webnovel

Bertemu Orang Pintar

Aku melihat keadaan Mamah tentu saja kaget dan refleks berteriak, tetapi siapa juga yang akan datang menolong kami, kemungkinan para tetangga tak mendengar karena tertutupi juga usaranya dengan deru kendaraan di luar rumah.

Aku juga tak bisa berlama-lama larut dalam ketakutan dan kepanikan atau Mamah akan tersiksa.

"Mamah akan aku bantu, diam dan berusahalah tenang, Mamah bisa dengar dengan jelas apa yang aku katakan?" tanyaku, memastikan dulu apakah Mamah bisa mendengar, dengan kata lain masih sadar.

Mamah tak menjawabku dengan cepat, dia diam dulu, lalu menganguk.

Aku berusaha untuk melepas jeratan tambang yang melilit leher Mamah.

Terlihat sekali apa penderitaan yang Mamah rasakan, aku ingin sekai tahu kenapa bisa terjadi seperti itu juga.

kupikkir kalau yang melilit itu tambang tetappi saat aku berusaha menariknya dan melepaskannya, ternyata itu adalah rambut yang berasal dari nenek-nenek mistis tersebut. Aku baru sadar sosok itu hilang dan timbul di belakang tubuh Mamah.

Aku berusaha membantu dengan tak memperdulikan adanya wanita tua tersebut, meskipun aku perlahan sadar kalau Mamah juga mengetahui perihal adanya makhluk asing di sekitar kami.

Aku menyimpulkan, Mamah tahu dia sudah diganggu, tapi berusaha tak menggubrisnya.

Aku menarik rambut itu, tidak dengan tenaga yang pas-pasan lagi, tapi sekuat tenaga aku melakukannya. Karena sudah tak bisa membuat mamah lama menunggu.

Rambut itu seperti hidup, setiap dilepas beberapa helai, dia akan kembali lagi dan membuat leher mamahku terlihat menghitam.

Akan tetapi, aku merasa bersyukur, mamah tak henti-henti membisikkan doa. Suaranya mulai keluar, dan kini aku mendengarnya berdoa. Rambut itu perlahan melemas, bahkan hilang sedikit demi sedikit, hingga akhirnya lepas seluruhnya.

Mamah terjatuh dan terduduk di lantai, tubuhnya dibanjiri peluh sampai tercetak di kausnya.

"Mah, kita harus pindah di kamar, kita ke kamar, Mamah, ya?" ajakku sambil berusaha membantu agar Mamah bisa bangkit dari duduknya.

Meskipun berat dan hampir tak sanggup membantu, aku akhirnya bisa membawa Mamah ke kamar. Kubantu beliau untuk duduk di pinggir ranjang. Setelah itu mengambil handuk dan mengelap semua peluh yang membungkus dirinya.

Tak ada kata tadinya, hingga aku mendengar helaan panjang napas Mamah.

"Maaf, Mamah jadi ikut diganggu. Aku janji akan mencari jawabannya, Mah."

Mamah masih diam, sepertinya dia sudah tak mau berkata-katalagi tentang kejadian ini atau bisa juga karena maaih syok.

Aku harus membuat Mamah tersadar dan tak melamun. Karena semakin kita berpikiran kosong, setan-setan itu akan bersemangat untuk mengganggu.

Aku menggoyangkan tubuh Mamah beberapa kali, hingga kepalanya terangkat lagi. Mamah meraih tubuhku dan memeluknya.

"Kamu memang benar, Mamah udah ada yang jaga, yaitu kamu. Tapi mamah gak bisa biarin kejadian ini semakin berlarut-larut. Kamu harus pilih mau di mana sekarang."

Aku terdiam dan mencerna kata-kata Mamah.

"Mah, apa kalau aku tinggal di sini, aku bikin Mamah terganggu?" tanyaku dengan mataku yang sudah berair.

Mamah mengangguk tanpa menjawab apa-apa, aku jadi tak mau mengorek lagi. Aku kehilangan semangat saat tumpuanku satu-satunya menolak untuk menerima.

Usai mengelap dengan handuk, aku ingin membantu menggantikan baju juga. Mamah menolaknya.

"Mamah bisa sendiri. Lebih baik kamu pikirkan untuk kembali ke Fadil. Karena kalau di sini. Kita akan tiada Fira."

Baju yang kupegang terlepas, aku menatap Mamah dengan saksama.

"Mah, kenapa jadi Mas Fadil? Ngomong apa lagi dia?" tanyaku penuh emosi.

"Dia yang bilang kalau kamu bisa tiada, Fir. Karena ada makhluk ghaib yang terus menerus mendekat ke kami, dia tahu dan punya orang yang bisa mengusir gangguan ini. Tapi kamu gak nerima dia dan malah meninggalkannya."

Mamah bicara panjang lebar. Aku tak mau mendengarkan lagi.

"Udah, deh, Mah. Terserah sekarang. Kalau apa-apa masih Mas Fadil aja, kapan aku bisa tenang dan fokus jalanin hidupku sama melepas gangguan mistis yang nyatanya dia yang kasih!"

Aku hilang kendali dan memutuskan keluar dari kamar Mamah. Ini keterlaluan, Mas Fadil bertindak licik. Dia tak mampu menjawab semua rasa penasaranku dan juga keberanianku dengan penyelesaian masalah ini. Pria itu malah meracuni pikiran Mamah, mendorongnya agar aku bisa kembali ke desa.

Dia pikir aku akan melakukannya, nyatanya aku akan melawan Mas Fadil. Kalau kembali pun, aku akan membuat perhitungan dengannya. Enak saja.

Aku kembali ke kamar dan melanjutkan tidur. Meskipun sulit tapi aku berusaa agar besok bisa bangun dalam keadaan yang segar.

***

Keadaan rumah jadi sepi, aku sempat memgontrol keadaan Mamah saat baru bangun pukul 05:00 pagi. Mamah tampak masih terlelap, sedangkan aku memutuskan mengguyur kepala dengan air dingin. Tubuhku terasa panas dan gerah sekali. Aku kembali bermimpi yang aneh dan seram. Tapi aku mencoba melawan itu semua.

Hari ini aku sudah membulatkan tekad untuk bertemu dengan orang pintar. Aku mendapat info dari temanku yang katanya pernah sembuh dari guna-guna mantan suaminya. Dia yang dulu sakit aneh berkepanjangan, sekarang sudah segar-bugar tanpa adanya perubahan apapun dari segi perilaku dan juga sikapnya kepadaku

Kami janjian di jalan menuju ke rumah orang pintar itu. Sengaja tak aku beritahu ke mana kepergianku ke Mamah. Aku hanya meninggalkan catatan kecil yang kutempelkan di kulkas, agar Mamah bisa membacanya. Intinya aku hanya ijin mau jalan-jalan. Karena kalau aku jujur, sudah pasti akan gagal.

Kebetulan juga Mamah masih tidur, akan kumanfaatkan dengan bepergian mencari orang yang bisa melepas gangguanku.

***

Gina melambaikan tangannya kepadaku yang baru saja turun dari taksi, dia sedang menunggu di depan jalan. Saat dia menatapku, raut wajahnya yang ceria berubah sedih. Dia langsung memelukku erat dan mengelus rambutku, mengalirkan kekuatan yang hampir meninggalkanku yang lemah ini.

"Makasih, Gina. Gue gak tahu mau gimana lagi kalau Lo udah gak bantu gue sekarang."

Kami mengurai pelukan satu sama lain dan saling memandang.

"Lo sahabat gue, Fir. Dengar Lo curhat kemarin, rasanya gue gak sabar mau ikut bantu dan kebetulan banget bisa dapat jalan keluar kayak gini. Mudah-mudahan ini bisa jadi jalan buat Lo ketemu penyelesaian masalah yang seharusnya gak ganggu lol lagi."

Aku mengangguk. "Iya, gue akan melpaskan semua, termasuk Mas Fadil."

Bukannya menceritakan aib pernikahan. Tapi aku harus jujur saat nanti bertemu orang pintar itu. Masalahku ini juga sudah dibaca oleh Gina yang tak setuju ketika aku memutuskan menikah dengan Mas Fadil. Dia bilang, pernah mendengar Mas Fadil menera telepon dan berkata akan segera membawa calon istri ke kampung, padahal Mas Fadil cerita kepadaku dia bukan orang yang banyak teman dan tidak ada keluarga di kampung.

Aku memang dibutakan cinta, dan sekarang malah tertipu.

"Lo pasti bisa jalanin ini semua. Lo udah di jalan yang benar. Ayo sekarang kita ke sana dulu, gue udah ada bikin janji tadi. Lo harus tenang karena Pak Kusumo, cukup keras juga wataknya." Gina mewanti-wanti, aku mengangguk pasti.

Kami menyusuri jalan dan melenggang masuk ke dalam gang sempit tempat Pak Kusumo sedang menunggu kedatangan kami.

Sepertinya aku merasa sanga positif, sebentar lagi akan mendapat jalan terang.

Kaki melangkah cukup jauh, dan Gina menarikku ke sebuah rumah yang ada di sisi kanan jalanan. Rumah ini terlihat bagus, berpagar tak rerlalu tinggi dengan pohon rimbun di dalam halamannya.

Seorang pria kurus dengan kaus oblong membukakan pagar seakan tahu ada tamu. Dia mengaku sebagai seorang pembantu di rumah Pak Kusumo.

"Lewat sini, Neng." Pria itu menunjukka jalan, sehingga aku dan Gina harus mundur lagi.

Gina menatap orang itu heran karena dia tak biasa pergi ke sana.

"Sepertinya ini beda. Tempat prakteknya beda, Fir. Tapi Lo tenang aja."

Aku bukan merasa tenang mendengarnya, malah jadi takut.

Ketika kami sampai di sebuah ruangan yang terpisah dari bangunan utama, pria itu membukanya dan kami masuk.

Di dalam ruangan dengan wewangian bunga aku sampai, ada seorang laki-laki bertubuh tegap yang menatapku penuh senyuman.

"Kamu memang memiliki keistimewaan. Pantas kelompok itu tak mau melepasnya."