webnovel

Pernikahan Darurat

Di sini aku sekarang, duduk berdampingan dengan mama dan tante, juga sepupu-sepupu perempuanku di dalam ruangan bagian dalam masjid, untuk mendengarkan ucapan ijab qobul yang akan segera dimulai.

Mama terus menggenggam erat tanganku. Mengalirkan kekuatan agar aku bisa bertahan. Jujur, aku sangat deg-degan. Aku lebih baik menghadapi omelan Pak Burhan dosen killer di kampusku dari pada menghadapi situasi ini. Namun, aku sudah maju tidak mungkin juga mundur lagi. Aku memejamkan mata saat suara papa terdengar lantang melafalkan ijab.

"SAUDARA AKSARA SATRIA WIJAYA BIN ALMARHUM ANANTA WIJAYA SAYA NIKAHKAN DAN KAWINKAN ENGKAU DENGAN PUTRI SAYA REA AYUNING BASKORO BINTI FIRMAN BASKORO DENGAN MAS KAWINNYA BERUPA LOGAM MULIA 10 GRAM DAN UANG SEJUMLAH DUA JUTA TIGA RATUS LIMA PULUH RIBU RUPIAH, TUNAI."

"SAYA TERIMA NIKAH DAN KAWINNYA REA AYUNING BASKORO BINTI FIRMAN BASKORO DENGAN MAS KAWINNYA YANG TERSEBUT DI ATAS TUNAI."

SAH!

Ketok palu. Seketika itu juga dadaku membuncah. Aku tidak bisa menahan sesak, mama langsung memelukku erat.

"Jangan menangis, Nak. Mama mohon jangan menangis. Kami akan selalu merasa bersalah jika kamu menangis."

Ya Tuhan! Bagaimana aku tidak menangis? Aku pulang bukan untuk menikah, tapi menyaksikan kakakku menikah. Tidak sampai dalam hitungan jam, aku sudah menjadi istri orang. Hal yang sama sekali tidak aku bayangkan apa lagi rencanakan.

Aku dituntun mama dan tanteku keluar dari bilik masjid. Sudah saatnya aku menemani dia. Lelaki yang kini sudah sah menjadi suamiku. Aku merasa semua orang yang hadir memperhatikanku. Aku tidak bisa berjalan tegak selayaknya pengantin lain yang berbahagia. Aku terus berjalan menunduk, kerudung yang menutupi wajahku melambai.

Aku sama sekali tidak penasaran siapa sekarang yang menjadi suamiku. Ini layaknya pernikahan buta buatku. Bertemu pun nggak pernah. Hal gila yang aku lakukan dalam hidupku.

Aku duduk di samping lelaki itu dengan bantuan mama. Sekarang proses penyematan cincin kawin.

"Jarimu, Nak." Mama berbisik di sampingku. Rela nggak rela aku menjulurkan tanganku. Kulihat dia menyematkan cincin di jari manis kananku. Astaga, tanganku gemetar. Rasanya ingin berlari saja. Tapi sulit.

Mama kembali membantuku mengambil cincin yang akan aku pasangkan pada suamiku. Pelan aku juga menyematkannya pada jarinya.

"Sekarang, cium tangan suamimu, Nak," bisik mama lagi.

Aku hanya menuruti ucapan mama. Otakku rada sedikit blank. Kalau tidak dituntun mama, mungkin aku seperti orang bodoh.

"Silahkan, pengantin pria sudah bisa melihat wajah pengantin wanita."

Tidak! Aku belum siap! Aku nggak mau melihat lelaki yang sudah mengubah statusku.

Tapi kedua tangan itu, melakukannya. Dia membuka kerudung yang menutupi wajahku.

"Nak, angkat wajahmu. Suamimu ingin melihatmu."

Mama! Aku belum siap! Ingin rasanya aku berteriak, namun mulutku terkunci rapat.

Aku mengangkat wajahku perlahan. Dan aku bisa melihat wajahnya sekarang. Mata tajam dengan alis tebal yang membingkai. Hidung yang mencuat sempurna dengan bibir penuh berbelah. Rahangnya terlihat kokoh dan keras. Bagaimana mungkin Kak Reni tidak mau menikah dengan sosok setampan ini? Tapi tunggu! Kenapa aku nggak asing dengan wajahnya?

Lelaki di depanku menyipitkan mata setelah melihatku. Namun, sejurus kemudian matanya terbelalak, seolah mengingat sesuatu. Apa dia juga mengenaliku?

Astaga! Otak berpikirlah. Di mana aku pernah melihatnya? Mungkinkah dia seorang artis sehingga wajahnya terlalu familier? Ah aku rasa bukan. Jadi siapa dong dia.

"Kita bertemu lagi, Nona. Sepertinya urusan kita akan panjang." Lelaki itu menyeringai.

Saat itu juga, aku terlempar pada kejadian beberapa bulan yang lalu. Satu demi satu ingatanku mulai menyusun puzzlenya. Dan mataku sukses terbeliak ketika pada akhirnya aku bisa mengingatnya. Aku menelan ludah.

Mampus gue!

Dia adalah lelaki yang sama dengan lelaki yang aku tumpahin es krim di atas kepalanya beberapa bulan lalu.

Aku kira, aku nggak akan bertemu dia lagi. Tapi sekalinya ketemu, dia berstatus menjadi suamiku. Astaga! Nggak ada yang lebih konyol dari pada ini. Sial.

Dia tersenyum penuh misteri, lalu dia meraih kepalaku dan mengecup dahiku. Aku masih ingat betapa seramnya dia saat marah karena ulahku. Bagaimana aku melewati hari bersama orang ini?

***

Resepsi pernikahan diadakan di ballroom hotel di bilangan Gatot Subroto. Konsep pernikahan kebanyakan konglomerat. Undangan yang hadir pun lumayan banyak.

Satria, nama panggilan suamiku adalah Satria. Satu hal yang aku nggak nyangka, ternyata dia adalah cucu dari Kakek Wijaya. Bahkan ada Andra di sini.

"Saya nggak nyangka, ternyata calon istri Bang Satria itu kamu, Rea," katanya saat memberiku ucapan selamat.

Aku lebih nggak nyangka ternyata suamiku adalah orang yang pernah aku bikin malu di depan umum. Aku seperti sudah mendapatkan balasan atas perbuatanku. Ya Tuhan ampuni aku.

"Kamu mengenalnya, Ndra?" Satria di sebelahku bersuara.

"Iya, Bang."

"Bagaimana orang sepertimu bisa mengenalnya? Mustahil." Satria menggeleng tak percaya. Maksudnya apa dia berkata begitu.

Andra terkekeh. "Selamat ya buat kalian."

Aku hanya tersenyum canggung. Seandainya saja Andra yang jadi suamiku. Akan dengan senang hati aku terima. Astaga! Satria itu menyeramkan. Badannya yang segede Dursasana membuatku takut. Meskipun parasnya setampan Arjuna tapi tetap saja itu tidak membuat kesan menyeramkannya hilang dari mataku.

Ya Tuhan! Pesta ini kapan selesai. Tamu seolah tidak pernah berhenti bermunculan. Satu pergi, yang lain datang saling menyusul. Kakiku sudah pegal, gigiku juga kering karena merenges terus sepanjang acara berlangsung.

"Sumpah deh, gue ogah banget berdiri kayak gini terus-terusan. Astaga, kapan ini acara kelar!" kataku setengah berbisik pada Satria yang sepertinyamasih prima saja dari tadi.

"Kamu pikir, aku mau berdiri di sini. Kakiku juga pegal tau," balasnya sewot.

Baru duduk sebentar, tamu datang lagi. Berdiri lagi, tersenyum lagi di depan kamera. Oh My God!

***

Pukul sebelas malam, akhirnya aku bisa benar-benar meninggalkan ballroom hotel. Ya ampun! Badanku rasanya remuk redam menjadi pajangan sehari semalam. Aku lebih dulu menuju kamar hotel dan nggak lama Satria menyusul.

"Gila, gue nggak nyangka. Acara nikahan ternyata menyiksa banget. Capek gue, ngantuk!" Aku melemparkan diri di kasur big size yang penuh hiasan kelopak mawar merah.

"Bahkan kelopak mawar ini udah nampak layu karena kelamaan nunggu."

Aku nggak berhenti mengomel sejak masuk kamar hotel.

"Sebenarnya berapa banyak sih tamu undangan Kakekmu, kayaknya hampir semua penduduk Jakarta Kakek undang."

Satria tidak mempedulikanku. Dia dengan santai membuka kancing jasko yang dikenakannya. Kemudian mengambil handuk, lalu masuk ke kamar mandi. Asem! Aku dicueki.

Ini menyebalkan. Tapi bodo amat lah, aku mengantuk. Mataku rasanya sangat berat. Dari kemarin aku sudah capek membantu persiapan pernikahan. Nggak tahunya aku ternyata dari kemarin mempersiapkan pernikahanku sendiri. Dan Kak Reni? Entahlah belum ada kabar mengenai keberadaannya. Sebenarnya dia ke mana?

Next chapter