webnovel

worst decisions

Tiba di sekolah, suasana tampak sangat berbeda. Banyak stan tiap klub berjajar dengan ciri khas masing-masing. Tampak, Fitri dengan Klub Memasaknya, Erik dengan Klub Musiknya, dan Willy dengan Klub Basketnya. Edward sama sekali tak tertarik dengan semua itu, ia hanya pergi ke kantin untuk sekedar duduk dan mendengarkan musik.

Ternyata tak hanya dia saja. Banyak siswa lain yang bermalas-malasan di kantin dengan alasan yang sama seperti Edward. Mereka kesal karena sekolah terlalu memaksa tiap murid mengikuti ekstrakurikuler. Bahkan, banyak anggota ekskul yang mengampiri anak-anak di kantin untuk membujuk mereka.

"Kak, ayo, dong, ikut ekskul kami. Kita banyak keluar kota, lho!" ujar seorang siswa dengan setelan khas anak pendaki gunung.

Beruntung, belum ada seorang pun yang menghampiri Edward karena dia duduk di pojok. Tiba-tiba Willy menampakan wajahnya memakai kaos tim basket di depan muka Edward yang sontak membuatnya kaget.

"Ed, please, bantu aku. Urgent!"

"Kenapa?" Ed mendongak.

Willy menarik tangan Edward dan membawanya ke ruang ganti klub Basket. Ia memohon pada Ed untuk bisa mempromosikan klub nya. Karena sejauh ini, belum ada seorang pendaftar pun yang bergabung.

"Ayolah Ed, tolong aku, please. Nanti kamu nggak latihan juga nggak apa-apa, kok. Ini mah buat mancing aja, mancing. Kamu tau kan, mancing?"

Hal yang Edward takutkan akhirnya terjadi. Willy pasti akan memanfaatkan situasi untuk menggaet Edward pada klub basket. Pikirannya berkecamuk antara 'tolong saja' atau 'abaikan'. Hingga pada titik akhir kepala Edward mengangguk tanpa ragu.

"Mau? Oke cakep. Nih," Willy memberikan kaos tim dan memintanya cepat bergegas ke stan.

"I think, this is my worst decisions," batinnya berdesah.

Kepala Edward berdengung kencang. Ia merasa sedang bermimpi. Dirinya tiba-tiba berada di sebuah ruang putih bersinar dan dia bisa melihat dirinya tengah berganti pakaian.

"Alvin, ini bukan waktu yang tepat, aku mohon," pinta Edward.

Alvin tak mendengarkannya. Ia mengambil kendali tubuh Edward seraya berjalan untuk mengganti pakaiannya. Seraya bercermin merapikan rambut dan memasang bando untuk menahan keringat, ia menarik nafas dalam-dalam.

"Percaya sama gue, Edison," tegas Alvin.

Edward hanya bisa pasrah sembari merebahkan dirinya di atas ruangan putih tanpa batas itu. Ia hanya bisa menyimak apa yang Alvin lakukan, pikirkan. Emosi mereka terikat, Edward bisa merasakan gelora semangat Alvin sangat membara untuk basket ini.

"Nah, gitu, dong. Beri aku ruang, jangan di kurung terus. Kan, kamu cuma numpang di sini," ujar Alvin seraya menyemprotkan parfum dari ransel Edward.

Nasi telah menjadi bubur, ia tak bisa menarik kembali kata-katanya. Setelah siap, Alvin bergegas menuju stan di pinggir lapangan.

Orang-orang berdecak kagum melihat Edward berjalan dengan penuh percaya diri. Semua mata tertuju padanya seperti menemukan pemandangan indah di depan mata. Siswa yang kerap mengejek Edward pun tak percaya bahwa itu adalah dia. Wajah tampan yang biasa tertutup hari itu terbuka lebar bersamaan dengan postur proporsional dan badan jangkung yang ia miliki. Edward berjalan dengan tenang menuju stan Basket.

"Wih, cakep banget lu, Ed!" puji Listi.

Ed hanya tersenyum lugas dan mengangguk padanya.

"Nah gitu dong, kan, jadi banyak yang antri, tuh," celoteh Willy.

Ternyata, rencana Willy berjalan lancar. Banyak siswi bahkan siswa yang bergabung dengan klub Basket. Padahal, Edward tak berbicara sama sekali di stan. Edward yang terjebak di kepalanya kewalahan menghadapi situasi yang sangat bertentangan dengan dirinya ini. Sementara para pendaftar terlihat bersemangat untuk berlatih dengan 'Edward 16.'

Edward mengerling saat sadar jika setelan yang ia kenakan itu bertuliskan namanya lengkap dengan nomor 16, tanggal lahirnya. Dia hanya menarik nafas dalam seraya menatap Willy kesal.

Willy nampak sangat bahagia melihat daftar anggota baru klub nya. Sampai-sampai ia mencium daftar itu.

"Laris manis!" ucap Willy.

"Sialan lu, Wil," gerutu Ed dalam batinnya.

"Santai, ini bagian gue," sahut Alvin dalam benak mereka.

Klub basket ramai keras hingga melebihi kuota penerimaan dan untuk pertama kalinya, Edward tersenyum membuka mata di tengah kerumunan.

Meskipun kesal, ia senang bisa membantu Willy demi tim Basket karena Edward bisa merasakan banyak energi positif para pendaftar di sekitarnya. Dan di hari itu, tumbuh rasa tanggung jawabnya dan memutuskan untuk bergabung dengan mereka.

Willy meminta semua anggota untuk mengikutinya menuju ruangan klub di lantai dua gedung khusus klub. Semua anggota terlihat kagum dengan dekorasi ruangan yang di luar perkiraan. Mereka berpikir ruangan itu akan sumpek, bau dan tidak terawat. Nyatanya, ruangan itu wangi, bersih, juga tertata rapih.

Setelah semua pendaftar berkumpul di ruang klub, mereka saling bergantian memperkenalkan diri dan bergurau untuk mendekatkan diri satu sama lain.

Edward terlihat sangat percaya diri dan tak merasa gemetar meskipun ini kali pertama baginya. Willy tampak sangat gembira karena klub nya hidup kembali.

"Hai semua, namaku Edison Angelo Prince Wardiana, panggil aja Edward dari kelas XI IPS 1, salam kenal!"

"Salam kenal, Edward!" sahut semua orang.

*****

Hari mulai petang dan acara telah lama selesai. Willy berencana pergi dengan teman-teman lainnya untuk makan bersama di luar sekolah. Ini sudah menjadi tradisi bagi klub.

"Ed, gabung, yuk! Kita mau makan buat merayakan kedatangan anak baru, entar ada banyak alumni juga!"

"Nggak, Wil, sorry. Aku tunggu di sini aja, kalian nggak akan lama, kan?"

"Bentar doang, kok. Yakin nggak mau ikut?"

Edward menggelengkan kepala.

Edward tak berniat ikut dan lebih memilih menunggu mereka, mengingat dia memegang kunci klub dan anak-anak belum sempat berganti pakaian.

"Kok, kamu tolak, Vin?"

"Capek. Gantian lagi, yuk," pinta Alvin.

Saat Alvin keluar, ia akan mengeluarkan banyak energi untuk mengendalikan tubuh yang jarang ia kendalikan itu. Empat tahun yang lalu, Edward bertemu Alvin dan memintanya selalu ada di sisinya karena sebuah tragedi yang mengerikan. Alvin setuju. Ia juga menegaskan jika Alvin adalah Edward yang sesunggunya, bukan pria muda yang pendiam, lugu, polos, dan naif.

Kepala Edward kembali berdengung. Ia kembali pada dirinya lagi.

Untuk hari ini, tidak ada kegiatan belajar mengajar karena di khususkan untuk acara demonstrasi. Edward kembali ke ruang ganti klub Basket untuk mengganti setelannya seraya menunggu mereka kembali.

Ed bergegas mengenakan seragamnya kembali yang kini di balut dengan jaket varsity berlengan coklat.

"Itu jaket siapa? Kan, sering aku ingatkan jangan berpenampilan mencolok," cerocos Alvin.

"Diam, di sini dingin," timbal Edward.

*****

"Oke! Untuk merayakan bangkitnya Klub Basket kita, bersulang!"

Tring!

Willy membawa adik dan kakak kelas anggota lama Klub nya ke sebuah atap gedung tua untuk mabuk-mabuk merayakan acara tahunan setiap hari demonstrasi. Dia tampak teler terbakar api bahagia dan ambisi yang membara. Tanpa di sangka, seorang alumni menanyakan keberadaan orang yang membuat klub mereka ramai kembali.

"Temanmu yang buat klub kita rame mana? Kok, nggak di ajak?" tanya salah seorang alumni klub.

"Dia di sekolah. Introvert, Bang. Susah."

"Payah banget, kamu. Lain kali ajak, lah, kasihan. Kita have fun di sini!"

"Beres, Bang!" jawabnya dengan setengah sadar.

Hari mulai malam, Edward masih menunggu.

"Willy mana, sih. Aku di suruh tunggu gini aja, sendirian lagi," batin Ed.

"Sabar, berandal kayak dia mana pernah tepat waktu," balas Alvin dalam benaknya.

*******

Selang beberapa menit, Willy kembali sempoyongan. Ia bergegas menuju loker seraya membuka bajunya. Edward tak menghiraukannya karena tengah menonton siaran langsung Emily. Willy menengok dan terkejut melihat Ed yang dingin itu diam-diam suka menonton Emily si primadona sekolah.

"Wahh, kamu nonton live nya primadona kita? Mana aku lihat."

Willy menyosor mendekati Edward.

"Kau mabuk, Wil?"

"Nggak, lah. Siang bolong gini," jawabnya linglung.

Willy mengelak, padahal jelas tubuhnya bau alkohol. Edward terheran, ia tak tahu jika maksud makan-makan yang di katakan Willy adalah mabuk-mabuk.

"Kan, perkiraanku benar," gerutu Alvin.

"Ini udah malem, aku udah tunggu kalian di sini sampai malam, malah pada minum-minum? Anak-anak lain mana?"

"Basecamp luar sekolah. Mereka udah balik, pada bawa baju ganti di tas."

Rahang Ed mengeras mendengar perkataan Willy. Jika memang demikian, ia tak perlu susah-susah menunggu mereka kembali hingga malam. Willy menegaskan di acara selanjutnya Edward harus hadir karena para alumni ingin bertemu dengannya.

Ed menghela nafas, menyesali dirinya sendiri karena menunggu lama sendirian di tempat yang menyeramkan.

"Badanmu bagus juga, euy. Bisa, nih, buat modal tidur sama banyak cewek," goda Willy.

Edward terlihat risi dengan pujian Willy yang tengah mabuk. Ia tak pernah mendengar pria mana pun memuji dirinya. Suasana seketika hening karena fokus mereka berpindah pada Emily yang tengah mengulas restoran yang baru saja buka.

Willy hanya diam lalu menepuk pundak Edward. "Thanks, ya, Ed. Berkat kamu akhirnya klub nggak sepi lagi."

Edward mengangguk tanpa membalas tatapan tulus Willy.

*****

"Di mana posisi anak elang? Seseorang melapor dia mulai bercengkrama dengan orang lain."

"Beliau masih berada di sekolah, Hiena," jawab seorang pria di sebuah kafe.

"Terus pantau dan amati siapa mereka."

"Baik. Untuk anak Hiena, beliau sudah kembali ke markas," pungkasnya.

*****