webnovel

Ke Rumah

Wajah baru terlihat, seorang pemuda dengan kacamata berdiri tersenyum menatap Luna. Di tangan pemuda tersebut terdapat sebuah buket bunga melati, dia berjalan mendekati Luna dan memberikannya.

"Saya adalah penggemarmu. Setiap pagi saya melihat kamu di bus sekolah, saya Andra dari sekolah SMA Harapan Nusa."

Luna tertegun melihat pemuda itu, dia mengambil bunga tersebut dan menatap pemuda itu yang pergi tanpa banyak bicara.

"Siapa dia."

Luna masuk ke dalam rumah, setelah menutup pintu rumah dia dikagetkan dengan sosok Chan sudah duduk di sofa sambil meneguk secangkir kopi dan menikmati roti. Senyuman dia keluarkan sambil memakan roti tersebut.

"Ghost. Kakak ini sudah seperti hantu, tolong jangan seperti ini lagi. Bisa-bisa aku jantungan dan mati, setelah aku mati nanti aku akan mencekik kakak karena sudah membuatku mati."

"Cara bicaramu sudah seperti orang tua saja."

"Biarin. Sekarang bereskan semua itu karena nanti malam Yona akan ke sini. Tolong bantu aku memasak."

"Membantu. Bukannya kamu tidak bisa memasak. Lalu, bantu apa?"

"Anggap saja membantu melihatnya sambil belajar memasak. Mana tahu nanti ketika aku kuliah dan tinggal sendiri aku bisa memasak."

Luna berjalan masuk ke dalam kamar, dia meninggalkan Chan sendiri. Dia masih kepikiran dengan pemuda yang tadi memberikannya bunga melati, dia menatap bunga tersebut yang ada di atas meja hingga dia... tertidur.

***

Luna membuka mata, dia melihat suasana luar rumah yang sudah malam. Dia bangun dari tempat tidur dan menatap dirinya di cermin dengan pakaian seragam sekolah yang masih terpasang.

"Jangan bilang kalau aku tertidur dari tadi siang."

Luna bergegas keluar setelah dia ingat dengan perjanjian dengan Yona yang akan datang malam ini. Rumah terlihat rapi, semuanya bersih dan wangi semerbak bunga melati yang indah. Dia mendengar bunyi sendok yang beradu dengan piring kaca dari dapur, segera dia beralih dan melihat Yona sudah makan di dapur bersama kedua orang tuanya.

"Ma, Pa. Luna ikut duduk dengan seragam sekolah yang masih terpasang."

"Kamu baru bangun. Sekarang ganti pakaianmu dan ikut makan bersama kami di sini. Kasihan dari tadi kakakmu Chan yang menyiapkan segalanya," tutur Tiwi.

Mata Luna mencari sosok pemuda itu, dia tidak menemukannya.

"Kak Chan mana."

"Katanya tadi ada pertemuan dengan beberapa teman-temannya di luar. Mama tadi bertemu dengannya di halaman rumah dan Kebetulan sekali kami pulang jadi Yona ada temannya. Kenapa baru sekarang kamu mengajak temanmu ini ke sini. Yona sudah mengatakan kalau kamu selalu mencari alasan agar dia tidak ke sini."

"Tidak, Ma. Aku hanya lupa."

"Alasannya aja Tante. Tante dan Om tahu, akhir-akhir ini Luna dekat dengan kakak kelas dan dia cukup populer di sekolah."

Luna ingin menahan Yona berbicara lebih lanjut tetapi semuanya terlanjur dikeluarkan oleh teman barunya itu. Kedua mata orang tua Luna menatapnya dalam, mereka tidak suka kalau anak mereka itu memiliki pacar.

Tiwi hanya tersenyum paksa demi menyembunyikan kenyataan dari perasaannya, tetapi Luna sudah ketakutan. Dia tahu apa yang akan terjadi berikutnya, dia pasrah.

Mereka menikmati makan malam, setelah semuanya usai barulah Tiwi berjalan kanan dan kiri menginterogasi putrinya di kamar dengan Luna yang duduk di tepi kasur dengan kepala tertekuk.

"Sekarang katakan kepada Mama kenapa kamu pacaran. Bukannya Mama sudah pernah katakan jangan pernah pacaran sebelum kamu lulus kuliah. Kamu fokus sekolah untuk kuliah, lalu kamu fokus kuliah dan bekerja baru menikah. Kamu anak kami satu-satunya, tolong banggakan keluarga."

"Ma... aku ngak pacaran. Yona hanya salah paham."

"Ma. Apa yang dikatakan oleh Kina benar. Cowok yang dikira oleh Yona dekat dengan Luna adalah aku. Anak itu hanya bercanda."

Chan datang, dia mengebawahkan jaket yang dia pegang di atas pundaknya. Kami melangkah masuk ke kamar Luna dan berdiri di samping Tiwi.

"Yona hanya bercanda. Jangan dengarkan dia."

"Baiklah. Awas kalau kamu ketahuan pacaran, Luna. Kamu juga Chan, karena sekarang kami sudah menganggapmu menjadi anak kami jadi Mama harap kamu juga tidak pacaran. Awas kalian berdua."

Tiwi mentap tajam mereka berdua, Chan duduk di samping Luna dan menciut karena dilarang pacaran. Mereka saling menatap, lalu tersenyum berdua.

"Mama kebiasaan begitu."

"Semuanya gara-gara kamu. Jika kamu tidak ketahuan aku juga tidak akan dilarang untuk pacaran."

"Kak, itu bukan salahku tetapi salah Yona."

"Dalam pertemanan jangan sampai menyalahkan, meskipun temanmu itu dalah tetapi benarkan. Benarkan kesalahan dia dengan kebenaran."

"Mulai, nih...."

"Kamu harus mendengarkan aku agar tidak menyesal."

"Iya, deh. Kak... makasih, ya."

Luna memeluk Chan dari samping, dia menganggap pria yang ada di sampingnya itu seperti kakaknya sendiri.

"Aku penasaran bagaimana rasanya memiliki seorang kakak, tetapi dengan kehadiran kakak jadinya aku bisa merasakannya."

"Apa itu kesalahan Papa dan Mama."

Arya masuk, dia duduk di samping Luna dan beralih putrinya itu memeluk dia. Arya juga merangkul Chan, dia menganggapnya seperti anaknya sendiri.

"Jadi sekarang Papa memiliki dua orang anak. Chan, tolong jaga adikmu."

"Iya, Pa."

***

Tengah malam Luna tidak bisa tidur karena ketiduran seharian, dia duduk di meja belajarnya untuk mencari apa sebenanrya yang dia impikan.

"Bakatku sebenanrya apa."

"Hai...."

Chan muncul di jendela, dia masuk dan duduk di tepi kasur.

"Aku dengan olimpiade akan diselenggarakan dua hari lagi. Itu benar?"

"Iya, Kak."

"Ayo aku ajarkan. Aku akan mengajarkanmu matematika dan triknya."

"Boleh."

Luna mengambil beberapa buku, dia duduk di atas kasur sambil menatap Chan yang duduk menyilangkan kaki di hadapannya. Mereka belajar sambil bercanda, hingga akhirnya Luna tertidur.

"Terima kasih kamu dan keluargamu sudah menerima aku."

Chan meletakkan buku-buku Luna ke tempatnya, dia membopong tubuh Luna dan meletakkannya di atas kasur dengan posisi yang betul. Luna memeluk lehernya, dia berusaha melepaskan tetapi dia tidak bisa melepaskannya. Satu hal yang dia sadari setelah berada dekat dengan Luna, dia menyadari kalau gadis yang dia anggap adiknya itu cantik.

"Jangan sampai."

Chan keluar dari kamarnya, dia menutup pintu kamar beralih ke kamarnya. Dia menatap kalung yang ada ditangannya, kalung yang dia ambil dari laci kamar Luna.

"Kenapa ketika aku memakai kalung ini aku bis--"

"Chan."

Arya masuk, dia duduk di tepi kasur dengan tangan yang dia daratkan di bahunya. Kedatangan Arya membuat Chan menyembunyikan kalung tersebut.

"Pa."

"Papa terima kasih karena kamu sudah menjaga Luna. Awalnya Papa khawatir karena kalian tidak sedarah dan kamu akan melakukan sesuatu kepadanya. Akan tetapi, Papa tidak meragukanmu lagi. Tolong jaga Luna."

"Iya."

"Jika kamu membutuhkan sesuatu atau apapun itu kamu bisa mengatakannya kepada Papa."

"Ada. Sebenanrya aku ingin bekerja paruh waktu mulai besok. Bolehkah? Jadi, setelah pulang sekolah aku akan bekerja dan pulang malam sekitar jam sembilan malam."

"Kamu tidak perlu melakukan itu."

"Tidak, Pa. Aku juga harus mandiri."

"Baiklah."