webnovel

EDEN - Kisah Dunia Fana (Original)

EDEN — DEUS EX MACHINA Rama hanyalah seorang anak sekolah dasar biasa yang kini telah mengetahui rahasia-rahasia dunia, dan semua itu terjadi berkat sahabatnya, Liel, seorang anak yang mampu membuat keajaiban. Berkat itu, Rama juga mengenal banyak orang aneh. Ada anak yang mampu terbang tinggi di angkasa, juga seorang yang bersaudara dengan seekor naga, dan bahkan gadis kecil yang berkeliaran membawa pedang. Namun, setelah dua tahun menjalani kehidupan damai yang penuh dengan keajaiban, sesuatu yang tak terduga akhirnya terjadi, dan karenanya Rama berkali-kali hampir kehilangan nyawanya. Menara itu muncul di tengah dunia manusia. Lalu, bocah yang amat biasa itu pun akhirnya jatuh ke dalam medan perang... "Keajaiban itu sama seperti sebuah belati cantik yang terbuat dari permata murni. Tapi, kan, pada akhirnya itu tetaplah sebuah belati, bukan? Itu tajam... Dan mampu mengiris nadimu." —Liel ________________________________ BOOK 2: KISAH-KISAH MEREKA Ini adalah kumpulan kisah dari mereka yang pernah melalui suatu perjalanan yang penuh akan sihir dan keajaiban. Ada yang berakhir bahagia dan penuh tawa, dan ada pula cerita yang harus berakhir menyedihkan dan penuh akan tragedi. Semuanya itu tertuang di dalam tulisan ini. Mungkin ini adalah kisah tentang seorang anak yang bisa terbang di langit. Atau tentang dirinya yang hidup bersama dengan para monster. Atau kisah tentang seorang anak titisan para Dewa. Dan mungkin juga kisah seorang yang mampu menciptakan kehidupan dan kematian. Atau mungkin juga kisah tentang seorang anak yang tak akan mati oleh waktu. Inilah kisah dari mereka yang terpilih, juga mereka yang tak terlihat. “Entah orang itu jahat atau baik, setidaknya ada satu titik dalam hidupnya, di mana orang itu memiliki pengalaman hebat dan paling ajaib yang pernah terjadi padanya. Sebuah kisah magis yang menakjubkan.” —Anima Allefren, seorang yang hidup dari “EDEN : Tangisan, Impian & Hiduplah” #FANTASEAS_UNIVERSE #EDEN_SIDE_STORY

KEVIN_ESP · Fantasy
Not enough ratings
63 Chs

Bab IV: Segalanya Terbakar

"Keajaiban itu sama seperti sebuah belati cantik yang terbuat dari permata murni. Tapi, kan, pada akhirnya itu tetaplah sebuah belati, bukan? Itu tajam... Dan mampu mengiris nadimu." Kalimat itu keluar begitu saja dari mulut Aqil tanpa ia kehendaki.

Kalimat yang ia dapatkan dari dalam surat yang dikirim oleh teman barunya, One. Padahal, mereka baru bertemu sekali, kemarin subuh tepatnya, tapi ambigunya, gadis itu sudah mengirimi Aqil surat, seakan mereka adalah teman lama.

Bocah bermata emas itu melamun memandangi langit biru yang terbentang di hadapannya, sementara tangan kanannya sibuk membelai kepala Kitsunae, si Rubah Api, yang tengah tertidur dalam gendongannya.

Sungguh pemandangan yang indah. Walaupun dia sebenarnya bisa melihatnya tiap hari, tapi entah kenapa rasanya memang terlalu ajaib untuk dihiraukan.

Orang-orang boleh mengatakan kalau semuanya itu hanyalah hal yang biasa saja, hal-hal yang selalu ada tiap hari tanpa terkecuali. Namun kenyataannya, langit biru itu, awan-awannya yang menggelombang, burung yang berterbangan, dan hembusan angin yang lembut, semuanya itu merupakan hadiah yang indah dari Yang Kuasa.

Tak peduli bagaimana caramu menyangkalnya, kenyataan tetaplah kenyataan, semua itu indah sebagaimana adanya.

Di siang yang cerah kala itu, Aqil sedang berada di lapangan yang tak jauh dari rumahnya. Lapangan itu luas, tapi rumputnya sudah tinggi dan lebat, mengingat warga di sana memang sangat jarang menggunakan lapangan itu.

Aqil senang menghabiskan waktu di situ karena lapangan itu dikelilingi oleh semak belukar dan pepohonan yang agak tinggi, jadi setidaknya ada sedikit privasi di sana. Bisa dibilang, lapangan itu sudah seperti rumah ketiga bagi bocah kurus itu.

"Hmm... Odin, Regi, dan One... Gimana, ya, kabar mereka?" Aqil menyebut nama ketiga orang aneh yang ditemuinya tiga hari belakangan ini.

Orang-orang yang memiliki keajaiban di tangan mereka.

Odin yang mampu membawa Aqil ke tengah laut dalam sekejap mata. Lalu Regi, si polisi yang memberikan Kitsunae–Rubah Api–pada Aqil, dan One, gadis yang mengaku kalau dia adalah yang terkuat, dan dia juga sudah memberikan Kalung Serberus untuk Aqil.

Mereka memang memiliki keajaiban mereka masing-masing, tapi sayang kenyataannya, hidup mereka bahkan bisa dibilang sama seperti di neraka. Meski Aqil tak tahu persis seperti apa tepatnya jalan yang mereka lalui, tapi begitulah kebenarannya. Mereka semua bisa mati kapan saja dengan muda.

Apakah itu setimpal?

Aqil sendiri bahkan merasa aneh dengan mudah hanya karena perkataan dan pandangan teman-temannya.

Anak-anak lain selalu menjauhi Aqil memandangnya dengan tatapan yang ganjil. Apalagi ketika melihat jari kelingking Aqil yang terpotong, mereka juga terlihat sangat jijik, dan itu membuat Aqil ketakutan dan bingung.

Membayangkannya saja menyakitkan.

Ketika Aqil sedang tenggelam dalam pemikirannya, Kitsunae tiba-tiba saja melompat dari pelukannya, dan mendarat di rumput di bawah. Akan tetapi, rumput di sekitar Kitsunae parahnya malah ikut terbakar karena panas yang terpancar dari tubuh rubah kecil itu.

Kitsunae meregangkan tubuhnya, lalu setelah itu ia mulai berjalan berkeliling seolah-olah rubah itu sedang menikmati kebebasannya.

"Hey, Nae, menurutmu, hidup ini sebenarnya ada artinya, nggak?" Aqil berjongkok dan bertanya pada si rubah api. "Kenapa... Semuanya ini kadang menyeramkan banget? Dan, kenapa dunia ini terasa salah?"

Akan tetapi, sesuatu yang tak terduga terjadi.

Tak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba saja ada banyak bebungaan kuning yang muncul entah dari mana. Jumlah bunga itu ada jutaan–tidak, mungkin miliaran malah. Bunga-bunga itu muncul begitu saja bagaikan guntur, lalu dalam sekejap mengurung Aqil dan Kitsunae di dalamnya bagaikan angin topan raksasa yang menjulang tinggi ke langit.

"E-Eh...? Ada apa ini!?" Rasa ngeri yang teramat sangat menjalar memenuhi sekujur tubuh Aqil. Dia terjebak, dan bebungaan kuning itu terlihat seperti sudah siap untuk meremukkannya.

Ini sudah jelas keajaiban, tapi parahnya, keajaiban yang dilihat Aqil saat ini malah membuat bocah itu merasakan teror yang luar biasa. Suasananya menjadi gelap dan suram.

Walau begitu, Kitsunae tidak tinggal diam.

Nyala api meledak dari dalam tubuh Kitsunae, dan disaat itu juga bentuk Kitsunae pun berubah; rubah kecil yang tadinya imut dan menggemaskan kini membesar seperti macan, dan dia juga terlihat sangat anggun dan cantik, sekaligus tampak amat berbahaya nan mengancam.

Kitsunae melesat ke sisi Aqil untuk melindungi bocah itu. Namun, dinding bebungaan itu juga makin lama malah makin menyempit dan membuat Aqil semakin ketakutan.

Akan tetapi, ketika Rubah Api itu menyadari raut panik yang terpampang di wajah Aqil, Kitsunae segera melolong sekuat tenaga, dan bersamaan dengan suara melengking yang keluar dari mulut Kitsunae, amukan api membahana tiba-tiba meledak dari segala arah dan membakar semua bebungaan itu hingga menjadi abu dalam hitungan detik.

Benar-benar pemandangan yang amat dahsyat dan mengerikan. Aqil tak bisa berhenti mengalihkan pandangannya dari momen yang sedang menimpanya kala itu.

"Hentikan."

Satu suara terdengar dari punggung Aqil. Bocah itu segera berbalik memutar kepala, dan ia pun mendapati sosok gadis muda yang berdiri tepat di belakangnya.

Gadis yang tidak mengenakan alas kaki apapun tapi berparas menawan, dengan gaun cantik berwarna kuning yang melekat di tubuhnya. Gaun kuningnya itu tampak sama persis dengan bebungaan yang hampir melumat Aqil tadi.

"Ah!?" Aqil terpaku pada kecantikan dan keindahan gadis itu, tapi dia masih merasa takut karena beberapa alasan.

"Sebelumnya maafkan aku." Ucap gadis itu sambil memasang senyuman manis di bibirnya. Matanya yang kuning kecoklatan sangat kontras dengan rambutnya yang sewarna sinar mentari. Dia sungguh cantik.

"Tapi... Kenapa?" Aqil heran.

"Begini, Nak, aku tadi nggak bermaksud menyerangmu, kok. Sumpah. Aku tadi kaget aja, soalnya Kitsunaemu itu membakar tanganku." Ujar gadis itu sambil menunjukkan warna hitam gosong di tangannya.

"Lah? Kok, bisa, sih? Kan, Kitsunae dari tadi sama aku terus, lho." Aqil merasakan sesuatu yang ringan mendarat di atas kepalanya. Dia awalnya sedikit terkejut, karena masih agak syok dengan kejadian tadi, tapi ternyata itu cuma Kitsunae yang berniat untuk tidur lagi.

"Eh..." Gadis itu memandang Aqil dengan tatapan yang aneh untuk beberapa saat, namun itu bukanlah tatapan jijik seperti yang biasa diterima Aqil. Gadis itu tampaknya sedang kebingungan entah karena apa. "Begini." Gadis itu kembali tersenyum kecil. "Namaku, Yeon. Dan aku ini adalah, Elementum. Elementum Tumbuhan, tepatnya." Ungkapnya.

"Oh, aku Aqil, Kak. Tapi... Elementum, itu apa?" Rasa ngeri dan panik yang dirasakan Aqil tadi lenyap seketika. Toh, dia sekarang sudah tahu kalau gadis ini bukanlah orang yang jahat.

"Aku ini manusia setengah Elemental Tumbuhan. Aku memiliki tubuh fisik, tapi aku juga bisa melakukan semua hal yang bisa dilakukan oleh Elemental Tumbuhan. Misalnya seperti ini." Yeon tiba-tiba tenggelam dalam tanah.

Gadis itu benar-benar tenggelam ke bawah.

"Aku bisa menyatu dengan seluruh lapangan ini, pepohonannya, semak-semaknya, dan bunga-bunganya." Suara Yeon menggema di telinga Aqil seperti hembusan angin. "Gampangnya, seluruh lapangan ini adalah tubuhku." Gadis itu kini muncul lagi di belakang Aqil tanpa ia sadari.

"Wah..." Aqil terkagum dengan kebenaran yang luar biasa itu. "Itu hebat banget, Kak." Sumpah, hati Aqil berdegup kencang mendengarnya. Itu sangat ajaib dan mengagumkan, sampai-sampai dia tidak tahu harus mengatakan apa lagi.

Akan tetapi, Yeon kembali melakukan sesuatu yang ajaib lagi. Dia menggerakkan jari-jarinya seperti sedang membeti isyarat, dan disaat yang bersamaan, tiba-tiba saja ada sebuah pohon kecil yang mencuat dari dalam tanah di dekat kaki Aqil. Pohon itu tumbuh dan tumbuh dengan cepat hingga setinggi bocah itu, dan hebatnya lagi ada tiga buah apel merah segar yang menggantung di dahannya.

"Nih, ambillah." Ujar Yeon.

Aqil sebenarnya masih takjub dengan apa yang baru saja terjadi, tapi dia buru-buru mengembalikan kesadarannya seraya segera menggerakkan tangannya untuk memetik ketiga buah apel itu. Dan mengejutkannya lagi, setelah ia mengambil apel itu, pohonnya masuk kembali ke dalam tanah dan lenyap tanpa jejak.

"Sebenarnya aku sudah lama mengenalmu, lho. Apalagi kamu memang selalu nongkrong disini hampir tiap hari." Yeon angkat bicara ketika Aqil berniat menggigit apelnya. "Aku tahu bagaimana caramu berpikir... Dan aku juga tahu apa yang terjadi dengan jari kelingkingmu..."

"Hmm?" Aqil yang tengah mengunyah cuma bisa memasang telinganya baik-baik.

"Sebenarnya aku juga sempat mendengar ucapanmu yang tadi. Kau bertanya, kenapa dunia ini terasa salah, kan?"

Aqil mengangguk pada ucapan Yeon.

"Yah... Karena dunia ini memang salah, kan. Itu semua sudah ketahuan sejak awal sekali, lho." Yeon menjelaskan. "Maksudku, pernahkah kau bertanya, kenapa Tuhan menciptakan buah itu dengan penampilan yang indah? Padahal, buah itulah yang menjadi bibit dari dosa yang pertama... Aneh, bukan."

Aqil masih memperhatikan dengan seksama meski mulutnya sibuk mengunyah. Namun, Aqil tidak mengerti apa maksud perkataan Yeon. Bocah itu mengalihkan pandangannya, memperhatikan wajah gadis itu.

Entah kenapa, wajah Yeon terlihat penuh duka, dan lega disaat yang bersamaan. Itu sangat bertentangan sebenarnya, tapi Aqil bisa merasakannya dengan jelas.

"Sama kayak yang barusan terjadi... Amukan api yang dibuat oleh Kitsunae itu sangat indah di mataku... Tapi, itu bisa menyakitimu, kan?" Ungkap Aqil.

"Ya, kau benar. Itu indah... Terlalu indah malah, sampai-sampai, kau bisa mati karenanya." Balas Yeon. Gadis itu menggapai wajah Aqil, dan membelai pipi kanannya.

"Tapi, aku masih nggak terlalu ngerti, sih." Kata Aqil sambil memasang senyuman lebar yang lugu.

"Kamu terlalu baik... Untuk dunia yang jahat ini." Yeon mencubit pipi Aqil dengan pelan. "Yah, setidaknya sekarang aku sudah punya teman bicara disini."