webnovel

Detik-detik Perpisahan 3

Sepanjang jalan menuju Taman Bunga, Angga terus menggenggam tangan Asha. Jari jemarinya seakan melengkapi jemari Asha yang kosong. Saling bertaut. Sangat kontras! Tangan Asha yang mungil, seakan membutuhkan tangan Angga yang besar untuk melindunginya. Hal ini makin membuat perasaan Asha tidak nyaman. Ingin melepaskan tapi rasanya tidak rela. Jika didiamkan, kuatir Angga menyadari sesuatu. Hingga ....

"Mau isi apa, Sha?" tanya Angga lembut di telinganya. Asha yang terbelalak kaget membuat Angga tersenyum. "Lo kenapa, siy, Sha?"

"Hah?"

"Nah, 'kan, gak fokus," ucap Angga seraya menjawil hidung Asha.

"Igh, paan, siy, lo, Ngga!" tepis Asha lebih karena gugup. Dan semoga Angga tidak menyadari, bahwa jantungnya berdegup kencang. Hingga dia sendiri bisa mendengar bunyinya.

"Katanya mau roti bakar. Tuh pilih, gih, mau yang mana."

"Coklat, kacang, strawberry, keju. Ada?" Angga yang mendengarnya hanya mengulum senyum.

"Itu, ya, Mas, sama minumannya es jeruk dua. Dibungkus aja," pesan Angga, yang langsung dicatat oleh penjaga di sana dan dibayarnya setelah mendapat billing. "Duduk dulu, yuk, sambil nunggu," ujar Angga sambil menarik Asha, menuju bangku yang disediakan di depan stand roti bakar, tanpa menunggu Asha menjawabnya. Saat duduk barulah Angga melepaskan genggamannya.

Asha buru-buru menarik tangannya menjauh, hal ini tak luput dari penglihatan Angga yang membuatnya menggelengkan kepala.

"Apa?!" tanya Asha galak seraya memajukan bibirnya.

"Igh, galak banget! Dah gue traktir makan juga tadi. Masih laper, ya, Tuan Putri," goda Angga.

"Iya! Pengen makan orang!" sungutnya.

"Mau dong dimakan, haha ..." Seketika Asha menyadari ucapan Angga yang ambigu. Oh, tidak, tidak! Mungkin ucapannya tadi yang ambigu.

"Boleh tanya nggak?" tanya Angga lagi sambil menatap Asha serius.

"Nanya apaan?"

"Lo mulai suka, ya, ma gue!" Ini pernyataan! Bukan pertanyaan! Seketika Asha memalingkan wajahnya. Mukanya yang putih merona kemerahan. "Nyantai aja, Sha ... sesuai janji kita di awal. Gue cuman pengen deket sama lo, sebelum gue ke Jerman. Gak akan ada yang berubah dengan status kita."

'Kok nyesek, ya?' batin Asha. Matanya yang tiba-tiba terasa buram, membuatnya memilih untuk terus memalingkan wajahnya, tidak berani menatap wajah Angga.

"Sha?" Angga menjulurkan tangannya menyentuh dagu Asha. Agar gadis di depannya mau melihatnya, "Lo gak kenapa-napa, 'kan?" tanya Angga mulai khawatir.

Belum dijawab, tetiba pelayan yang tadi datang membawakan pesanan mereka. Angga seketika itu menurunkan tangannya. Tak lupa mengucapkan terima kasih.

"Kita lanjut jalan, yuk. Gue pengen cari tempat yang bagus buat foto-foto." Seraya berdiri dan mengulurkan tangannya lagi. Asha yang terlihat ragu, lagi-lagi membuat Angga gemas dan langsung menarik tangan Asha. "Kita pegangan, biar lo gak lari! Inget, hari ini lo milik gue."

"Lo mo moto pake apa? Emang bawa kamera?" tanya Asha akhirnya, sambil terus berjalan mengikuti langkah Angga mencari spot yang bagus untuk foto-foto.

"Kan, ada kang foto, ya, minta mereka aja," angguk Angga pada bebarapa fotografer yang terlihat nganggur. Karena bukan hari libur, jadi, Taman Wisata Bunga ini terlihat lengang.

"Senyum, dong, Sha. Jangan cemberut mulu. Atau kita cari bangku buat makan rotbak dulu, deh. Biar lo bisa ketawa."

"—"

"Diam tanda setuju." Angga kemudian menarik Asha pada sebuah bangku di tengah-tengah kubah taman bunga, dan mereka menyantap bekal mereka di sana.

Saat tengah menikmati bekal, tiba-tiba dari kejauhan mereka mendengar ada yang berteriak meminta tolong, seraya sesekali berkata, "Maling! Copet!"

Asha dan Angga akhirnya melihat dua orang pemuda berlari ke arah mereka sambil membawa tas wanita, dan benar saja wanita yang di belakangnya ikut berlari mengejar dua pemuda tersebut seraya menunjuk ke arah mereka.

Tanpa pikir panjang, Asha langsung mengejar dua pemuda itu, karena jaraknya tidak terlalu jauh. Angga yang menyadari itu langsung ikut mengejar, dan memanggil-manggil Asha, agar menunggunya. Tapi, Asha sudah berlari makin menjauh.

Setelah beberapa waktu mengejar, akhirnya dua pemuda tadi berhasil dihadang oleh Asha, seketika itu mereka langsung mendapatkan tendangan telak dari Asha. Beberapa kali mereka mencoba menghindar dan melawan pukulan Asha. Tetapi, mereka bukan lawan Asha, yang sudah Dan 4.

Tak lama, Angga berhasil menyusul Asha. Sambil terengah dan mencoba melerai Asha, yang masih menendang dan memukul dua pemuda itu, yang terlihat menyerah dan memohon ampun. Mereka ingin berkata sesuatu, tetapi napasnya yang tersengal membuatnya tak mampu berkata-kata.

"Mo ngomong apa, lo!" tukas Asha seraya merebut tas wanita dari salah satu pemuda itu. Wajahnya babak belur.

"—"

"Masih muda dah jadi maling! Kaya gak ada kerjaan laen aja lo bedua."

"—"

"Sha, udah, Sha," ujar Angga sambil menarik Asha menjauh.

"Apaan, siy, lo, Ngga. Niy orang dah nyopet ibu-ibu tadi." Seraya menepis tangan Angga.

"Lo salah paham, Sha," jelas Angga kemudian, membuat Asha mengerutkan dahi.

Tak lama dari arah belakang mereka berdua, terdengar suara nyaring melalui toa, "CUT! CUT! CUT!"

Asha kemudian membalikkan tubuhnya, dan dilihatnya ada beberapa orang membawa peralatan kamera dan semacamnya. Dan pria yang memegang toa, terlihat gusar. 'Ya Tuhan. Cobaan apalagi ini,' batin Asha.

***

"Oke, terima kasih banyak, ya, Nak Angga. Senang bekerjasama denganmu," ucap pria itu seraya sebelah tangan menjabat tangan Angga dan tangannya yang lain menepuk-nepuk bahu Angga. Yang disambut Angga dengan senyuman.

"Sama-sama, lho, Om. Mohon maaf, ya, tadi shootingnya jadi terganggu."

"Nggak masalah, klo gak ada kejadian ini. Mana mungkin kita bisa bekerjasama, tho."

***

Beberapa saat sebelumnya ....

"CUT! CUT! CUT!" teriak seorang pria berperawakan sedang dengan toanya, tampak gusar.

Asha terdiam mematung. Sejenak menimbang, lari dari sini atau tetap di situ dan pasrah menerima segala konsekuensinya. Dia memang dalam posisi yang salah. Hei! Tapi, dia, 'kan, juga tidak tahu, bukan, kalau kedua pemuda dan wanita itu, ternyata artis yang sedang shooting. Jangan salahkan dirinya, dia gak kenal, lho, sama para pemainnya.

"Mau kemana, Sha?" cekal Angga.

"... anu ... "

"Lo tenang aja. Ada gue," bisik Angga, ketika pria yang membawa toa itu mendekat. Asha pasrah dan menurut saja.

"Adek ini buta apa, heh?!" tuduh sang pria yang Asha yakin mesti ini sutradaranya. 'Tapi, siapa, yah? Ga kenal,' batinnya.

"Gak bisa liat apa kita lagi shooting?!"

'Nah, 'kan, ngamuk!' batin Asha.

"Om ... sabar Om. Tenang dulu." Angga mencoba melerai.

"Nah, Adek yang ini juga siapa? Gak tau juga kita lagi shooting, hah?"

Angga lalu berinisiatif menghampiri sang sutradara dan membawanya menjauh dari Asha. Dipikirnya jika dijauhkan dari Asha bisa meredam kemarahannya.

Asha melihat mereka berdua dari kejauhan sepertinya sedang berdiskusi serius. Asha menanti dengan cemas saat keduanya kemudian berjalan kembali ke arahnya.

"Baik, saya maafkan kesalahan Adek ini. Siapa tadi namanya, Ngga?" ucap sang sutradara yang bernama David ketika sudah di hadapan Asha.

"Asha, Om," jawab Asha lirih sambil menundukkan kepalanya dalam.

"Ya, Dek Asha untuk menebus kesalahannya, saya minta untuk mengulang adegan tadi, tetapi tanpa dibayar."

"Hah? Ikut shooting, Om?" Asha terlihat terkejut. Angga yang di sampingnya tersenyum.

"Ini ide lo pasti, ya?" kasak kusuk Asha sambil berbisik.

"Dah terima aja. Daripada lo kudu bayar ganti rugi, 50 juta," balas Angga berbisik. Membuat Asha membelalakan matanya.

"Serius, lo?"

"Duarius."

"Bagaimana? Kita mulai sekarang, ya," interupsi David tak sabar.

Dan akhirnya Asha mengulang adegan tadi, hingga tiga kali take. Dan tak lupa setelahnya meminta maaf kepada David, para pemain dan kru yang lain.

"Aaah, cape juga, ya, shooting film. Apa enaknya jadi artis coba!" keluh Asha ketika mereka sudah beranjak dari lokasi shooting.

"Lo masih hutang sama gue." Tetiba Angga mengingatkan sesuatu.

"—"

"Foto kita berdua. Ok?" Yang langsung diiyakan oleh Asha. Setidaknya itu tidak sulit.

Dan di sinilah mereka. Berpose macam-macam gaya konyol yang di arahkan oleh fotografer. Hingga saat diarahkan untuk berpose serius saling berhadapan. Mata Angga menatap lekat ke dalam bola mata Asha yang hitam pekat. Seolah merekam balasan tatapan mata Asha itu dalam pikirannya. Seketika wajah Asha merona. Jantungnya kembali berdetak kencang. Dan moment itu terabadikan oleh kamera.

***

Next chapter