulai melihat pergerakan kecil darinya. "Namaku Destia. Kelas 12.2-A." langkah kakinya mulai membelok, dan wajahnya menoleh ke arahku. "Karena kakak sudah membantuku, jadi kalau butuh bantuan bilang saja padaku." lalu kalimat pamit itu pun keluar dari bibirnya. Badannya mulai berpaling, kakinya mulai melangkah pergi,

Hingga sosoknya pun perlahan hilang dari pandanganku.

Melihat kepergiannya membuat ku ikut lekas pergi dari tempatku berdiri.

Masih dengan menangkup bawaanku, aku meneruskan sisa perjalanan ini.

Aku megilas balik sejenak ketika kami bertabrakan. Tidak ku sangka aku bertabrakan dengan seorang perempuan. Aku tidak mengherankan siapa yang ku tabrak atau mengapa kami bisa bertabrakan. Aku hanya heran mengapa aku bertabrakan dengan seorang perempuan yang keluar dari arah toilet laki-laki. Saat aku mencoba menerka situasinya pertama kali, aku hanya terpikirkan kejanggalan-kejanggalan yang melintas di benakku. Tapi setelah semua kebenaran yang ku dengar langsung, aku berpikir kalau aku ini ternyata kurang memiliki pemikiran yang luas untuk menyimpulkan suatu hal.

Karena di dunia ini apa saja bisa terjadi.

Aku tahu situasinya cukup genting. Akan tetapi memasuki toilet laki-laki untuk membasuh lukanya juga adalah sesuatu keputusan yang mengkhawatirkan menurutku. Meskipun menganggapnya ini masih terlalu pagi, nyatanya ada saja siswa-siswi yang sudah datang—yang mungkin saja ingin pergi ke toilet. Memang, kasus perempuan memasuki toilet laki-laki tidak akan menjadi masalah yang begitu besar jika dibandingkan kasus laki-laki memasuki toilet perempuan. Meski begitu jika ada seseorang yang memergokinya, aku hanya khawatir dia akan dicap sebagai siswi yang 'aneh' setelahnya. Bahkan aku sendiri akan tetap salah paham pada siswi itu jika aku tidak tahu alasan yang sebenarnya.

Walau aku juga akan mencoba memaklumi kalau ia mendatangi toilet laki-laki karena toilet perempuan sedang penuh atau sedang tidak bisa dipakai.

Dan setelah mendengar aksi heroiknya menyelamatkan seekor kucing, aku hanya bertanya-tanya, apakah barusan aku bertemu dengan seseorang yang disebut 'Dewi Kucing'?

Mungkin saja sebenarnya ia tidak begitu menyukai seekor kucing. Tapi siapa yang akan menyangka kalau ia tidak mencintai hewan itu, jika aku mendengarnya sendiri kalau ia sampai-sampai memanjat tembok rumah orang hanya demi menyelamatkan seekor anak kucing dengan resiko yang sangat besar baginya yang seorang perempuan. Tentu aku tidak bisa menyangkal kalau ia memang seorang pecinta kucing sejati.

Aku tahu hewan itu memang lucu. Bahkan aku ingat pernah memiliki satu momen yang menggemaskan bersama hewan itu. Dimana dulu aku pernah didatangi seekor kucing remaja—postur tubunya yang tidak begitu besar ataupun terlalu kecil. Ia mendatangiku sambil mengeong—mengelilingiku, menyandarkan tubuhnya di kakiku sambil tetap mengeong yang membuat aku merasa seperti seorang ayah yang dimintai sesuatu oleh anaknya tapi tidak bisa ku kabulkan. Ketika ku perhatikan, itu jenis kucing yang mahal. Aku melihat sekelilingku apakah ada seseorang yang sedang mencari kucing yang menyasar itu atau tidak. Hingga beberapa saat datanglah seorang wanita muda menghampiri, tersenyum, meminta maaf dan menggendong kucing itu pergi. Sebelum aku kehilangan sosoknya, aku memandangi kucing itu seksama. Aku baru tersadar makhluk itu memanglah sungguh menggemaskan ternyata. Ya, kucing dan si pemilik kucing itu memang sungguh menggemaskan.

Terutama si pemilik kucing itu.

Ah, tidak. Kenangan itu ternyata masih terngiang jelas di otakku, ya? Bahkan siluet wajahnya hanya sedikit saja yang memudar. Apakah ini yang disebut cinta pandangan pertama? Tentu aku akan menyangkal teori itu.

Bagiku itu hanya checkpoint ingatan semata.

Ada perasaan lega yang datang tiba-tiba. Akhirnya, aku terbebaskan dari rasa yang menggelisahkan dan merasa sangat lega. Ritualku di toilet sudah selesai. Buku-buku yang ku letakan di atas tembok penyekat itu ku angkat kembali menuju tangkupanku dan berjalan keluar.

Aku menerkanya kembali seksama. Tumpukan buku ini berkisar 10 buah. Dan buku yang berada paling depan saat ini adalah buku kimia. Mata pelajaran yang menjadi biang keladi utama yang telah mempengaruhi Bu Echa untuk menjatuhkan dan menjebakku sebagai relawan dalam waktu dekat. Dasar mata pelajaran tidak tahu malu—padahal sudah ketahuan oleh ku akal bulusnya, tapi masih saja berani menampakkan diri di depanku.

Aku hanya sedikit menyesal jika mengingat hari itu.

Hari dimana semua waktu liburku nanti dicabut paksa.

Rambut yang panjangnya sedikit di atas bahu. Lalu mengenakan jepit rambut bulat berwarna kuning. Saat aku berjalan di lorong menuju ruang guru, aku melihat sosok perempuan di ujung sana. Berjalan sedikit terpincang dengan gestur tubuh yang sudah ku kenali sebelumnya pagi ini.

["Aku Destia. Kelas 12.2-A."]

Seingatku kelas itu ada di lantai 3. Berderet di antara kelas 3 lainnya.

Walau pandanganku cukup berjarak darinya yang di ujung sana, aku tahu bahwa itu memang dirinya sangat jelas. Ia berhenti di samping pintu sebuah kelas dan terlihat sedang mengecek sesuatu di dalam kelas itu dari luar. Ia seperti memastikan sesuatu sebelum mencoba melangkah memasuki kelas 11.1-B itu. Sementara aku di sini hanya membatin, untuk apa dia ke sana jika kelasnya sendiri ada di lantai 3?

Dari posisi ini, aku melihatnya mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya. Dengan langkah tertatih ia memasuki kelas itu dengan memegang secarik kertas.

Hingga akhirnya aku kehilangan sosoknya untuk yang ketiga kalinya hari ini.

Aku yang melihatnya dari kejauhan hanya bisa berasumsi. Dari skenario kecil yang terjadi di antara aku dengannya hari ini, aku akhirnya bisa mengerti tentang 'Kebahagiaan' yang ia sampaikan padaku sebelumnya. Mungkin saja 'Kebahagiaan' itu tentang keberhasilannya menyelamatkan seekor kucing kecil hari ini. Atau mungkin…

["Lagi pula…"]

Sebelum aku berbelok untuk mengantarkan buku ini sampai tujuan, aku melihat sosoknya kembali keluar dari kelas itu. Dengan tegapan kepala yang sedikit merunduk, raut wajah bahagia yang tersenyum-senyum itu bergegas menjauh dengan tertatih.

["Lagi pula… aku merasa sangat bahagia hari ini."] atau mungkin itu adalah kebahagiaan tentang sesuatu yang lain.

Mungkin saja aku salah. Tapi…

Aku merasa kalau ia berhasil mengantarkan surat cintanya.

@ @ @ @ @

Seperti waktu lalu, saat aku terburu-buru bersaing dengan waktu untuk menemui Bu Echa kala jam isrirahat, hari ini aku juga melakukannya lagi.

Bedanya, tanpa sempat menghabiskan jam istirahatku yang tenang di belakang sekolah, dengan hanya memakan beberapa makanan ringan serta beberapa mililiter tegukan minuman mineral langsung di kantin, kini aku berjibaku dengan surat-surat undangan yang menyebalkan ini.

Setidaknya ada 23 surat undangan yang harus ku bagikan dalam waktu 40 menit—dan sudah ku ambil 15 menit terlebih dahulu untuk istirahat. Aku sudah memulainya sejak beberapa menit yang lalu. Dan sekarang hanya tersisa sedikit angka saja sebelum akhirnya tombol bel di sana—di aula ditekan.

Rasanya aku sedang mengikuti sebuah game yang sangat mendebarkan—meresahkan.

Aku tidak bisa menunda membagikan surat undangan ini sampai jam belajar selesai, karena pasti 23 orang ini pasti langsung pulang—aku pasti langsung kehilangan keberadaan mereka. Ataupun membagikannya pagi ini, karena aku tidak cukup membulatkan tekad dan semangatku untuk membagikannya pada waktu itu—terlebih aku tidak mau merusak suasana hati di awal hari. Ataupun mangkir sebentar saat jam kelas berlangsung untuk membagikannya, karena itu sama saja dengan bunuh diri. Jadi ku pilih jam istirahat untuk membagikannya, dengan konsekuensi sepadan yang harus ku terima—semisal, beberapa dari 23 orang itu akan tidak ada di kelasnya karena masih di luar untuk istirahat. Masalah yang sederhana, aku hanya akan menitipkan surat itu pada siapapun yang ada di kelas itu untuk menyampaikannya nanti—walau ada kemungkinan surat itu tidak tersampaikan kepada orang yang bersangkutan nantinya karena berbagai alasan. Ini hanya kemungkinan terburuk, jadi semoga saja tidak akan terjadi.

Sudah hampir seluruhnya undangan ini ku sebar. Sebagian besar aku menyerahkan surat ini kepada orang yang bersangkutannya langsung, baik yang memang sedang berada di dalam kelas atau di lorong di depan kelasnya masing-masing. Kejadian ini masuk akal. Karena secara logika, orang-orang yang mendaftar menjadi relawan adalah orang-orang yang memiliki kehidupan dinamis yang mengesankan. Dan jika membicarakannya dalam konteks siswa sekolah, tentu yang dimaksud dinamis adalah mereka-mereka yang tidak banyak menghabiskan waktunya di tempat yang antah-berantah, yang hanya akan mau masuk kembali ke kelas jika bel sudah berbunyi—atau bahkan tidak akan mau kembali ke kelas meski bel sudah dibunyikan sekalipun, kecuali mereka melihat guru yang akan mengajar kelas mereka telah datang. Aku sering melihat kejadian ini—terasa seperti mereka tidak sudi menghabiskan waktu walau hanya sedetik saja berada di dalam kelas, kecuali ada guru yang mengajar di sana.

Dan para calon relawan ini tentu tidak melakukan itu.

Berdasar apa yang ku lihat, para calon relawan ini kebanyakan sudah berada di sekitar kelas mereka masing-masing. Ada yang tidak datang ke kantin, melainkan membawa bekal dari rumah dan memakannya di dalam kelas. Ada yang sedang mengobrol, bermain dengan ponselnya atau tidur di dalam kelas—aku tidak tahu apa mereka jajan ke kantin atau tidak, tapi mungkin saja mereka sudah selesai istirahat sebelum aku datang. Kebanyakan dari mereka juga menghabiskan sisa waktu istirahat di luar kelas tepat di depan kelasnya—entah mengobrol, bercanda ria atau semacamnya. Dan untuk yang sedang tidak berada di sekitar kelas, aku asumsikan bahwa mereka masih menikmati hidangan mereka di kantin—baik hidangan santapan atau mungkin hidangan antrian—dan aku memakluminya. Ini seperti sebuah survey sederhana, bahwa mereka yang ingin aktif dan bermanfaat bagi sekitar akan memiliki karakter yang mendukung untuk mewujudkan itu—seperti sebuah sinkronisasi yang ideal, dimana akar yang kuat tentu akan mampu menahan pohon yang besar dan menjulang tinggi.

Aku tidak benar-benar menganggap mutlak bahwa siswa-siswi relawan adalah orang yang dipenuhi rasa kepedulian dan memukul rata bahwa mereka semua sama baiknya. Karena aku sendiri yang tidak memiliki karakter elegan itu, dalam waktu dekat akan menyandang gelar tersebut.

Dari 23 undangan, aku sudah mengantarkan tepat pada orangnya sebanyak 14. Sebanyak 7 dari mereka tidak ada di tempat dan ku titipkan pada teman kelasnya. Untuk kontak telepon sendiri aku sudah berhasil mendapatkan semuanya. Tidak ada komplain atau sanggahan dari 14 orang itu, saat ku mintai nomor telepon mereka sembari ku sodorkan lembaran yang sudah diberi cap sekolah oleh Bu Echa. Mereka menulisnya dengan tenang di sana walau beberapa dari mereka justru lupa akan kontak mereka sendiri.

Untuk mereka yang tidak ada di kelas pun aku sudah mendapatkan seluruhnya, dengan menggali informasi tentang kontak mereka yang disimpan oleh teman se-kelas. Aku sudah melakukan itu sebanyak 7 kali—dan aku baru saja melakukan yang ke 8 kalinya.

"Terima kasih banyak." ucap basa-basiku padanya.

"Sama-sama." balas siswa kelas 12.3-A ini.

Aku meluyur pergi dari kelas itu setelah menitipkan undangan atas nama Eksa Pramuda—pramusa—prasukma—pramuka—oh, entahlah. Lalu meminta teman sekelasnya yang entahlah siapa namanya itu untuk menuliskan nomor telepon calon relawan yang hilang itu di kertas selembar yang ku pegang ini.

Dan kini, hanya tersisa satu surat lagi yang perlu ku antarkan.

'DESTIA RINJANI

12.2-A'

Dan ku lihat namanya-lah yang tertulis di dalam surat terakhir.

Aku sudah merapikan susuanan surat undangan itu sedemikian rupa, sehingga rute perjalananku nanti terstruktur, berderet-beriringan, hemat jalur, hemat energi, , tidak berbelit-belit dan yang pasti tidak membuang-buang waktu saat aku membagikannya. Karena jika aku tidak melakukan itu, bisa-bisa waktu akan terus berjalan cepat tanpa aku mampu menyelesaikan semua tugas ini—dan aku tidak mau menundanya untuk besok—itu semacam sebuah tekanan yang agak mengganggu untukku.

Karena aku tidak ingin merasa terusik.

Hanya perlu menggeser beberapa langkah saja untuk menemui titik perjalanan akhir ini. Berjalan beberapa langkah dari kelas 12.3-A menuju ke kelas 12.2-A yang tepat berada bersampingan.

"Permisi," ada sekitar 7 siswa yang berada di depan kelas 12.2-A. "Aku ingin mengantarkan surat undangan untuk Destia Rinjani, kelas 12.2-A." dan aku memulai percakapan dengan bertanya pada seorang siswi yang sedang bersandar di kusen pintu kelas.

"Destia?"

"Ya. Aku ingin mengantarkan ini padanya." tegasku dengan mengacungkan surat ini padanya.

"Oh, Destia, ya?" liriknya ke dalam kelas. "Tapi dia tidak masuk hari ini."

"Hmmm," aku hanya berlagak agar terlihat mengerti situasinya—tidak, aku tidak mengerti situasinya. Tadi pagi aku bertemu dengannya. Jadi, apakah keadaanya memburuk? Semoga saja tidak. "Kalau begitu, apa kau tidak keberatan jika aku menitipkan ini padamu untuk memberikan kepadanya nanti?" surat itu ku sodorkan padanya sebagai bentuk pemaksaan secara halus—cara inilah yang sedari tadi aku lakukan.

"Oh, iya." angguknya, kemudian diikuti lirikan matanya lalu mengambil kertas itu bersamaan. "Tapi ini surat apa?" dengan rasa penasaran ia membolak-balik surat itu.

Aku sudah mengatakan hal ini berkali-kali, "Itu surat undangan dari sekolah untuknya."—rasanya sudah mulai bosan.

"Hmm. Baiklah, aku akan kasih ini padanya nanti."

"Ah, ada satu hal lagi," mendengar interupsiku barusan, ia hanya mengekspresikan sedikit kerjapan. Aku masih menyisakan satu lagi misi yang belum ku sempurnakan. "Bolehkah aku minta tolong untuk menuliskan nomor kontaknya di kertas ini? Bu Echa memintanya untuk kepentingan data informasi." ya... cara ini jugalah yang sedari tadi aku terapkan.

Seperti kata Beliau waktu kemarin. Selain aku harus mengantarkan surat-surat itu kepada calon relawan yang berjumah sekian, aku juga diberi misi untuk mendapatkan nomor kontak mereka secara gratisan. Bu Echa sudah mempersiapkan segala sesuatunya yang mungkin saja aku keluhkan, termasuk cara mendapatkan nomor kontak mereka tanpa harus membuat sebuah kecurigaan. Misi ini benar-benar berhasil. Aku sudah mendapatkan seluruh nomor telepon para gadis yang akan menjadi relawan nanti—tentu para pejantannya juga. Tak lupa, beliau juga mengizinkan ku untuk menyimpan salah satu nomor dari gadis-gadis itu yang akan menjadi misi terakhir pribadi—waktu itu aku menyangkalnya. Tapi setelah melihat keadaan di lapangan, seperti ada momen yang membuat darahku mendidih untuk melakukan random chat dan merelakan sisa 100 mb kuotaku untuk itu—meski itu malah membuatku merasa seperti lelaki kesepian yang menyedihkan.

"Ummm… maaf. Tapi aku tidak punya kontaknya."

Oh, ayolah. "Apa temanmu yang lain tidak ada yang punya?"

"Hmm?" aku tahu dia mengerti maksudku—maksud dari aku yang sedang memaksanya.

Dia berusaha mengabulkan apa yang ku inginkan. Beberapa temannya ia tanyai. Secara simultan kalimat yang sama keluar dari bibirnya beberapa kali. Dari satu nama ke nama yang lain. Hingga akhirnya dia datang menghampiriku dengan mengembalikan kertas itu yang sudah terukir kontak anak itu dengan tinta hitam.

Tak ku sangka dia mau menuruti apa yang ku pinta.

"Terima kasih banyak atas bantuannya." setidaknya aku sudah mengatakan kalimat ini sebanyak 24 kali hari ini.

"Iya, sama-sama."

Misiku sudah selesai 100%. Aku pun bergegas meninggalkan kelas itu dengan di hadiahi tatapan yang cuek dari anak-anak yang berada di lorong kelas—padahal mereka adalah senior—tapi aku melewati mereka tanpa sapaan ba-bi-bu ataupun senyum palsu.

Aku tidak terbiasa melakukan hal semacam itu—lagi pula aku juga tidak ingin melakukannya.

Terus berjalan beberapa langkah, aku sudah mendekati ujung lorong lantai 3 ini. Meninggalkan senior-senior itu di belakang lalu melewati kelas 12.1-A sebagai kelas terakhir— begitupun untuk senior-senior yang sedang berada di lorong kelas itu juga. Ketika aku sudah berada di ujung lorong untuk berbelok menuruni tangga,

"Hei, Haika," terdengar suara laki-laki yang memanggilku. "Tunggu sebentar."

Kepalaku otomatis menengok ke arah sumber suara. Terlihat sosok yang sedang berlari-lari kecil mengahampiri—harusnya dia tidak perlu sampai berlari—memangnya ini adegan film romantis apa!?

Aku mematung menunggunya. Ia pun sampai. Kini kami berdiri berhadapan.

"Maaf sebelumnya memanggil mu seenaknya."

Apa-apaan rasa sungkan itu? "Tidak masalah." apakah dia adalah tipe manusia yang mudah tidak enak hati?

"Apa aku mengganggumu?"

Ya, ampun. "Tidak sama sekali." aku tahu dia hanya basa-basi saja. Tapi tingkahnya ini seperti aku adalah seorang gadis cantik yang ingin diajak berkenalan—ah, jadi seperti ini toh caranya mengajak kenalan seorang gadis?

"Kau ada keperluan di lantai 3 sini?"

"Ya. Ada beberapa hal yang harus ku kerjakan di sini."

"Oh, kau sedang meminta informasi untuk dikumpulkan?"

"Ya, begitulah. Bu Echa menyuruhku ini-itu untuk ku kerjakan."

"Bu Echa?"

"Uh."

"Oh, dia, ya? Setahu ku beliau menjadi salah satu panitia untuk acara festival nanti. Apa jangan-jangan kertas ini bersangkutan untuk acara itu?"

"Mungkin saja. Aku hanya habis membagi-bagikan surat undangan untuk murid-murid yang akan menjadi relawan nanti. Kertas ini hanya berisi nomor telepon mereka sesuai permintaan beliau."

"Hmm, ternyata beliau guru yang sangat perhatian, ya?"

"…. mungkin begitu."

"Aku tidak begitu mengenalnya. Soalnya beliau hanya mengajar untuk kelas 1 saja. Tapi aku pernah bertemu dengannya beberapa kali, kurasa selain masih sangat muda dan aktif, ternyata dia orang yang penuh perhatian."

"…"

"Aku akan dengan senang hati diajar oleh beliau nanti jika mungkin."

Luar Biasa.

Kemampuan basa-basinya sangat menakjubkan.

Kemampuan yang terasa tidak ilmiah bagiku.

Kemampuan yang tidak mungkin untuk ku miliki.

Seingatku, aku tidak melihat sosoknya saat berada di kelas 12.2-A tadi. Aku juga tidak melihat sosoknya yang berada di depan kelas 12.1-A saat melewati kelas itu. Jadi mungkin saja dia sedang berada di dalam kelas 12.1-A dan berderap menghampiriku dari dalam kelas itu—atau mungkin ia datang dari antah-berantah.

Selain mahir dalam basa-basi, rasanya ia juga tanggap dalam menilai situasi. Saat aku hanya sedikit mengacungkan kertas ini, ia paham kalau aku sedang mengumpulkan informasi hanya berdasarkan coretan tangan dan tulisan nomor telepon yang mengumpul di depan kertasnya. Atau mungkin lebih kepada ia sudah sering melakukan hal yang sama sepertiku sebelumnya, jadi tanpa perlu penjelasan lebih, ia langsung mengerti situasinya berlandaskan pengalamannya sendiri—cukup wajar karena ia adalah siswa penting di sekolah ini.

"Kau bilang tadi sedang mengantarkan surat undangan untuk para murid relawan?"

[Pendengaran dan ingatan yang tajam.] "Uh."

"Jadi kau sendiri bagaimana?"

���Bagaimana?"

"Apa kau juga mendaftar menjadi relawan?" apakah dia menantikan debutku sebagai relawan berhati emas? Tentu pertanyaan ini hanyalah basa-basinya semata.

"Mungkin, ya. Mungkin juga, tidak." ini tidak seperti aku membencinya atau mengutuknya. Lebih ke seperti enggan menjawab beberapa pertanyaan tertentu.

"Mmm~," ia kaku sesaat dengan menelan bibirnya sembari mendengkur pelan. "Maaf jika pembicaraan ini membuat mu tidak nyaman." sudah pasti itu adalah gestur yang biasa dilakukan banyak orang saat merasa segan—ditambah tangannya yang refleks mengusap-usap lehernya.

Mana karakternya yang sebenarnya? Ia lihai dalam berbasa-basi. Tapi ia juga menyadari kalau itu mungkin saja membuat tidak nyaman orang lain. Dia malah terlihat seperti mempertaruhkan satu sisi untuk mendapatkan sisi yang lain.

Atau mungkin aku saja yang terlalu bodoh untuk memahami ini semua?

"Sebenarnya aku menemuimu hanya untuk mengatakan sesuatu." kalimat barusan kurasa terlalu ambigu untuk situasi saat ini.

Tapi baguslah kalau akhirnya ia To The Point juga.

Secara logika, tidak mungkin jika seseorang memanggil seseorang lainnya tanpa ada sebuah pesan tertentu yang ingin disampaikan. Terlebih jika tidak adanya ikatan erat tertentu dari kedua belah pihak. Jadi pasti ada sebuah pesan yang ingin disampaikan dibalik itu. Sama seperti kejadian tadi pagi saat seorang guru memanggilku dan memberi sebuah pesan untuk mengantarkan komplotan buku paket ke ruang guru. Jadi sudah jelas kalau anak ini pasti akan memberikan pesan tertentu padaku. Kecuali ia orang iseng yang gemar menjahili orang lain tanpa ada tujuan yang jelas.

Tapi karena aku tahu ia berintegritas, jadi aku takkan berpikir demikian.

"Katakan saja apa yang kau perlukan."

Terakhir kali aku bertemu dan berbicara dengannya saat di belakang sekolah—saat dia memergoki ku sedang memakan makanan ringanku di sana. "Ku harap kau tidak keberatan."

[Apanya yang keberatan?] Dan kenapa juga aku sampai harus keberat—

"Aku ingin kau datang ke Blue City Walk dengan ku hari Sabtu nanti,"

[Huh???]

Dia….

"Kau bersedia, 'kan?"

Apa-apaan ajakan kencannya barusan!!!?

Apa-apaan si Ketua OSIS ini!!!?

BERSAMBUNG.