webnovel

Affraid to Hope

Menjelang sore, Hanna tengah berdandan dengan bedak yang natural dan lipstik berwarna ceri. Tak lupa dia mencatok rambutnya agar bergelombang. Dia memakai sweater dan rok jeans santai dengan sepatu kets serta tas selempang, lalu dia keluar dari kamarnya.

"Wah, anakku cantik sekali," puji Elsa tersenyum pada putrinya dan berjalan mendekat.

"Ma, penampilan aku bagus tidak?" tanya Hanna.

"Bagus, Sayang. Cantik sekali," jawab Elsa.

"Aku pergi dulu ya. Papa dan adik belum pulang kan? Aku harus buru-buru, nanti kalau mereka tanya bilang aja kalau Hanna sedang pergi sama teman," kata Hanna.

"Iya, Sayang. Mama mohon sama kamu jaga diri kamu baik-baik," balas Elsa.

"Siap, Ma," kata Hanna memeluk dan mengecup pipi mamanya sebelum pergi.

Elsa mengantar Hanna sampai luar apartemen. Dia melihat dari jauh Hanna berjalan entah ke mana merasa khawatir.

"Semoga anakku tidak berbuat macam-macam," gumam Elsa.

Hanna berjalan dengan tergesa-gesa menuju taman tempat dia janjian dengan Edgar. Dia duduk di taman dan merasa beruntung saat melihat taman itu sepi jadi dia tidak perlu khawatir kalau sampai ada teman orang tuanya yang melihat dia duduk di sana.

"Ups, siapa ini?" tanya Hanna terkejut saat mata dia ditutup dengan telapak tangan besar seseorang.

Hanna memegang telapak tangan itu. Dia merasakan deru napas di telinganya meniasi makin ketakutan.

"Hanna, sudah lama menunggu?" tanya pria itu dengan suara berat dan terdengar seksi di telinga Hanna.

"Enggak lama kok," jawab Hanna.

Hanna perlahan membuka mata saat tangan itu sudah tidak menutupi matanya. Dia menghadap belakang dan melihat seorang pria yang memiliki tubuh tegap, gagah dan tampan, apalagi mata biru pria itu yang terlihat tidak tersentuh membuat dia terpesona.

Edgar menatap balik mata Hanna yang memancarkan kelembutan. Dia melihat wajah, bibir dan keseluruhan diri Hanna membuat dia tersenyum.

"Sempurna," kaya Edgar

"Hah?! Apa, Edgar?" tanya Hanna. Dia takut salah dengar.

Edgar menggelengkan kepalanya berusaha menyadarkan diri agar Hanna tidak illfeel dengan dia.

"Aku bilang kamu sempurna, Hanna," jawab Edgar.

"Hehehe, kamu bisa aja," kata Hanna tersipu malu.

"Menggemaskan sekali," gumam Edgar.

"Hmm, kita mau jalan ke mana ya, kamu mau nonton tidak?" tanya Edgar.

"Nonton," jawab Hanna.

"Kamu tidak pernah menonton?" tanya Edgar.

"Pernah, tapi nonton di televisi yang ada di apartemen aja," jawab Hanna canggung.

"Oh, tidak apa-apa. Aku juga tidak sering menonton di luar, sayang uang," kata Edgar.

"Iya betul, apalagi kita kerja keras banget. Masa habis buat foya-foya untuk hal yang tidak penting. Bagaimana kalau kita jalan-jalan aja dan tidak usah menonton? Tapi kalau kamu mau nonton, tidak apa-apa.Aku ikut aja," balas Hanna.

"Kita nonton aja, ya," kata Edgar.

"Siap. Kita mau naik kereta api aja," balas Hanna dengan senyum lebarnya.

"Boleh, ayo," kata Edgar.

Edgar merangkul pinggang Hanna hingga memepet ke tubuhnya. Dia merasakan tubuh Hanna yang menegang tersenyum kecil.

"Edgar, bisakah jangan memegang pinggang aku begini? Aku bisa jalan sendiri kok," kata Hanna. 

"Iya aku tahu kamu bisa jalan sendiri, tapi kita kan lagi pendekatan, Hanna," balas Edgar.

"Hmm, iya aku tahu. Maaf," balas Hanna yang tidak enak hati.

Mereka berjalan masing-masing ke stasiun. Hanna berjalan di samping Edgar sambil sesekali melirik Edgar yang sepertinya masih kesal pada dia. Saat mereka sudah di dalam kereta, mereka mendudukkan diri di kursi yang ada di sana.

"Apa dia anak orang kaya? Kalau dia kaya, masa sih boleh jalan sama aku begini," gumam Hanna sambil meremas rok yang dia kenakan saat melihat Edgar yang mengeluarkan ponsel mahal.

Edgar melirik ke arah Hanna yang diam saja. "Hanna, kamu sudah makan belum?" tanya Edgar.

"Makannya nanti saja. Kamu sudah lapar? Kalau sudah, kita makan dulu aja," jawab Hanna tersenyum canggung.

"Iya kita makan dulu aja begitu sampai ucap Edgar, ehmm iya ucap Hanna.

Edgar tersenyum menatap Hanna yang canggung padanya. Dia perlahan akan mendekati Hanna.

Ting

Suara pengumuman kereta sudah sampai terdengar. Mereka langsung turun dari kereta.

"Kita lanjut naik bus aja ke mallnya," kata Hanna.

"Kamu tidak apa-apa naik bus lagi? Naik taksi aja, nanti kamu kecapekan," balas Edgar menggenggam tangan Hanna.

"Kamu tidak mau naik bus? Tidak apa-apa kalau kamu tidak mau naik bus, tapi aku takut uang aku tidak cukup buat naik taksi. Aku tidak bawa cash banyak," kata Hanna tersenyum malu-malu.

"Loh, kata siapa kamu keluar uang buat kita pergi? Biarin aku yang bayar, kan aku yang ngajak bukan kamu," balas Edgar.

"Aku ikut aja deh," kata Hanna.

"Hanna senyum dong. Aku lebih suka lihat kamu tersenyum manis tahu," pinta Edgar.

"Hehehe, kamu bisa aja," balas Hanna menyelipkan rambutnya ke daun telinga.

Edgar memanggil taksi dan mereka masuk ke dalam taksi. Perlahan taksi itu melaju meninggalkan stasiun. Saat di lampu merah, ada yang datang menawarkan bunga mawar membuat Edgar membuka jendela mobil dan membelinya.

"Sepertinya dia pria yang baik?" gumam Hanna.

Hanna melihat apa yang dilakukan Edgar merasa senang. Dia tidak menyangka masih ada orang yang bisa menghargai orang lain seperti saat ini.

"Hanna, ini buat kamu," kata Edgar sambil menyodorkan bunga itu ke Hanna.

Edgar melihat Hanna masih terpanah atas tindakan dia menjetikkan jarinya di depan wajah perempuan itu hingga tersadar.

"Maaf, ini buat aku?" tanya Hanna. 

"Iya buat kamu. Kamu suka bunga mawar?" tanya Edgar.

"Aku suka bunga apa pun, tapi ini indah. Terima kasih," jawab Hanna dengan semburat merah di pipinya. Dia tidak menyangka Edgar akan seromantis ini padanya.

"Sama-sama, Hanna," balas Edgar.

Mereka menikmati perjalanan dengan santai. Hanna mulai berbicara lepas pada Edgar dan Mereka saling tertawa dan bercerita tentang berbagai hall. Edgar melihat mereka sudah sampai mall membayar taksi lalu mengajak Hanna masuk ke dalam mall.

"Pilih saja tempat yang kamu inginkan di mall," kata Edgar.

Hanna tersenyum menatap Edgar, dia baru kali ini jalan-jalan seperti ini dan bisa langsung akrab. Dia memasuki tiap toko yang ada di sana didampingi Edgar. Hanna melihat ada baju yang menarik perhatian dia menghentikan langkahnya. 

"Baju ini bagus, tapi mahal," gumam Hanna.

"Kita keluar yuk, langsung nonton aja," ajak Hanna.

"Tidak jadi beli?" tanya Edgar.

Hanna menggeleng-gelengkan kepalanya dan tersenyum. Dia langsung mengajak Edgar pergi ke bioskop dengan menaiki lift.

"Aku beli popcorn sama minuman untuk kita dulu ya, kamu ada yang mau dititip?" tanya Hanna.

"Aku aja yang beli," jawab Edgar.

"Enggak. Kamu tadi sudah bayarin nonton sama taksi," kata Hanna.

"Lalu kenapa? Apa ada masalah dengan hal itu? Aku kan laki-laki, Hanna," balas Edgar.

"Ya nanti kapan-kapan aja kamu bayarin nonton, sekarang gantian," kata Hanna.

"Oke," balas Edgar.

Setelah mereka selesai membeli tiket dan cemilan, mereka menunggu pengumuman untuk mengizinkan mereka masuk.

"Aku pergi sebentar, ada telepon penting," kata Edgar saat melihat ponselnya berdering.

Hanna melihat Edgar sudah pergi menjauh menghelakan napas kasar. Entah mengapa dia merasa Edgar sulit untuk dia gapai.

"Edgar sepertinya menggunakan baju biasa aja kalau dilihat dari penampilan, tapi baju itu terlihat mahal. Masa iya aku tanya dia kerja dan tinggal di mana. Agresif banget sih, tapi aku tidak berani berharap banyak kalau status sosial dia lebih tinggi dibandingkan aku," gumam Hanna.