webnovel

PROLOGUE - For What It's Worth

Ini adalah pertempuran penentuan yang menentukan masa depan Kerajaan Finia.

Di bawah sana, beberapa jam yang lalu, terdapat sebuah hutan yang indah nan asri. Pohon-pohon tumbuh dengan subur. Berbagai aneka satwa liar yang tersedia menjadikan tempat ini sebagai spot berburu favorit para petualang. Aku masih ingat saat aku berjalan melewati hutan itu berbulan-bulan yang lalu….

Namun, kini yang tersisa hanyalah tanah tandus dan ratusan hektar pohon yang terbakar menjadi arang. Kabut asap menutupi sebagian besar sisa-sisa hutan, mencemari udara yang semula sejuk. Bau asap yang pekat membuatku menaikkan cadarku lalu membenarkansafety goggles agar tidak kelilipan oleh debu. Bahkan di ketinggian, aku bisa merasakan panasnya sisa-sisa hutan itu.

"Aku benci bau napalm di pagi hari…. Baunya seperti bulu jembut Joker dipanggang," Sahut Eyebag kesal di radio.

"Hah, ironis," Jawab Joker sambil mendengus.

Pengendara Griffin yang aku tunggangi memerintahkan makhluk berkepala elang bertubuh singa itu untuk sedikit menukik, menurunkan ketinggian terbang.

Di balik kabut asap, aku melihat lebih jelas 2 sisi pasukan yang terlibat dalam pertempuran jarak dekat yang penuh darah. Tumpukan mayat semakin menggunung setiap detik. Dentingan logam dan ledakan sihir terus bersahutan. Pemandangan yang suram, mengerikan, sekaligus asing mengingat pertempuran di dunia asalku dilakukan dengan menembak satu sama lain dari jauh, terkadang diikuti oleh lemparan granat dan hujan artileri. Namun, suara jeritan dan teriakan tetap saja membuat bulu kuduk merinding, mengingatkanku akan Luminia dan Afghanistan. Ledakan juga sesekali menghentakku layaknya RPG dan IED , momok paling menakutkan bagi semua pasukan.

Salah satu sisi pasukan —sekutu kami— memakai seragam biru muda sementara lawan mereka berseragam hitam. Kedua sisi bertarung dengan seimbang, saling merangsek dan mendesak lawan mereka. Namun, tidak ada yang memilih untuk mundur.

"30 detik!"

Mendengar peringatan dari Blade melalui radio, aku memasang magazine ke senapan serbu Type-89F modifikasi milikku lalu mengokang, memasukkan sebutir peluru 5,56mm ke dalam. Setelah memastikan senapanku siap, aku menggenggam erat pegangan di saddle. Walau belum mendarat, wajahku sudah basah akan keringat, sedikit memudarkan cat wajah. Di sekitarku, terdapat puluhan makhluk terbang berupa Griffin dan Hippogriff. Rekan-rekan satu reguku juga menunggangi punggung beberapa Griffin.

"Wand!" Tiba-tiba Muse yang duduk di belakangku menepuk kepalaku yang ditutupi oleh topi boonie. Aku menengok ke belakang, melihat Muse menyeringai sambil mengacungkan jempol. Kami berdua saling membenturkan kepalan tangan masing-masing, sebelum mendengar pekikan pengendara Griffin yang kami tunggangi.

"Tugasku sampai di sini! Sisanya terserah kalian! Semoga berhasil!"

Beberapa Hippogriff di sekeliling kami berbelok kemudian terbang menjauh, menerjang ke arah sekelompok naga Wyvern yang menuju ke sini. Kedua jenis hewan itu lalu menabrak dan menerkam satu sama lain tanpa ampun. Para penunggang juga saling menusukkan tombak dan merapal berbagai sihir untuk membantu tunggangan mereka. Hippogriff yang masih berada di formasi berupaya untuk menjaga kami dan menyerang Wyvern yang mendekat. Benar-benardogfight yang menegangkan dan aneh di mataku.

Sementara itu, Griffin yang membawa kami mendarat dengan sempurna di bagian hutan yang tidak tersentuh api dan masih tersisa pohon hijau. Aku dan Muse beranjak turun dari Griffin bersama reguku yang berada di Griffin lain. Sang penunggang Griffin mencoba meniru hormat tangan kami lalu terbang pergi bersama skuadron mereka. Aku memutar tuas pengaman senapan serbu, mengganti dari 'ア' ke '3'.

"Ayo bergerak. Formasi garis. Jaga jarak 5 meter," Perintah aku pada kelima bawahanku. Kami lalu bergerak menyusuri hutan dalam satu baris, menjaga jarak satu dengan yang lain agar jika terkena ledakan, semua tidak akan mati.

Kami terus menyusuri hutan, berjalan menuju titik yang harus kami jaga. Di kejauhan aku dapat mendengar sayup-sayup ributnya medan perang dimana orde ksatria St. Whales bentrok dengan musuh. Aku menguatkan peganganku pada senapan serbu. Aku berusaha melawan rasa takutku pada hutan lebat, menatap setiap tempat, memastikan tidak ada musuh.

Setelah kurang lebih satu menit berjalan kaki, kami memasuki daerah hutan yang hangus terbakar. Kakiku melangkah di atas tanah tandus, meninggalkan jejak yang tercetak jelas. Panasnya udara membuatku semakin berkeringat.

Kami akhirnya sampai di bukit berbatu rendah dekat air terjun, tempat di mana kami harus berjaga-jaga, menunggu jika seandainya kavaleri darat musuh akan datang dari seberang untuk menerjang pasukan infanteri sekutu kami yang kini terlibat pertempuran dengan infanteri musuh. Kemungkinan besar mereka akan lewat di sekitar sini karena kedalaman sungai yang cukup dangkal serta lebar sungai yang tidak terlalu lebar. Menjaga flank kawan, itulah misi kami.

Aku menatap sungai di depan kami. Aku sangat ingat tempat ini, saat sekelilingnya masih terdapat berbagai bunga dan tumbuhan hijau asri dan tidak tercemar oleh serpihan batang pohon yang hangus terbakar. Udaranya juga sudah tidak sejuk lagi melainkan panas dan penuh asap. Sial, pemandangan ini benar-benar memilukan hati.

Kami segera mengambil posisi bersembunyi di balik batang pohon dan gundukan tanah yang masih tersisa, mengarah senjata kami ke bawah bukit. Tak lupa menjaga jarak satu sama lain.

"Shit….Tempat ini lebih terlihat seperti Vietnam daripada Isekai…." Muse berkomentar sambil menggelengkan kepalanya saat menatap sekeliling. Mungkin dia berpikir hal yang sama denganku.

Kami terus berjaga dalam kesunyian, sehingga keriuhan berpuluh kilometer di belakang kami terdengar cukup jelas. Aku memfokuskan penglihatanku ke depan, menunggu musuh datang. Memecah keheningan ini, Whopper bertanya. "Ngomong-ngomong soal Vietnam, apa kalian pernah mendengar….errr, Hanoi Hannah?"

Aku langsung menjawabnya tanpa memindahkan tatapanku. "Ya, penyiar radio waktu perang Vietnam itu 'kan? Aku tahu, terutama kata-kata 'How are you GI Joe' pada tentara Amerika di hutan…." Aku meniru kata-katatrademarkitu dengan suara melengking, membuat yang lain merekah seringaian. "Lalu mengatakan sesuatu tentang propaganda komunis….dengan suara mendesah."

"Iya, benar," Tanya Whopper lagi. "Bagaimana pendapatmu tentang itu, letnan?"

"Jujur saja, bukan bahan fap-fap yang membanggakan," Jawaban datarku menyebabkan semua tertawa.

"Lalu apa bahan fap-fap yang membanggakan bagimu, Iceman?" Kini giliran Eyebag bertanya padaku.

Muse membuat suara batuk palsu. "Nona perawan suci mungkin?"

Tawa seluruh regu meledak setelah mendengar nama panggilan itu. Mereka ini….tidak bosan-bosannya meledek aku.

"Awas saja kalian," Gerutu aku pada mereka. Aku lalu menghubungi Blade, kapten kami melalui radio. "Alpha, di sini Bravo. Kami sudah sampai di posisi, ganti?"

"Dimengerti Bravo. Kami akan membantu pasukan Finia," Jawab Blade. Ia terdengar sedikit kegirangan. "Kelihatannya meriah sekali di sini."

Setelah menunggu beberapa saat lagi, aku mendengar suara derap pasukan berkuda datang dari jauh. Di kejauhan, kami melihat puluhan mungkin ratusan pasukan berkuda dengan zirah terbang datang.

"Sudah kuduga mereka akan datang," Sahut Sandman sambil mengokang senapan mesin ringannya.

"Tahan," Perintahku. Kami menunggu agar mereka lebih dekat.

Setiap derap langkah, setiap ringgisan kuda dan sorakan para pasukan cukup untuk menurunkan moral pasukan. Kavaleri selain karena mobilitasnya, mereka juga berguna untuk peperangan psikologis. Namun, semua itu hampir tidak berefek pada kami.

Saat pasukan berkuda itu sampai di tepi sungai dan mulai menyeberang, aku meneriakkan sebuah perintah. "Tembak!"

Secara bersamaan, kami menarik pemicu, menghujani musuh dengan timah panas. Seluruh kavaleri terhentak saat suara raungan senapan otomatis. Kuda mereka meringkik ketakutan. Dalam waktu hampir bersamaan, puluhan proyektil menerjang tubuh dan tunggangan mereka. Satu persatu kelompok ksatria kavaleri tersebut roboh. Jeritan sekarat menggema keras walau teredam oleh tembakan.

"AAHHHHH!"

Aku meremas dan melepaskan pelatuk setiap membidik musuh, merasakan bagaimanarecoil senapan ini menghentak pundakku, diikuti oleh letusanburst 3 peluru lalu melihat target-targetku terjatuh dari kuda mereka.

Di balik keramaian ini, aku dapat mendengar Sandman dan Eyebag berteriak kegirangan satu sama lain. "Ha! Benar-benar seramai ulang tahunku yang ke-18!"

"Selamat ulang tahun, muh nigga! Jangan sampai kena tembak di muka!"

Reguku mulai mengincar musuh yang berada di barisan paling belakang yang mencoba kabur. Walau ada yang berhasil kabur, jumlahnya tidaklah banyak dikarenakan sudah cukup banyak yang kami bunuh di serangan pembuka. Belum lagi jarak efektif senjata kami adalah 500 meter sehingga banyak yang dilumpuhkan sebelum kabur. Menerjang ke arah kami juga mustahil karena berada di tempat tinggi dan berbatu.

Aku menyadari bahwa beberapa penyihir dan penembak musuh yang terisi berupaya untuk membalas serangan. Beberapa pemanah dan penembak berhasil menembakkan busur panah, crossbow, dan musket mereka. Semuanya meleset.

"Semuanya! Incar pemanah dan penyihir duluan—" Aku langsung melepaskan tembakan ke arah salah seorang penyihir yang sedang merapal mantra kemudian mengincar target penting yang dapat mengancam kami seperti penyihir atau pemanah.

Dari balik teropong holographic yang aku gunakan, aku melihat medan, melihat bagaimana reguku membunuh— tidak, membantai mereka satu per satu. Aku bahkan melihat seorang pemanah yang bersembunyi di balik bangkai kuda terbunuh oleh 3 anggota reguku yang sama-sama mengincarnya, menyarangkan puluhan peluru di tubuhnya.

Namun, salah satu musuh yang memakai jubah penyihir luput dari penglihatanku. Saat aku membidiknya, ia sudah selesai merapal sihirnya. Sebuah energi berwarna hitam kemerahan meluncur ke arah kami.

"Mantra sihir!" Teriak aku sambil merunduk, menunggu sampai energi itu menghantam tanah bebatuan di depan kami, nyaris mengenai kami.

Aku langsung bangkit dari menembaki kepala bajingan itu sampai wajahnya tak ber bentuk dihantam 556, memuaskan hasratku.

Sambil menembaki sisa musuh yang masih hidup, aku mendengar Eyebag mendesah kesakitan. "Ah! Fuck!"

"Oi! Kamu nggak apa?!" Teriak Sandman di balik tembakan SAW-nya. Aku menatap Eyebag yang tengah memeriksa sekujur tubuhnya. Seragam yang ia pakai kotor akan tanah.

"Aku baik-baik saja," Jawab operator Delta Force itu sambil kembali menggenggam senapan serbunya dan lanjut menembak. "Kurang ajar!"

Aku mengganti magasinku lalu kembali menembaki musuh tanpa ampun, berfokus pada mereka yang berusaha melarikan diri atau sembunyi di balik bangkai kuda dengan kepala dan badan terbuka. Mudah bagiku untuk menghabisi mereka, apalagi jarak kurang dari 200 meter. Reguku yang lain terus memuntahkan peluru dari senjata mereka ke arah musuh yang tinggal segelintir.

Ini bukanlah pertempuran, melainkan pembantaian. Aku tahu ini sedikit tidak bermoral, tapi sisiku yang lain mengatakan bahwa tindakan ini dibenarkan, lagipula mereka adalah musuh dan pasti akan melakukan hal yang sama jika berada di posisi kami. Aku sampai tidak sadar bahwa aku menyunggingkan senyuman lucu saat melihat 3 di antara mereka terpental saat Whopper menembakkan pelontar granat.

"Hentikan tembakan!" Pekik aku. Perlahan rekan-rekanku menghentikan tembakan mereka.

Aku bangkit dan mengamatikillzone di bawah sana, melihat kehancuran yang kami perbuat. Puluhan mayat manusia dan kuda menggunung dan berserakan dimana-mana. Bercak darah mewarnai ulang zirah mereka. Beberapa ada yang mengapung di sungai, mengubah warna air menjadi merah pekat. Banyak di antara mayat tersebut terdapat lubang di sekujur tubuh, bahkan ada bagian yang teramputasi. Pemandangan yang sedikit kurang mengenakan.

"Woo-hoo! That was fucking awesome!"

"Fuck yeah!"

"Haha!"

"Too ez for me!"

Sorak-sorai dan tawa rekan-rekanku ramai di belakang, memberi selamat satu sama lain. Mereka saling menepuk pundak dan kepala satu sama lain. Aku menarik napas panjang, memerintahkan mereka untuk bergerak.

"Oke. Sekarang—"

Tiba-tiba, Blade menghubungiku. Kepanikan terdengar di balik transmisi. "Bravo! Sesuatu di luar dugaan baru saja ter- Awas!"

"Alpha? Alpha, ada apa?!" Tanya aku. Namun, tidak ada jawaban.

Tiba-tiba aku mendengar pekikan dari udara. Kami semua menatap ke udara. Senyum dan tawa sirna setelah melihat apa yang datang.

"I-itu!"

Naga besar… berukuran helikopter Chinook, dikawal beberapa wyvern berukuran 'standar'.

Itu….kavaleri udara musuh? Bagaimana bis—

Kami langsung berlari. Sesekali berputar untuk menembaki para Wyvern dan mata naga raksasa itu. "Bravo, berpencar! Berpencar! Cari tempat berlindung!"

Peluru 556 cukup untuk membunuh Wyvern yang seukuran kuda, namun, tidak untuk Naga raksasa yang berkulit tebal. Makhluk itu meraung dan menganga ke atas, mengumpulkan api hitam di mulutnya.

"Aggghhh!" Aku mendengar teriakan Whopper, melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana 2 ekor Wyvern menerkam operator malang itu.

"Whopper!" Aku membidik Wyvern itu dan menarik pelatuk, sebelum sebuah bola api hitam meluncur ke arah kami lalu meledak menghantam tanah di dekatku.

Ledakan itu membuatku terpental. Saat aku mendarat dengan kasar, seluruh kekuatanku menghilang. Aku tidak bisa berdiri. Telingaku berdengung keras. Kepalaku terasa sangat berat. Seluruh sendi menolak untuk bergerak. Bahkan membuka mata dan bernapas terasa sangat sulit.

Semua itu terjadi sangat cepat….

Samar-samar, aku dapat melihat salah satu dari rekanku terbakar terkena bola api. Ia mencoba berguling di tanah, namun, api menjulur ke kantong granat, membuat isinya meledak, memuntahkan fragmentasi ke semua arah, dan membunuhnya seketika. Bawahanku yang lain terus melawan gerombolan naga itu, bahkan sampai menembakan peluncur roket anti tank.

Tidak ada serpihan yang mengenaiku, tapi aku sudah tak peduli lagi…. Jika aku harus mati sekarang setidaknya aku mati di medan tempur yang heboh, medali dan kenaikan pangkat menunggu di rumah, bukan mati konyol ditabrak truk atau disambar petir, haha….

Namun, aku mungkin akan menyesalinya karena sudah mendahului gadis itu….

Berangsur-angsur rasa sakit di tubuhku memudar, aku merasakan sepasang sarung tangan besi menggenggam ketiakku dan menyeret lalu menyadarkanku pada batang pohon. Aku mendapati diriku samar-samar menatap seorang ksatria berzirah lengkap. Ksatria dengan baju besi abu-abu dengan corak biru itu berlutut, tetes demi tetes air jatuh dari dagu helm yang ia kenakan.

"Wand! Kau tidak apa?! Jawab aku! WAND!"

Aku terkekeh, dari seluruh personil yang ada di sini tentu saja dia yang datang.

My holy maiden....