webnovel

Dosa Berzina

Bab 18

Bi Irah melihatku dengan pandangan heran. Pasti dia bertanya-tanya di dalam hati akan kehadiran Kristin di rumahku. Aku baru ingat kalau Bi Irah juga belum tahu jika aku dan Intan sudah berpisah walau masih sebatas agama. Aku belum sempat mengurus perceraian kami ke pengadilan agama.

"Bi, tolong siapkan kamar untuk Kristin! Dia akan tinggal di sini sekarang," suruhku pada Bi Irah.

"Tinggal di sini, tapi Tuan bukannya ...." Ucapan Bisa Irah langsung kupotong sebelum dia menyebut nama Intan.

"Apa omongan saya kurang jelas, Bi?"

Bi Irah pasti kaget melihat mataku yang melotot, dia pun mengangguk lalu segera masuk ke kamar tamu untuk membersihkan ruangan itu.

"Itu pembantu kamu, kenapa dia seperti tidak suka dengan kedatanganku? Oh, aku tahu. Pasti dia berpihak pada Intan, kan?" tanya Kristin setelah kami duduk berdampingan di atas sofa di ruang tengah.

"Hubunganku dan Intan sudah berakhir, jadi aku minta kamu jangan menyebut namanya dia lagi di rumah ini!" jawabku tanpa melihatnya.

"Oh, ya! Kenapa kamu baru kasih tahu aku sekarang? Itu suatu berita yang bagus!" seru Kristin dengan senangnya.

Dia memelukku lebih erat lagi, Bi Irah yang baru saja masuk ke ruang tengah membawa makanan dan minuman tampak kaget melihatnya. Namun, siapa tetap melangkah mendekat tanpa melihat kami lagi.

Aku akan memberitahunya tentang hubunganku dengan Intan nanti, agar dia tidak salah paham. Bi Irah sudah selesai melwtakkan amkanan dan minuman di atas meja.

"Bi, nanti saya mau bicara," ucapku saat Bi Irah akan kembali ke dapur.

"Iya, Tuan. Saya ada di kamar kalau Tuan perlu sesuatu," jawab Bi Irah. Ekor matanya tertuju pada Kristin yang masih memelukku dengan eratnya. Namun, kemudian dia segera berlalu meninggalkan kami berdua.

Aku menyuruh Kristin untuk minum lalu mengajaknya untuk istirahat di kamar tamu. Sampai di dalam, seperti biasa, Kristin mengajakku untuk bercinta. Namun, ad perasaan tak enak hati menggelayuti pikiranku.

"Kamu, kan, masih capek. Sebaiknya istirahat saja dulu, aku juga mau mandi. Gerah!" tolakku.

Kristin tampak cemberut, tapi dia menuruti juga pada kata-kata ku. Segera saja kutinggalkan dia dan mencari Bi Irah di dapur.

Segera kuceritakan apa yang sudah wejadi diantara aku dan Intan. Tentu saja masalah bekas operasi itu tidak kuceritakan. Aku masih menjaga nama baik Intan, biarlah orang mengira kami berpisah karena masalah lain saja.

"Jadi, Bi Irah. Mulai sekarang, aku sudah bebas. Makanya Kristin kubawa ke sini untuk menggantikan posisi Intan," lanjut ku.

"Maaf, Tuan. Saya sudah tahu kalau sekarang, Tuan dan Nyonya Intan sudah berpisah. Sebelum pulang ke kampung, Nyonya Intan sudah bilang kalau dia nanti tidak kembali bersama Tuan, itu berarti kalian sudah berpisah. Tapi, Tuan apa tidak terlalu cepat membawa wanita lain ke rumah ini? Kalian belum menikah, kan. Dan lagi, bukannya Non Kristin itu beda agama dengan kita?"

"Iya, memang dia masih memeluk agama sendiri. Lalu, apa masalahnya?" tanyaku kemudian.

Bi Irah tampak terkekeh, lalu menggeleng kepalanya.

"Tuan itu sekolahnya sudah tinggi, pengetahuan banyak. Masa masalah begini saja tidak tahu. Kalau kalian belum nikah tapi sudah tinggal bersama, itu namanya kumpul kebo. Kumpul kebo itu sangat dekat dengan yang namanya zina dan perbuatan zina itu dosa tuan, kasihan Mama dan papa Tuan di alam sana. Pasti mereka menangis tersiksa melihat kelakuan Tuan setelah mereka tiada."

Deg!

Kata-kata Bi Irah serasa menohok diriku. Apa yang dikatakannya itu memang benar, aku juga tahu dan paham akan hal itu selama ini. Namun, cinta telah membutakan mata dan hatiku.

"Maaf, Tuan. Bi i bukan bermaksud menggurui ataupun menyinggung perasaan Tuan. Saya hanya mengatakan apa yang saya tahu," ujar si Bibi lagi karena melihat aku hanya berdiam diri saja sejak tadi.

"Hmm, tidak apa, Bi. Aku mau istirahat, permisi."

"Silakan, Tuan. Saya juga mau beres-beres di dapur."

****

Kata-kata Bi Irah masih terus membayangkan di kepalaku. Semua yang dikatakannya itu adlah benar. Aku dan Kristin belum menikah dan tak mungkin akan menikah karena dia tak mau memeluk agamaku.

Lalu bagaimana kami akan bersatu, apa selamanya aku akan berbuat zina, hal yang paling dilaknat oleh Allah SWT. Ah, aku jadi resah, suhu di dalam kamarku mendadak terasa gerah. Sudah pukul dua malam, tapi aku tak juga bisa memejamkan mata.

Aku mencoba untuk tidur, kupwjamkan mata dan mencoba membayangkan hal-hal menyenangkan yang pernah kualami. Akhirnya aku pun bisa terlelap tepat saat jam berdentang tiga kali, lalu aku tak ingat apa-apa lagi.

Keesokan harinya, aku terbangun seperti biasa. Pukul 5 pagi dan itu berarti aku hanya tidur selama dua jam saja. Setelah melaksanakan salat Subuh, aku masih merasa ngantuk hingga akhirnya aku memilih untuk tidur lagi.

Sampai akhirnya aku bangun kesiangan, aneh, kenapa tak ada yang membangunkan aku? tanyaku di dalam hati.

Aku pun melangkah keluar kamar dengan penasaran. Di ruang makan, aku hanya melihat Bisa Irah yang sedang menyusun sarapan seperti biasanya.

"Bi Irah! Kenapa aku gak dibangunkan?" tanyaku padanya.

Bi Irah yang sedang asyik bekerja tampak kaget dengan pertanyaan ku yang tiba-tiba.

"Eh, Tuan. Tadi Bibi sudah bangunin, tapi Tuan gak bangun juga. Bibi kira Tuan sudah pergi pagi-pagi sekali," jawab Bi Irah.

"Oh, begitu, memang tadi aku ngantuk sekali, Bi. Habis Subuh aku tidur lagi. Oh, ya, di aman Kristin?" tanyaku Bru ingat kalau kekasihku itu tak kelihatan sejak tadi.

"Non Kristin tadi pamit ke rumah temannya. Dia bilang sudah pamit sama tuan di ponsel," jawab Bi Irah lagi.

Pamit di ponsel, aku baru ingat kalau lupa mengecas ponselku tadi malam. Langsung saja kuambil ponsel di tasku, mati. Aku pun mengecas ponselku, lalu sarapan pagi.

Setelah selesai, aku mencoba menghubungi Kristin memakai telepon rumah. Tersambung tapi tidak diangkat. Mungkin dia sedang sibuk atau sedang di ajaknya jadi tak mendengar panggilanku.

Aku pun pergi ke kantor dengan perasan masgul. Aku menyetir sambil memikirkan masa depanku selanjutnya. Sampai di pertigaan jalan menuju ke pasar, aku sekilas melihat sosok Intan sedang berjalan memasuki pasar.

"Intan? Apa benar itu dia. Coba aku kejar," pikirku

Aku pun memarkirkan mobil di tepi jalan lalu berusaha menyeberangi jalanan yang cukup ramai. Sampai di depan pasaran, aku celingukan mencari sosok yang kusangka Intan tadi. Namun, tak kutemukan juga, kucoba masuk ke dalam pasar, tapi segera kuurungkan melihat padatnya pengunjung di selama sana.

Aku pun kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan kembali.

Bersambung.