webnovel

Elegi Duka

Mentari Chamissya Damayanti tak pernah menyangka kalau pernikahannya bersama Adi Surya Dimitri nyatanya tak berjalan sesuai dengan apa yang dia harapkan selama ini. Surya seakan dengan sengaja membangun tembok pemisah yang akan sulit untuk Mentari robohkan. Mampukah Mentari bertahan dengan sikap dingin nan angkuh sang suami? Apakah Mentari bisa sepenuhnya bertahta di hati lelaki yang telah berikrar sehidup semati dengannya di hadapan penghulu? IG Author: @cerita.alwa

ALWA1196 · Teen
Not enough ratings
202 Chs

Perdana Surya dan Mentari

Sebelah alis milik Mentari sedikit terangkat saat mendengar siapa yang meneleponnya itu.

"Kamu sakit, Mas? Kok suara kamu aneh sih?" 

Iya penelepon itu adalah Adi Surya Dimitri. 

DEG~~~

Bukan saja Surya yang kesulitan untuk meneguk salivanya. Surya saja yang tak berada di dekat Mentari merasakan tremor, lalu apa kabar dengan Gita yang jaraknya sangat dekat dengan Mentari saat ini. Jantung dokter muda tersebut seperti ingin copot saja.

"Kak Surya?" gumam Gita dalam hatinya.

"Kak, aku keluar dulu yah?" Mentari hanya menjawab lewat anggukan kepala sembari tersenyum dengan sangat manis pada sang adik.

Dengan langkah cepat juga panjang Gita meninggalkan Mentari yang kini sedang bertukar dengan pria yang dia kira adalah Gerhana padahal itu hanyalah Surya.

"Kamu sehat 'kan Mas?" gurat penuh kekhawatiran terpatri jelas di setiap lekuk wajah Mentari saat ini.

Semakin besar rasa khawatir Mentari maka akan semakin dalam juga rasa bersalah Surya karena telah berhasil membohongi Mentari.

"Sehat kok," kilah Surya dengan susah payah.

"Nomor kamu ganti, Mas?" Nomor yang digunakan Surya untuk menelepon memanglah bukan nomor milik Gerhana melainkan nomor pribadi miliknya.  

"Iya, ponsel aku hilang." Mentari yang sejatinya adalah seorang layer merasa ada yang ganjil dengan ini semua ini, tapi Mentari adalah tipikal orang yang paling malas untuk ribetkan oleh masalah yang seharusnya tidak diperlebar apapun masalahnya. Kecuali untuk perkara persidangan. 

Jawaban oh panjang dari Mentari tak lantas membuat Surya bernapas lega. Meskipun Surya dan Gerhana adalah saudara kembar, tapi tetap saja mereka memiliki perbedaan yang mudah untuk dikenali siapapun yang memiliki telepati tinggi pada keduanya. Dan sejauh ini yang bisa membedakan hal itu hanya Dimitri, Aisyah, dan juga Mentari.

"Kok aku merasa ada yang aneh, yah Mas ama kamu." Ucapan dari Mentari barusan jelas saja membuat Surya kian terpojokkan. Kenapa juga dia harus berhadapan dengan wanita yang mempunyai rasa telepati yang sangat tinggi tersebut.

"Aku baik-baik saja, sayang." Percayalah aksi kesusahan untuk sekedar meneguk salivanya saat ini, kala dia harus memanggil Mentari dengan panggilan sayang. Cukup aneh juga rasanya harus memanggil orang baru kita kenal tersebut dengan panggilan sayang. Apalagi yang ada di hati Surya saat ini hanyalah Chayana Aurelia.

"Sayang?" ulang Mentari dengan kening yang berkerut bagai kulit jeruk saja. 

Lalu di seberang sana Surya tampak berpikir keras apakah dia salah memanggil ataukah bagaimana? Entahlah.

"Sejak kapan kamu panggil aku dengan panggilan sayang?" Untuk ke sekian kalinya degup jantung Surya seperti genderang perang yang sedang ditabu.

"Biasanya juga kamu panggil aku, Aisyah," sambung Mentari.

Ya Allah sungguh besar harapan Surya kalau kematian sang adik kembarnya itu hanyalah sebuah mimpi belaka sehingga dia tak punya alasan untuk berada di posisi Gerhana, terlebih lagi dia harus mencintai seseorang yang sama sekali tak dia cintai.

Surya kemudian menghembuskan napasnya secara kasar, sekedar mencoba meyakinkan dirinya kalau dia bisa menjadi Surya. Sewaktu kecil saja antara dia dan Gerhana sangat sering berganti peran jika ada masalah urgent, tentu saja itu terselesaikan dengan mudah.

"Aku nggak apa-apa kok, Syah." Tapi rasa tak enak hati terus saja bersarang di hati Mentari saat ini. Dia seperti asing dengan pria yang saat ini bertukar pesan dengan dia.

"Mentari ... maksudku Aisyah kamu maukan kalau kita menikah nanti kita tinggal saja di Bandung?" Pertanyaan yang kali ini terlontar dari mulut Surya semakin membuat Mentari yakin ini bukanlah Gerhananya, tapi kalau bukan Gerhana lantas siapa?

"Bandung? Tapi kita sudah sepakat setelah kita menikah kita akan tinggal di Yogyakarta, Mas." Surya bisa dengan jelas mendengar ada desahan napas berat yang saat ini sedang Mentari hembuskan saat ini. 

Tidak ada lagi raut kepanikan dalam diri Surya saat Mentari menyebutkan persyaratan yang dia buat bersama almarhum Gerhana.

Sekarang waktunya untuk Surya mengasah kemampuan aktingnya, bukan kali ini saja dia berlagak layaknya sang adik. Surya berusaha untuk menjadi support system terbaik untuk dirinya sendiri. 

"Tapi papa butuh aku untuk menjalankan Gemilang Group." Itu adalah alasan yang paling logis yang bisa Surya berikan untuk meyakinkan Mentari, meski Surya sendiri tidak yakin kalau apa yang baru saja dia utarakan pada Mentari bisa membuatnya yakin. Jangan lupakan satu hal tentang Mentari, selain dia memiliki telepati yang sangat tinggi dia juga adalah seorang lawyer. Di mana dia pasti akan secara kuat untuk mempertahankan apa yang menjadi keyakinannya.

"Gemilang Group? Bukannya sudah ada Kak Surya yang mengurusinya?" tanya Mentari.

Untuk semakin mempermulus aktingnya Surya tampak menghembuskan napas dengan sangat kasar dan tersebut terbukti membuat Mentari di seberang sana menjadi ikut khawatir.

"Mas bilang ke aku jangan diam saja dong!" titah Mentari dengan penuh kekhawatiran. Sontak saja kekhawatiran dari wanita yang memiliki paras teduh tersebut, membuat Surya menyunggingkan senyum durjana miliknya.

Rupanya tikus kecil ini mulai masuk ke dalam perangkapnya saat ini. Mudah sekali, pikir Surya. 

"Kak Surya kabur keluar negeri karena menolak dijodohkan dengan wanita pilihan papa." Meskipun Mentari tidak terlalu kenal ataupun akrab dengan Surya, tapi ketika mendengar kabar yang diberikan oleh orang yang dia kira Gerhana tersebut tetap saja dia sedikit menaruh rasa empati.

"Mentari, kamu kenapa?" tanya Surya yang berpura-pura menaruh rasa khawatir, tapi aslinya hanya zonk belaka. 

Bersambung ....