webnovel

Amel Langkah | Part 2

Pertama-tama, aku tidak menolak atau menerima permintaanya.

Dari mana pun kau melihatnya, kedua opsi itu sama gilanya. Permintaan gadis itu terlalu absurd untuk dikabulkan, sedangkan untuk menolaknya aku tak sampai hati. Aku tahu tidak memilih keduanya, tak langsung menolak maupun menerimanya, mungkin bukan pilihan bijak juga. Namun, ini perempuan pertama yang mau mengobrol begini denganku, tentu saja aku tidak mau berbuat macam-macam.

Mengambil langkah drastis terasa teruk buatku.

Jadi, kupilih opsi ketiga—pada akhirnya permintaan gadis itu kuabaikan. Tentu, aku tidak sedingin itu sampai menyuruhnya pergi jauh-jauh dari hidupku. Maksudku, dia teman sekelasku. Akan lebih berbahaya dan canggung untukku terutama kalau aku betul-betul mencampakkannya begitu saja.

Untungnya, dengan cepat kutemukan sebuah solusi.

Lebih pendekatan alternatif daripada pemecahan masalah sebenarnya.

Kubilang padanya, "Sampai kupahami apa maksudmu, lebih baik kita kenalan aja dulu. Kita coba jalan bareng aja dulu—kayak dua teman yang kebetulan mau nongkrong bareng."

Cerobohnya, aku tidak menguraikannya secara terperinci, sehingga dia pun salah paham lalu memintaku untuk pergi bersamanya esok hari. Dia mengajakku kencan—bahkan setelah digantung begitu olehku.

"Gimana kalau dia betul-betul ngerjain aku? Gak lucu misalnya aku harus nunggu sampai empat jam kemudian," bisikku, berandai-andai.

Meski telah menunda memberinya jawaban, aku masih merasa tidak tenang. Tidak, justru itu alasan kenapa aku belum rileks sampai saat ini. Tapi—kegundahanku ternyata segera sirna. Seolah mendengarku, gadis itu pun tiba tak lama kemudian.

Wow. Gadis sungguhan! Perempuan yang mau jalan denganku!

Gadis itu mengenakan gaun putih mengkilap, dua tali memutari pundaknya, lengkap dengan pita di bagian tengah dadanya. Ujung gaunnya melebihi lutut sehingga kedua pahanya tertutupi seutuhnya.

Sungguh menakjubkan. Aku pernah melihat pakaian semacam ini, namun timpang sekali kesannya saat kulihat dari dekat. Mungkin semuanya berkat si pemakai yang cocok sekali mengenakannya. Lekuk tubuhnya bak sempurna, atau sebaliknya, bajunya bagaikan sengaja dibuat mengikuti bentuk dada hingga panggulnya.

"Ke mana aja kamu? Aku udah nunggu lama banget, nih."

"Bohong, aku udah di sini dari setengah jam lalu," kataku.

"Tiga puluh menit yang lalu aku udah gak sabar nungguin kamu, jadi aku pulang aja sampai akhirnya sadar ternyata salah ngelihat jam—ternyata aku datang terlalu awal. Hihi."

"Bentar, kamu serius?"

"Yuk, kita berangkat," ajaknya.

Dia—mengalihkan pandangannya. Polos. Atau, terlihat masa bodoh.

Tak ditanggapi begitu sebetulnya bukan hal yang patut diungkit, atau pantas disesalkan. Hanya saja aku merasa diabaikan. Harapanku minimal dia mengklarifikasi dulu candaan ambigunya itu, namun gadis ini seperti tak punya waktu meladeni pertanyaan sepele.

Sebagai hasilnya, aku belum bisa bernapas lega. Tak mampu membacanya, dia mungkin saja benar-benar menunggu setengah jam lebih awal tanpa alasan jelas. Senada sekali dengan pernyataannya kemarin.

Selain itu, pakaian yang dikenakannya kuakui melebihi ekspektasi, seolah gadis itu bersemangat menantikan hari ini. Apa mungkin itu penyebabnya? Dia kegirangan belaka?

"Sebelum itu, aku mau minta izin dulu," celetukku.

"Izin?"

"Hm, bukan izin, sih, cuma penasaran. Apa aku boleh manggil nama kamu?"

"Hah? Memangnya ada larangan? Atau kamu sebetulnya lupa namaku?"

Amel menyorotiku intens, seolah dia tak mengantisipasinya. Meski secara teknis kami teman sekelas, dan hendak pergi bersama, kurasa kurang wajar bagiku langsung menganggapnya seperti teman. Untuk itulah, aku ingin menyamakan persepsi dulu, mulai dari namanya.

"Bukan begitu. Aku dengar beberapa gadis gak suka kalau nama mereka dipanggil-panggil. Aku gak mau kamu berpikir aku ini sok akrab atau semacamnya," terangku.

"Ah, tenang aja. Aku bukan orang yang gampang tersinggung. Kalau kamu lebih nyaman manggil namaku, ya pakai aja."

Lampu hijau telah kudapatkan. Yess!

Walaupun melaju pelan lebih kusukai, tak terburu-buru lebih aman untukku, tak ada salahnya juga memanfaatkan keadaan pada saat ini.

"Kalau begitu, siapa nama panggilanmu? Amaliabahri itu terlalu panjang buatku."

"Ah, Amel aja boleh."

Sambil menjawabku, Amel pun tersenyum lebar. Merekah, bagaikan ekspresimu saat nomor lotre yang ditunggu-tunggu akhirnya keluar.

Fiuh, entah mengapa, rasanya aku tidak perlu lagi terus siaga satu di dekatnya. Kekhawatiranku bagai rampung begitu saja.

Ekspektasiku terlampaui? Anggap saja itu berkah atau pertanda baik. Apa salahnya mengendurkan kening untuk sementara?

"Jadi, mau ke mana kita… mau ke mana kita…"

Hm, ada apa mengulangnya begitu? Nadanya datar, cenderung menurun. Matanya tidak lagi tertuju pada satu arah, menggelinding ke sana kemari. Apa dia teringat lagi sesuatu seperti barusan? Tidak, bisa saja dia memperhatikan sesuatu di luar dugaanku. Kemarin, dia dengan jitu menebak jumlah temanku hanya dalam sekejap, siapa tahu dia bisa melakukannya lagi.

Amel pun berbalik badan, seraya bertanya, "Eh, siapa namamu?"

"..."

Baiklah, aku mulai berubah pikiran.

Dia mulai mengirim sinyal lain, tak seperti sehari yang lalu. Apa ungkapan perasaannya kemarin itu sekadar tingkah teledornya?

Dari menyatakan hal itu pada seseorang yang belum pernah didekatinya, heboh memintaku jalan dengannya, memaksimalkan penampilannya, datang prematur serta enggan membahasnya, sampai pada titik ini.

Kecuali dia amat berbakat dalam seni akting, aku cukup yakin Amel suka bertindak spontan, cenderung tak mengandalkan pemikiran matang-matang.

Ah, kebalikan dari watakku, rupanya.

"Kiki. Namaku Kiki. Aku baru mengatakannya kemarin, kan?"

"Rasa suka itu gak butuh alasan, dan gak butuh nama untuk saling menguatkan," timpal Amel.

"Yang kemarin itu ada lanjutannya?!"

Sisi baiknya, setidaknya ada bagian menyenangkan juga dari gadis ini. Bak menelan ludahku sendiri, aku bahkan bersenda gurau begini layaknya sesama teman karib, padahal berselang seminggu pun belum.

Ah, biarlah begitu. Toh, dia dan aku kan teman satu kelas. Mengenalnya lebih dekat tidak akan menyebabkan aku rugi apa-apa.

"Kita mau ke mana, Rizki?"

"Belum sepuluh detik, kamu udah lupa…"

"Gimana ya, namamu gak terlalu identik sama laki-laki. Menggelikan, bahkan."

"Jangan harap lolos begitu aja cuma karena menurutmu itu lucu. Rasa banggaku sebagai laki-laki sekarang terluka olehmu."

"Aku cumau mau bilang kita impas—aku salah nyebut berkat namamu gak cukup membekas," komentar Amel lebih rewel.

"Oh, kamu bilang namaku itu gak terlalu penting… Maksudnya, kamu gak yakin bisa ngingat namaku seterusnya?"

"Uh, kalau kubilang iya, jangan marah ya."

Menurutku, mungkin itu sebabnya dia tak mempermasalahkan bagaimana orang lain, yaitu aku, memanggilnya. Amel tidak mau repot soal itu—dia menganggap hal seperti itu tidak cukup perlu untuk dipikirkan.

Berbeda denganku. Aku tipe yang memikirkan masalah seminor apa pun, lalu mengalikannya menjadi masalah yang lebih besar. Apa itu sebabnya aku tidak kunjung memperoleh banyak teman?

"Oke, gak apa-apa. Aku tahu kamu belum lama mengenalku. Sekarang, hm…"

"Uki, ada apa lagi?"

Terdiam, lidah tersela, sesuatu terbesit di benakku.

Jika perkiraanku sampai saat ini sembilan puluh persen tepat, cepat atau lambat masalah baru akan timbul, pikirku.

Gadis ini, Amel—akan bereaksi seperti apa dia bila mengetahui siapa aku sebenarnya. Selain masih ada kekhawatiran belum hafal seluk beluk tentangnya, hal yang sama juga berlaku sebaliknya. Andai dia terus melihatku dari jarak sedekat ini mulai sekarang, dia mungkin akan kecewa.

Tak percaya telah memikat hatinya, aku pun takut dia nantinya menyesal. Culas atau tidak, inginku dia memikirkan ini, soal pacar memacari yang entah dari mana datangnya, untuk kedua kalinya. Atau merenungkannya sungguh-sungguh.

Andai spontanitas Amel sudah mendarah daging pada karakternya, mungkin inilah saat paling tepat untuk memberinya lampu kuning.

"Amel, apa kamu gak akan berkomentar apa-apa soal penampilanku?"

"Apa yang—"

"Jujur padaku, apa kamu gak keberatan ada di sampingku begini?"

"Dwiki, pertanyaan macam apa itu? Untuk itulah aku ke sini. Aku sendiri—yang ngajak kamu. Aku datang bukan untuk yang lain," ungkap Amel, bebas dari ragu.

"Ya. Tapi, apa kamu gak merasa terkhianati usai ngelihat tampangku? Aku secara harfiah gak berusaha tampil layak di depanmu, pesimistis bahkan, sementara—kamu… kamu gak sabar dari kemarin, kan. Buktinya, pakaianmu itu—persis ngegambarin tingkah lakumu, penuh hingar-bingar."

Satu kata untuk menggambarkanku—depresi.

Aku tidak percaya aku masih mencari-cari alasan. Dia ini bisa dibilang mengabulkan impian lamaku, sedangkan aku masih saja kaku dan menyangkal aksi tulusnya.

Dia acuh tak acuh padaku? Yang ada, akulah yang tak serius menanggapinya.

Jika Amel tak butuh motif untuk maju dan mendekatiku, maka aku bergantung pada ribuan dalih untuk menghindarinya, enggan berhadapan dengan kenyataan. Menyedihkan.

"Kamu ini lucu, ya. Aku ini datang buat kamu. Bukan melototi pakaianmu atau mengkritik siluetmu. Bahkan, walaupun kamu gak datang, aku gak akan berputus asa begitu aja."

"Masa?"

"Kamu datang telanjang pun aku akan senang berjalan di sampingmu."

"Jangan! Stop! Itu malu-maluin. Plis, jangan menakut-nakutiku begitu," pintaku.

"Hihi, lain kali kita mesti bersenang-senang kayak begitu."

"Amel, aku masih waras. Jangan memintaku berbuat yang di luar kemampuanku," kupertegas padanya.

Sepintas, Amel seperti sengaja meninggalkan akal sehatnya, lalu mendadak mengatakan itu. Entah agar aku tersadar, atau memang dia seeksentrik itu.

"Oh ya, kamu tadi nyinggung soal bajuku juga—terima kasih, Kiki," Amel akhirnya ingat namaku.

"Uh, apa. Um, sama… sama. Maaf, ini rasanya canggung buatku."

Konyolnya, aku justru gugup. Payah sekali aku ini.

Cepat lupakan ini sekarang juga!

"Bukan masalah. Bukan cuma kamu aja yang bertanya-tanya—aku juga. Kamu bakal merhatiin atau enggak, ya. Kalau enggak, kuanggap itu bukan apa-apa. Sebaliknya…"

"Sebaliknya?"

Dia sengaja memberi jeda.

Haduh, gadis ini benar-benar eksis di luar pemahamanku. Aku bisa-bisa kehilangan akal sehatku sampai lupa berbusana bila terus bergaul dengannya.

"…Andai kamu menyinggungnya," dia memalingkan muka, mengambil dua langkah menjauh dariku, "kurasa itu bukti permulaan aku gak salah pilih."

Di luar dugaanku, pertemuan pertama ini amat berkesan untukku.

Bagaimana tidak, mimpiku jadi kenyataan!

Ini pertama kalinya aku janjian dengan seorang perempuan, teman sekelas yang baru kemarin menyatakan perasaannya padaku, dan harus kubilang aku sama sekali tidak menyesal. Aku sempat cemas ini mungkin akan berakhir buruk, namun aku senang aku salah.

Baiklah, sisanya tinggal bagaimana ke depannya.

Bagaimana waktunya bersamaku hari ini akan dikenangnya, tak peduli apa hasilnya nanti.

"Amel," sekali lagi kupanggil namanya.

"Ya, Yuki?"

Dia kembali salah menyebutkan namaku.

Tidak, kesalahan sekecil itu mana mungkin sepadan dengan perasaanku saat ini. Dan tentu saja, tak sebanding pemberiannya padaku.

Ini mungkin bukan komedi romantis, tapi siapa bilang hubungan antara dua remaja kikuk tidak bisa dinyatakan dalam bentuk lain selain romansa.

Ya, ini cerita tentang Amel, gadis periang agak impulsif serta sedikit terlalu jenaka, dan Kiki, seorang anak laki-laki penyendiri yang luar biasa—perhitungan.

"Aku mau mastiin. Kamu tadi bilang kamu datang ke sini… untukku, betul?"

"Ya, kalau bukan untukmu, aku gak akan susah payah datang," sahut Amel terlalu jujur.

"Kamu juga gak keberatan soal aku, soal gimana rupaku, soal apa pun yang menyertai diriku?"

"Hm, panjang lebar sekali. Ya, aku gak akan mundur walaupun kamu nyebutin setiap kekuranganmu dari A sampai Z," sahut lagi Amel, tak gentar.

"Dan—paling penting, kamu ke sini untuk ngerasain seperti apa jalan denganku, seperti apa aku ini saat mengajakmu pergi ke suatu tempat. Ada yang keliru?"

"Enggak."

"Kalau begitu, ayo pergi. Ayo—kita jalan kaki!"

Next chapter