"Dra!?"
"..."
"Dra!!"
"..Hmm?" Hendra membuka matanya pelan.
"Bas? Lah, kenapa gue ada di kamar?"
"Tadi lu lagi makan tiba-tiba muntah terus pingsan, idung lu juga mimisan. Makanya gue gercep bawa lu ke rumah"
"Haduh... Maaf ya Bas jadi bikin lu repot sampe sekarang"
"Ini udah tanggung jawab gue Dra, nemenin lu sampe pulih"
Kilas balik...
Blergh~
Hendra memuntahkan makanannya tepat di meja ia tempati sekarang. Membuat teman satu kelasnya terutama Bastian terkaget.
"HENDRA! Kenapa? Makanannya basi?"
"Nggakh au hena-"
"Dra!!!"
Hendra tersungkur ke arah Bastian, dengan cekatan ia menahan badan Hendra agar tidak terjatuh ke bawah.
Datang Dini ke kelas Hendra, juga ikut syok melihat Hendra pingsan.
"Hendra ya ampun!" Ia pun lari ke arah Hendra.
"Bas si Hendra kenapa bisa pingsan?"
"Gue juga nggak tau Din"
"Yaudah, lu bawa Hendra ke rumah. Biar gue yang urusin semuanya"
Tanpa basa basi ia pun mengangkat Hendra dan membawanya naik ke motor, ditemani oleh Dini.
"Din, tolong iketin jaket gue ke pinggangnya Hendra" Intruksinya langsung direspons mantap oleh Dini, ia pun langsung mengikat jaket Bastian pada pinggan Hendra agar ia tidak terjatuh.
"Kalian udah berangkat aja. Nanti gue nyusul, biar gue aja yang beresin meja kalian"
"Din, makasih ya. Gue duluan kalau begitu"
"Iya, hati-hati"
Bastian melajukan motornya dengan cepat, dengan tangan kirinya menahan pegangan Hendra. Kendaraan yang menghadang disalipnya tanpa peduli apapun.
'Draa... Ya Tuhan, kalau bukan karena kebodohan gue lu gaakan kayak gini. Maafin gue selama ini gue benci sama lu, maafin gue karena selalu ngebangkang perkataan lu, pengen gue jadi lebih baik, maafin gue juga karena perbuatan gue selama ini, maafin gue Dra' Ucapnya dalam benak.
Bastian pun sampai di rumah Hendra. ia lalu membuka ikatan dan merangkul Hendra sampai ke teras rumah.
"Bunda... Bund..."
"Astaghfirollah Ade! Nak tolong bawa ke kamarnya" Ia langsung membawanya ke kamar, dan menurunkannya di atas kasur.
"Kenapa Hendra nak?"
"Saya juga nggak tau Bund, tadi waktu istirahat kita lagi makan tiba-tiba Hendra muntah-muntah terus pingsan. Gak ada yang aneh Bund, langsung pingsan gitu. Dini juga mau kesini nysul bawa barangnya Hendra"
"Ya sudah, Bunda mau panggil dokter kesini" Ujarnya yang lalu meninggalkan Bastian dengan Hendra untuk memanggil dokter.
Hendra terkujur lemas dan tak sadarkan diri, dengan kulitnya yang pucat serta suhu tubuhnya yang dingin membuat Bastian kian gelisah. Belum lagi wajah Hendra yang masih ada bekas darah mimisan dan bekas muntah yang belum sempat dibersihkan.
Setengah jam kemudian dokter pun datang, ia mulai memeriksa kondisi Hendra, dengan teliti dan tenang sang dokter menganalisa penyebab Hendra muntah dan pingsan.
"Ibu, kondisi ananda sedang tidak baik dan butuh penanganan medis. Namun untuk hari ini, ananda diharuskan untuk istirahat agar staminanya kembali pulih. Dan diharuskan ke rumah sakit esok hari. Kalau begitu, saya izin pamit" Sang dokter pergi meninggalkan rumah. Meninggalkan keduanya, Bunda dan Bastian cemas.
"Bunda, gimana ini. Saya nggak tau harus gimana. Ini semua salah saya, saya merasa bodoh, saya merasa beros-"
"Cukup nak, memang kamu salah. Tapi Bunda, Ayah dan Hendra sudah memaafkan kamu. Kamu sudah bertanggung jawab dan menemani anak Bunda saja, itu udah suatu syukur buat Bunda. Pokoknya kita harus positif dan mendoakan Hendra, bukan menyalahkan dirimu terus" Ucap Bunda tenang namun dengan perkataan yang tegas. Itu langsung membuat mata Bastian berkaca, lalu memeluk Bunda Hendra erat seperti ia memeluk Mamanya saat saat sedang bersedih.
"Saya janji Bunda, saya akan menjaga Hendra. Sehat maupun sakit. Juga selalu ada disisi Hendra"
***
Hendra menatap kosong langit-langit. Kepalanya yang masih berdenyut juga dada yang sesak membuatnya mau tak mau untuk tetap berbaring.
"Laper, bekel gue mana?"
"Tadi kena muntah lu"
"Yah..." Keluhnya, Hendra merupakan orang yang tak tegaan, melihat orang membuang sisa makanan yang masih banyak pun ia merasa sedih, juga yang digambarkan sekarang olehnya.
"Mau gue ambilin? Gak tau nih Bunda masak apa hari ini. Bentar ya..." Bastian berdiri dan langsung pergi ke dapur, menanyakan masakan apa yang Hendra sukai, Bundanya pun mengambilkan makanannya dan memberikannya pada Bastian yang lalu dibawakannya untuk Hendra.
"Ini, kata Bunda lu demen banget kentang merah sama mendoan, jadi gue bawain" Hendra pun mengangkat tubuhnya, seketika Bastian ikut menahannya dan menggeserkan bantal pada dinding kasur agar Hendra dapat bersandar.
"Gue suapin aja ya"
"Nggak ah... Kayak anak bayi gue. Malu lah"
"Ya elah, masih sempet-sempetnya lu mikir kayak gitu Dra... Dra... Ya kan sama aja makan, cuma tangan lu gak gerak, tapi tangan gue yang gerak. Udah buru, nih, aam-" Hendra menggeleng kepalanya enggan membuka mulutnya.
"Buka gak!? Gue gibek nih" Tegas Bastian dengan nada bercandanya.
Dengan malu-malu, Hendra membukakan mulutya. Bastian memasukkan milikny- maksudnya sendok makan.
"Kan? Gak susah buka mulut doang Dra"
"Hai Dra, Bas!" Sapa seorang gadis yang ternyata Dini. Ia membawa tasnya Hendra. "Gimana? Masih nggak enak badan lu?" Lanjutnya.
"Udah mendingan kok, makasih loh Din udah bela-belain kesini, bawain tas gue pula"
"Gue juga emang lagi males di sekolah. Jadinya gue izin nganter tas lu padahal bisa nanti. Dah gue mau selonjoran di ruang tamu" Ujarnya, lalu meninggalkan mereka berdua di kamar dan menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tamu. Ia memang sudah biasa seperti ini. Bunda Hendra sudah menganggap Dini seperti putrinya karena ia yang sangat dekat dengan keluarga Hendra, bahkan datang larut malam pun tetap disambut.
Waktu pun berlalu, menunjukkan pukul 9 malam. Bunda dan Ayah Hendra sudah tertidur dan Dini yang sedari tadi sudah pulang menyisakan Bastian yang sedang melihat-lihat begitu banyaknya penghargaan Hendra sejak ia duduk di bangku taman kanak-kanak.
Masih merasa bersalah? Tentu masih.
Ia memiliki ide. Ide yang mungkin Hendra suka. Yaitu melihat bintang.
"Dra"
"Oi"
"Ke belakang yu"
"Mau ngapain?"
"Ikut aja"
Mendengar ajakan Bastian, Hendra pun setuju untuk ikut dengannya. Mereka pergi ke halaman belakang rumah lalu merebahkan tubuh mereka diatas rerumputan.
"Liat bintang?"
"Iya"
Keheningan meliputi keduanya karena terfokus pada indahnya paparan bintang yang sangat memanjakan mata. Tetapi Hendra tidak sadar jikalau sedari tadi Bastian menatap wajahnya.
Mata sipit berkantung, hidung mancung sempurna dipadu proporsi bentuk binirnya yang pas. Juga tidak lupa rambut hitamnya yang lebat namun tidak berantakan dan... wangi. Membuat bagas berpikir, susuk apa yang Hendra pakai sehingga semua orang begitu terpesona padanya. Dan ia baru menyadarinya sekarang setelah matanya dibutakan oleh kebencian sepihak.
"Dra"
"Hmm...?" Hendra memalingkan wajahnya menghadap Bastian.
Blush~
Entah jin apa yang merasuki Bastian sehingga membuat wajahnya merona saat Hendra menatap wajah Bastian.
Ia pun menjadi salah tingkah.
"Apaan?"
"Ng-nggak, nggak jadi"
"Lah? Gak jelas!"
Mereka kembali melihat bintang dengan salah satu mnya yang masi berwajah merona.
Bintangnya sangat banyak. Beruntung mereka tinggal di pemukiman yang jauh dari kota besar nan penuh polusi, tetapi tetap modern.
"Kenapa lu masih ngejomblo Dra? Diantara puluhan bahkan ratusan cewek cantik di sekolah, kenapa lu masih tetap menyendiri?" Tanya Bastian, sontak membuat kelopak mata Hendra membesar.
"So are you, kenapa lu juga selalu menyendiri ketimbang ngobrol sama cewek cantik kelas sebelah, juga nggak pernah gabung sama anak cowoknya. That means, we are same" Ia menjeda, "I don't know, mungkin sifat ambisi gue yamg bikin gue terlalu lama sendiri. Gue pun pacaran aja belum pernah, apalagi uwu uwuan, minum janji jiwa bareng terus difoto di Snapchat. Semua orang mungkin tau gue jomblo karena terlalu lama di organisasi, itu alasan pertama. Tapi gak ada yang tau alasan kedua gue, karena udah lama gue pendam dalem-dalem" Lanjutnya.
"Because, I'm not interseted to date a girl"
"Lu gay?"
"Hmm... Maafin gue, mungkin setelah lu denger ini lu bakal jauhin gue karena jijik punya temen belok"
"SIAPA PEDULI!? Semenjak insiden yang terjadi sama lu, gue nyesel. Gue yang dateng ke elu Dra. Gue mau kita berteman, dan sekarang orang yang bisa gue ajak bicara aja cuma lu, atau mungkin Dini. Temen kelasan- mereka terlanjur benci gue, tapi gue udah gak peduli karena..."
"Karena lu orang pertama yang harus gue jaga"
"Apa karena gue masih belum pulih?"
"Bukan, tapi sesuatu yang gue sendiri belum paham apa itu"
"Aneh... Tapi gue terima alasannya" Ujarnya, "Bas udah jam 12, nggak dicariin Mama?"
"Tadi siang gue udah nelepon Mama kalau gue dirumah lu, dan lu masih belum sadar kan"
"Oalah, yaudah lu nginep aja. Gue ada seragam polos ini bisa lu pake besok. Oh iya lu belum ganti baju dari siang... Ntar gue ambilin baju ganti deh" Tawar Hendra, melihat Bastian yang masih menggunakan seragam sekolah.
"Astaga iya ya. Gue terlalu fokus ama lu jadi lupa ganti baju" Balasnya terkekeh kecil. "Yaudah buruan masuk, udah mulai dingin" Lanjutnya.
Sesampainya di kamar, Hendra memberikan sepasang pakaian pada Bastian. Ia mulai membuka bajunya. Terlihat tubuh atletis milik Bastian membuat Hendra sedikit canggung saat melihatnya, lalu berpaling.
"Kenapa lu?"
"Ng-nggak. Geer aja!"
"Kayaknya baju lu kekecilan, gue pake celana aja kali ya?"
"Eh? Masa? Coba dulu"
"Kecil Dra"
"Coba... Bisa"
"Nggak ih maks- Huaa!!!"
Mereka berdua terhempas di kasur, dengan posisi Hendra yang tertindih Bastian. Keduanya saling bertatapan dan membuat kedua pipi Hendra merona malu.
"Uhh... B-bas?"
Debaran jantung Hendra terasa kencang, membangun sebuah rangsangan pada waktu yang tidak tepat. Bastian bisa merasakan ada yang sesuatu mengeras di bagian bawah milik Hendra.
"Dra?"
"B-bas..."
"You like me, don't you?" Pertanyaan yang dilontarkan Bastian spontan membuat kedua pipi Hendra semakin memerah layaknya tomat. Ya, lisan bisa berbohong namun wajah tidak.
"It's okay. We can try, shall we?"
Gulp~
Wajah Bastian semakin mendekat, dan sebuah kecupan pun mendarat pada bibir keduanya.
Merasa belum puas, Hendra menyodorkan kembali bibirnya, dilumatnya bibir Bastian seperti sedang haus akan hasrat.
"Hmmmphh-mmahh"
Ternyata Hendra merupakan pencium yang handal, bagaimana bisa seorang lajang yang belum pernah memiliki hubungan dengan siapapun bisa semahir ini dalam mencium.
"Mmmh-ah... huah..."
"Muahahaha... Jadi, boleh nih gue tidur pake celana doang" Bastian menggoda. Hendra pun mengangguk pertanda membolehkannya tidur bertelanjang dada.
"Tapi gimana kalau Bunda masuk?"
"Oh... Bunda sama Ayah selalu ketok pintu dulu. Kalau gue bilang masuk ya mereka masuk"
"Enak banget ya jadi seorang Mahendra"
"Eh? Mana ada! Beban"
"Beban apanya?"
"Iya, beban karena harus pegel ditindih lu"
"Astaga, maaf"
"Gapapa, enak. Lagi dong"
"Etdah tadi komplen sekarang malah nagih. Dahlah buruan tidur, gue kagak mau disuruh scott jump ama lu. Bangke banget dah"
Bersambung...
Aneh gak sih menurut kalian chapter 3 udah adu mulut?