"Karena adanya bukti yang menunjukkan secara jelas perbuatan terdakwa, dengan ini terdakwa dijatuhi hukuman penjara seumur hidup."
Dok! dok! dok!
Kepala Jaksa baru saja menyatakan hukuman penjara yang harus ditanggung Sean Anderson atas perbuatannya memalsukan kematian Sica dan juga pembunuhan berencana yang ia lakukan bersama Lea. Pria itu tampak tidak menolak atau merasa tidak adil dengan hukuman yang diterimanya. Semua orang yang menghadiri persidangan mulai bubar, Eli yang turut menjadi orang yang menyaksikan itu masih berada diposisi duduknya.
"Eli, kau harus pulang." ujar Yuri yang juga hadir sebagai kerabat terdekat Eli.
"Kau duluan saja, kak." jawab Eli.
Yuri menghela nafas. "Aku pamit, kau bisa menghubungiku kapanpun jika butuh sesuatu."
Eli menganggukkan kepalanya. "Terima kasih, kak." Yuri pun lantas pergi meninggalkan Eli sendirian. Berbeda dengan persidangan Lea minggu lalu ketika ia datang bersama William, hari ini ia datang ke persidangan sendirian karena William sedang sibuk dengan pekerjaannya yang tidak bisa ditinggalkan.
Hukuman yang diterima Lea jauh lebih ringan daripada yang diterima Sean, wanita itu menempa hukuman selama dua puluh tahun, dan sementara Sean selama seumur hidup. Ada perasaan lega pada akhirnya mereka menerima hukuman atas kejahatan yang mereka perbuat kepada mamanya, namun disisi lain Eli merasa sedih.
Selama bertahun-tahun ia tidak tahu kebenaran dibalik kematian Sica, dan malah begitu membanggakan Sean dan memberikan cap jika Sean adalah satu-satunya pria hebat di dunia ini. Eli begitu membanggakannya tanpa tahu perbuatan apa yang sudah dilakukan pria itu kepada istrinya sendiri, mamanya.
Sebelumnya Eli begitu menyayangi Sean, namun kini seakan perasaan itu sudah hilang. Dan bertepatan dengan itu Sean yang akan digiring keluar dari ruang persidangan itu tampak memandang Eli sambil berjalan pergi. Eli membalasnya dengan tatapan kosong, tidak ada kehangatan disana. Apakah keluarga juga bisa menjadi mantan? Namun mau bagaimana pun juga Sean adalah Papa kandungnya. Jika Sean tidak menikah dengan Sica, mungkin Eli tidak akan ada di dunia ini.
Ma, tenang ya disana. Batinnya.
Eli pun memutuskan untuk pulang, dan baru ia sadari, sekarang ia bingung harus melakukan apa. Seketika Eli merasa kehilangan tujuan hidupnya. Hubungannya dengan William masih belum menunjukkan titik terang, pria itu bahkan makin menjaga jarak dengan dirinya. Eli merasa kesepian.
Ia jadi takut untuk menggantungkan harapannya, rasanya berekpektasi pun bukan hal yang baik. Dan Eli tidak tahu kenapa ia jadi begini. Setelah memutuskan berhenti di sebuah taman tengah kota, Eli duduk di salah satu bangku kosong yang ada di taman itu yang kebetulan tidak terlalu ramai.
"Aku tidak tahu mengapa rasanya harus sesesak ini, cintaku bertepuk sebelah tangan, dan berakhir ditolak." Eli merasa hidupnya benar-benar malang. Ia merindukan dirinya yang dulu dimana ia tidak serapuh ini. Memang seharusnya dari awal William tidak perlu tahu dengan perasaannya. Lihatlah apa yang terjadi sekarang, ia kehilangan banyak hal. Padahal hubungannya dengan William sudah semakin akrab.
Eli juga tahu diri, jika dibandingkan dengan Sissy, dirinya sama sekali bukan apa-apa. Tentu saja Sissy jauh lebih dari segalanya darinya, pantas saja William tidak bisa melupakannya.
"Permisi, nona. Sebelumnya saya meminta maaf jika sudah mengganggu waktu bersantai anda." Seorang pria asing tiba-tiba datang mengintrupsinya.
"Ya, ada yang bisa saya bantu?"
Pria itu tersenyum, dia mengulurkan tangannya ke arah Eli untuk memperkenalkan dirinya.
"Nama saya Eddy, saya adalah seorang fotografer. Kalau boleh, apakah anda berkenan untuk menjadi model saya sebentar saja?" Eddy meminta Eli untuk menjadi model fotonya, tentu saja hal itu membuat gadis itu terkejut.
"Tapi saya bukan model."
Eddy tersenyum. "Itu tidak masalah, saya hanya tertarik dengan kecantikan anda yang tampak begitu natural. Makanya karena tema pemotretan saya tentang alam, anda nampak sangat cocok."
Perkataan Eddy mampu membuat pipi Eli memerah. Namun ia dengan mudah mengendalikan ekspresinya kembali.
"Hanya sebentar saja." ucap Eddy tidak menyerah. Eli pun tersenyum, dan mengiyakan tawaran pria itu.
"Oke, jadi dimana anda akan memotret saya?" tanyanya.
Hal itu membuat Eddy sangat senang, padahal ia pikir Eli akan menolaknya. "Kalau boleh tahu siapa nama anda?"
"Cukup panggil saya Eli."
"Ah, baiklah nona Eli. Anda hanya duduk di bangku saja dan biarkan saya memotret anda."
"Tapi maaf, saya sangat buruk dalam berpose."
Eddy terkekeh. "Santai saja, anda tidak harus berpose. Saya hanya ingin memotret sisi natural dari diri anda."
"Daritadi anda terus mengatakan saya natural, tapi kenyataannya tidak begitu." Eli merasa lucu ketika Eddy terus menyebutnya natural. Meskipun itu bukanlah sebuah pujian, tetap saja itu membuatnya merasa tidak nyaman.
"Saya mengatakan yang sejujurnya nona, anda memang sangat natural." Kini Eddy benar-benar memuji Eli.
"Astaga, anda benar-benar pandai membuat orang lain merasa tersanjung." kata Eli diselingi candaan. Dan pemotretan dadakan itu berjalan lancar hingga akhirnya selesai tanpa mereka sadari karena sejak tadi mereka saling melontarkan candaan dan juga mengobrol tentang banyak hal. Untuk sejenak, Eli bisa melupakan semua keresahannya saat bersama dengan Eddy.
"Ah, jadi bayaranku hanyalah sebuah eskrim?" Eli lagi-lagi melontarkan candaannya kepada Eddy, dan mereka pun tertawa bersama. Dari obrolan ringan tadi, ternyata mereka seumuran. Berbeda dengan dirinya yang masih kuliah, ternyata Eddy lebih memilih bekerja menjadi seorang fotografer di sebuah rumah galeri terkenal di kota ini.
"Minggu depan kebetulan aku akan mengadakan pameran, sepertinya aku akan memasukkan fotomu ke dalam pameranku."
Eli sontak tersedak dengan ludahnya sendiri, ia menolak keras usulan Eddy.
"Tidak, kau bisa memamerkan foto lain Ed, jangan membuat orang-orang melihat wajah jelekku."
"Sepertinya kau suka sekali merendahkan dirimu sendiri." tebak Eddy, hal itu membuat Eli terdiam.
"Tidak juga, hanya kadang-kadang."
Situasi yang awalnya nampak serius itu berubah cair. Eddy benar-benar merasa kagum dengan kepribadian yang dimiliki Eli. Gadis itu benar-benar asyik saat diajak ngobrol, dia juga punya banyak cara untuk mencairkan suasana. Eli seperti moodmaker sejati.
"Aku serius, kau itu cantik. Jangan merendahkan dirimu karena alasan apapun, kau berhak mendapatkan apapun di dunia ini." ucap Eddy menasehati. Hal itu membuat Eli terharu. Eddy adalah pria terdewasa yang pernah ia temui di seumurannya.
"Terima kasih, Ed."
"Oh iya, aku boleh minta nomormu?"
"Nomorku?"
"Aku ingin mentraktirmu kapan-kapan." ucap Eddy mengklarifikasi maksudnya.
Eli terkekeh. "Aku tadi hanya bercanda tahu."
"Tapi aku serius ingin mentraktirmu."
Eli terdiam, namun kemudian ia memberikan nomornya kepada Eddy dan mereka pun bertukar nomor ponsel.
"Sepertinya aku harus pulang sekarang," pamit Eli, "Terima kasih atas es krimnya."
Eddy terkekeh. "Itu tidak seberapa dibandingkan dengan bantuanmu. Oh iya, aku akan menghubungimu lagi nanti."
Eli tersenyum. "Oke! Bye."
Dan mereka pun berpisah, Eddy melihat punggung Eli yang makin menjauh dan kemudian menghilang. Ia pun kembali memandang foto Eli di kameranya dan tersenyum.
"Aku tidak sabar bertemu denganmu lagi."