2 Pulang

Aku pulang ke Jakarta begitu menyelesaikan ujian. Tidak menunggu hasil ujian keluar seperti semester-semester yang lalu, kali ini aku bergegas kembali ke rumahku. Kak Reni akan menikah empat hari lagi, jadi aku tidak mungkin menunggu hasil ujian keluar. Aku akan digantung olehnya kalau tidak bisa hadir di hari pernikahannya.

Aku senang akhirnya dia bisa menikah dengan pacar yang begitu dia cintai. Aku tahu betul perjalanan cinta mereka sejak bangku sekolah. Mereka pasangan yang luar biasa.

Nana mengantarku ke Stasiun Tugu Yogyakarta. Aku lebih memilih perjalanan menggunakan kereta api karena bebas dari macet. Sebenarnya bisa melalui perjalanan udara, tapi itu terlihat berlebihan. Lagi pula, aku lebih suka pemandangan sepanjang perjalanan naik kereta, dari pada pemandangan awan putih yang melayang-layang. Tapi tidak sih, sejujurnya aku takut dengan perjalanan udara. Harus ada yang menemani kalau terpaksa melakukannya. Entahlah, sepertinya aku menglami phopia pada ketinggian.

Kurang lebih delapan jam perjalanan dari Yogyakarta ke Jakarta. Begitu sampai di Stasiun Gambir, aku langsung disapa dengan pemandangan hiruk pikuk kota yang panas. Bagaimana tidak? Pukul dua siang kakiku tepat menginjak kota tercinta ini. Kota tercinta? Karena ada orang tua dan keluargaku, tentunya.

Dari Gambir, aku memesan ojeg online. Lebih enak menggunakan ojeg. Selain cepat sampai, juga lebih bisa menghindari kemacetan karena motor bisa selip sana sini.

"Rea!" seru Kak Reni begitu melihat kemunculanku di rumah. Dia menyongsong dan memelukku erat.

"Woow, enam bulan nggak ketemu aja bisa kelihatan beda gini," katanya begitu mengurai pelukannya.

"Beda? Sama aja, Kak Reni jangan mulai aneh-aneh deh."

"Beneran, Dek. Kamu kelihatan berisi, makin seksi dan cantik."

Aku memutar bola mata. "Mana Papa sama Mama?"

"Papa masih di kantor, Mama ada di dapur."

Aku berjalan beriringan bersama Kak Reni memasuki rumah. "Yang cantik dan seksi itu ya yang mau merit. Ma.... Aku pulang! Anybody home!"

Mama keluar dari persembunyiannya, dapur. "Selalu heboh kalo ada kamu di rumah. Tapi itu yang sopan! Masuk rumah tuh salam dulu."

Aku kangen omelannya. Segera aku memeluk Mamaku yang terlihat makin cantik di usianya yang sudah nggak muda lagi. "Assalamualaikum, Mah."

"Walaikumsalam."

"Mah kayak bau-bau gosong gitu deh."

"Mama nggak lagi masak apa-apa yah, kamu nggak bisa ngerjain Mama. Dasar anak nakal."

Aku tertawa dan langsung menulari Kak Reni. "Dek, Mama sekarang udah tau trik-trik candaan kamu, jadi percuma saja."

"Mama nggak asik ah." Aku pura-pura cemberut.

"Kamu udah makan? Sana makan dulu, mama sudah masakin paru balado kesukaanmu."

Mendengar paru balado, perutku yang memang tadi lapar semakin bertambah lapar.

Kak Reni cekikikan melihatku makan dengan lahap dan mama hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkahku yang seperti orang tidak pernah melihat nasi selama setahun.

***

Seluruh isi rumah sibuk mempersiapkan pernikahan Kak Reni. Adik-adik Mama dan Papa juga berkumpul di rumah. Mereka sangat antusias melukis tangan calon pengantin. Maklum ini adalah hajat pertama Papa sebagai orang tua.

"Rea! Tolongin mama." Mama berseru. Aku buru-buru menghampiri mama yang baru keluar dari kamar.

"Apa, Mah?"

"Ini dokumen papa kamu ketinggalan. Tolong anterin tapi bukan ke kantor papa yah. Sekarang papa lagi ada meeting penting di Sudirman dengan Wijaya Grup. Nanti Mama kirim alamatnya. Kamu sana jalan, Papamu menunggu."

"Siap, Mah!" Aku mengangkat tangan dan langsung melesat menggunakan si beki, Matic kesayanganku sejak jaman masih sekolah.

Aku memastikan gedung jangkung di hadapanku ini benar milik Wijaya grup. Buset dah tinggi banget.

"Mbak, maaf. Jangan parkir sembarangan di sini." Seorang security berbadan besar menghampiriku.

"Eh nggak, saya mau masuk. Ada berkas yang harus saya antar ke papa saya di dalam."

Security itu seakan tidak percaya perkataanku.

"Kami cek dulu."

"Bapak nggak percayaan amat sih."

"Demi keamanan, Mbak."

"Serah Bapak aja. Penting jangan lama-lama, dokumen penting ini lagi ditungguin nih."

Setelah berhasil lepas dari jeratan security, akhirnya aku bisa memasuki gedung itu. Astaga! Lobinya luas banget. Menurut pesan Mama, aku harus mengantarkan berkas ini di lantai 42.

Aku bingung saat hendak masuk lift. Pasalnya lift di sini ada banyak. Naik yang mana saja lah, yang penting sampai tujuan.

Sesampainya di lantai tujuan aku malah lebih bingung. Sepi sekali? Di mana penghuninya? Setahuku yang namanya kantor perusahaan itu biasanya ada banyak berderet-deret kubikel. Ini mah sepi sesepi-sepinya. Hanya ada satu desk front berada di samping sebuah pintu besar. Tapi itu pun tidak ada yang menempati.

Aku langsung masuk saja ke pintu besar itu. Dan ternyata, di dalamnya itu sebuah ruang kerja. Luas sekali. Aku melihat hanya ada dua orang yang duduk saling berhadapan di sofa. Itu pun mereka tidak menyadari kedatanganku.

Seorang kakek yang nampak serius berpikir dan seorang laki-laki muda. Mereka sedang bermain catur. Sepertinya aku salah masuk ruangan. Tidak ada tanda-tanda kehadiran papa di sini.

Tapi melihat keseriusan mereka bermain catur, aku tak tahan untuk menghampiri. Wah ternyata, kakek itu sedang di kepung. Dia nampak kebingungan melangkah.

Aku menyeringai, padahal itu sangat mudah. Kakek itu hanya perlu menggeser maju salah satu pionnya, maka lawanya bisa langsung kalah.

"Kelihatannya sulit ya Kek." Aku mendekat padanya. Si kakek berpenampilan rapi itu mengangguk setuju.

"Sepertinya saya akan kalah lagi," keluhnya masih memperhatikan papan caturnya.

"Tenang, Kek. Saya bantu. Kakek hanya perlu majuin satu langkah pion di dekat kuda."

"Ah kamu benar."

Kakek itu menuruti instruksi dan kemudian dengan lantang berseru. "Skak mat!"

Aku menyusul bersorak. "Hore! Kakek menang!"

"Akhirnya aku bisa mengalahkanmu, Nak!"

"Wah kakek hebat!" Lawannya bersuara.

Sejenak mereka saling berjabat tangan. Kakek itu terlihat sangat senang dan bangga. Namun, kemudian kehebohan itu terhenti sesaat. Dan mereka berdua kompak menoleh ke arahku.

"Kamu siapa?"

Aku mengubah ekspresi wajahku. Ternyata mereka baru menyadari keberadaanku.

"Saya Rea,Kek."

"Rea? Siapa pun kamu, akhirnya berkat kamu aku bisa mengalahkan dia." Kakek itu tertawa senang. "Andra kamu harus lawan gadis ini."

"Kakek, aku harus kembali bekerja. Sebentar lagi ada meeting." Lelaki yang menjadi lawan si kakek menengok pergelangan tangan. Astaga! Meeting! Aku harus segera mengantar dokumen papa.

"Nak Rea, kamu kenapa bisa di sini? Apa kamu salah satu pegawai di sini?" tanya Kakek.

"Bukan Kek, saya mau mengantar dokumen ini pada papa saya. Tapi sepertinya saya nyasar deh." Aku nyengir.

"Siapa papamu?"

"Firman Baskoro, Kek."

"Kamu anak Firman? Bukankah kamu akan segera menikah?"

"Bukan saya, itu kakak saya yang akan menikah."

"Oh, jadi kamu anak Firman yang lain?"

Aku mengangguk. "Aduh, Kek. Saya sudah telat. Saya harus mengantar dokumen ini."

"Kamu bisa mengantar dokumen ini sama saya. Kebetulan saya ada meeting dengan Pak Firman." Laki-laki muda di hadapan Kakek tersenyum.

"Baiklah, Andra. Antarkan dia. Nak Rea, lain kali kamu harus main catur dengan saya."

"Siap, Kek."

Kakek itu nampaknya baik. Dia tidak terganggu dengan kehadiranku.

avataravatar
Next chapter