Mendengar suara Hilmi yang semakin keras, Nadira pun mengedipkan mata dan langsung tersadar dari lamunannya.
Di tengah situasi ini, Nadira merasa sangat malu. Bagaimana bisa dia melihat Hilmi dengan pandangan seperti itu. Dalam sekejap, jiwa berwibawa yang selalu menghiasinya, kini telah luntur hanya karena tatapan yang tak bisa dia kendalikan.
"Hm ... ya udah, Mbak. Saya pulang dulu, ya."
Dengan cepat Nadira menjawab, "Iya."
Saat Hilmi membuka pintu, Nadira masih terbayang akan kejadian tadi. Saat Hilmi sudah keluar dan hendak menutup pintu mobilnya, dia melihat Nadira hanya menatap jendela mobilnya. Ya, Nadira masih merasa malu untuk melihat wajah Hilmi lagi.
"Saya tutup pintunya ya, Mbak. Sekali lagi terima kasih ... Assalamu'alaikum," ucap Hilmi sopan.
Nadira melihat ke arah Hilmi. "Ya, wa'alaikum salam," jawab Nadira yang langsung kembali memalingkan pandangannya dari Hilmi.
Hilmi pun menutup pintu mobilnya.
Saat Nadira melihat Hilmi sudah melangkah jauh dari tempatnya berada, dia pun langsung menghembuskan napas leganya. Memegang kepalanya dengan kedua tangan, dan menyandarkan sikutnya ke setir mobil.
"Nadira, ya ampun ...," lirihnya menyesali perbuatan tadi yang sampai kini masih membuatnya malu.
***
"Mas ...." Hilmi memanggil Ayman yang tengah memasukkan bahan-bahan donat racikannya.
Ayman menghentikan pekerjaannya. Memandang Hilmi dengan mata yang tak berkedip dan bibir yang tertutup rapat.
"Ya ampun, Mi ... kita beda satu tahun doang. Ngga usah panggil mas, panggil Ayman aja ...," ucap Ayman santai.
Ayman menyambung perkataanya, "Kalo mau sih ... Ayman ganteng, hehe ...." Gigi Ayman terlihat jelas.
Hilmi hanya bisa tersenyum melihat kelakuan Ayman. "Iya ... Ayman ganteng," ledek Hilmi.
Ayman tersipu malu, lalu memasukkan beberapa bahan-bahan ke dalam mixer adonan.
Namun, sesaat setelahnya, Hilmi mulai tersadar, dari mana Ayman tahu kalau jarak umurnya hanya beda satu tahun dengan Hilmi?
Karena penasaran, Hilmi pun langsung bertanya, "Hm, tapi ... kok kamu tau, Man?" Hilmi mengernyitkan keningnya.
Ayman tertawa kecil. "Jadi waktu itu ... pas Nadira periksa CV kamu, saya ikutan ngintip."
Hilmi membulatkan bibirnya.
"Lah ... tadi kamu manggil saya ada apa, Mi?" tanya Ayman sambil memasukkan terigu sedikit demi sedikit ke dalam mixer yang sedang berputar.
"Itu ... tadi Mbak Nadira pesen donat lima."
Mendengar ucapan Hilmi, Ayman mengangguk pelan-pelan. "Oke, Kawan."
"Aduh!" teriak Tata dari belakang, membuat pundak Hilmi dan Ayman terlonjak sedikit dan langsung melirik ke arahnya.
"Tata!" Ayman dan Hilmi panik.
Mereka berdua langsung menghampiri Tata yang tangannya sudah ketumpahan minyak panas.
Ayman menuntun Tata untuk segera mencari bantuan medis ke atas. Sementara Hilmi, disuruh Ayman untuk membereskan tumpahan minyak panas yang tumpah dari kuali tadi.
Ketika Ayman dan Tata sampai di bawah tangga, datang Nadira yang sedang mengarah ke bawah.
"Man, donat saya udah jadi?" tegur Nadira.
Belum sempat mempersilakan Ayman untuk menjawab, Nadira yang melihat kondisi Tata yang tangannya merah dan penuh minyak pun kaget.
"Loh! Tata kenapa?"
"Kena tumpahan minyak panas, Nad. Maaf juga itu donatnya ...." Belum sempat Ayman menjelaskan, Nadira yang panik pun memotongnya.
"Duh! Udah, gak usah mikirin donat. Cepetan bawa Tata gih sana ... kasian banget, mana masih muda," ucap Nadira dengan nada tingginya.
Mendengar ledekan atasannya itu, Tata pun membuka mulutnya, "Yeh ... Mbak Nadira, disaat-saat darurat ini masih saja meledek pangeran tampan sepertiku ...," ucap Tata yang makin ngaco.
Ayman yang tadinya panik, kini merasa kesal dengan kelakuan dua orang itu. Dia pun menempeleng kepala Tata dan langsung menariknya ke atas tangga. Nadira hanya bisa tertawa mengumpat.
"Aduh, duh! Pelan-pelan, Mas Ayman! Sakit tau, aduh ...," jerit Tata.
"Bodo."
Nadira tak mampu menahan tawanya lagi dan akhirnya tawa itupun terlepas.
Sementara itu, Hilmi yang sedang berada di dapur masih berdiri di tengah lautan minyak, terdiam sambil berpikir. Dia bingung bagaimana caranya membersihkan semua ini.
Hingga akhirnya datang Rara yang sedari tadi sudah mendengar kegaduhan di dapur, namun belum sempat memeriksanya karena pelanggan yang terus-menerus berdatangan.
"Loh, Kak Hilmi ... kenapa ini?" tanya Rara yang kaget melihat keadaan dapur yang penuh dengan minyak.
Setelah Hilmi menjelaskan semuanya, Rara pun khawatir dengan Tata. "Sekarang Tata di mana?" tanya Rara dengan panik.
"Dibawa Ayman ke atas buat diobatin."
"Terus Kak Hilmi ngapain di sini?"
"Saya ... disuruh Ayman buat bersihin dapurnya ...."
"Terus ngapain Kak Hilmi diem aja?" tanya Rara dengan kritis.
Hilmi yang masih kebingungan pun berkata dengan sejujur-jujurnya. "Bingung bersihinnya gimana. Mana masih panas juga ini minyaknya."
Hal itu pun membuat Rara ikutan bingung. Jadilah, keduanya bingung. Mereka berdua pun melihat keadaan lantai dapur sambil berpikir bagaimana cara menyelesaikan masalah ini.
Karena kelamaan mikir, Nadira pun datang.
Hilmi dan Rara yang melihat kehadiran Nadira pun hanya terdiam dan masih dalam raut wajah yang kebingungan.
"Ngapain kalian?" tanya Nadira yang ikutan bingung melihat mereka berdua bingung.
Duh, author juga ikutan bingung.
Hilmi dan Rara yang bingung ingin melakukan sesuatu pun menjadi kosong otaknya ketika ditanya Nadira. Hanya diam memandangi Nadira dengan penuh penghayatan.
Atasannya yang dipandang terus-menerus itu pun merasa sedikit canggung dan risih. Akhirnya, Nadira mengambil langkah macannya.
"Heh!" gertakan Nadira akhirnya mampu menyadarkan kembali sel-sel yang sempat bengong di dalam tubuh Hilmi dan Rara.
"Rara, balik sana ke kasir! Siapa yang jagain kalo kamu di sini terus?" perintah Nadira.
"T–tapi, Mbak ... Rara mau bantuin Kak Hilmi buat beresin dapur." Rara beralasan sambil menunjuk lantai dapur itu.
"Udah ... biar Hilmi sama Ratih aja yang bersihin."
"Oh ... siap, Mbak!" Rara pun langsung ngacir ke luar dapur.
Setelah Rara benar-benar menghilang dari pandangan Hilmi dan Nadira, suasana seketika hening kembali.
Nadira yang masih malu karena kejadian semalam hanya menyuruh Hilmi untuk mencari Ratih—Office Girl yang jatuh cinta pada Hilmi saat pertama kali Hilmi bekerja di sini.
Dengan segera, Hilmi pun mencari Ratih.
Tak lama semenjak kepergian Hilmi dari ruangan itu, gawai Nadira tiba-tiba berdering.
"Pak Bos?" ucap Nadira bermonolog. "Halo ... kenapa, Bos?"
"Kamu di mana? saya ke ruangan kamu, tapi kamu gak ada ...," ucap pak Bos dengan nada sedikit tinggi.
"Hehe, lagi di dapur. Biasa ... laper, pengen makan donat."
"Donat mulu! Tukang donat makanin donat. Udah cepet ke ruangan saya."
"Tapi, Bos ...."
Tuttt
Seperti biasa, dan memang sudah menjadi kebiasaan pak Bos. Menutup Panggilan secara tiba-tiba tanpa persetujuan pendengar.
"Ck! Gak asik, belum juga makan donat. Huuu ...," keluh Nadira sambil meledek bosnya itu.
(Dasar ... bawahan yang tidack sopan)
Nadira pun mau tidak mau langsung menuju ke ruangan bosnya itu.
Ketika sampai di ruangan pak Bos, betapa senangnya ketika dia melihat sepiring donat di meja antik milik atasannya.
"Kenapa, Bos?" Nadira duduk sambil memandangi donat yang terlihat enak itu.
Bentuknya yang gembul, warnanya yang coklat keemasan, disiram dengan topping coklat batangan dan meses coklat di atasnya. Semuanya tampak begitu sempurna di mata Nadira.
Melihat Nadira yang terus-menerus memandangi donat itu dengan penuh penghayatan, bosnya pun menjadi kasihan.
"Kamu mau, Nad?" tanya pak Bos yang sontak disambut kebahagiaan oleh Nadira.
"Hehe ... boleh, nih?" tanya Nadira kepada pak Bos yang sudah seperti ayahnya itu.
"Ambil ...."
"Asik ...." Nadira pun mengambil sepotong donat dan memakannya.
Wanita yang elegan dan berwibawa itu seketika terlihat seperti anak kecil yang belum dikasih makan sebulan. Dia tampak sangat menikmati donatnya.
Nadira yang masih sibuk dengan makanan kesukaannya itu pun teringat tujuannya untuk datang ke sini.
Dengan tangan dan mulut yang masih sibuk dengan donatnya, Nadira pun bertanya, "Oh, iya! Pak Bos ... manggil ... saya ke sini ... mau ngapain?"