webnovel

big liar

"Macan, apa yang terjadi?" tanya seorang pria berjas dengan nafas yang tak beraturan.

Lantai apartemen itu di penuhi darah segar dari perut Macan. Ia mengerang tak kuasa menahan rasa sakit.

"Anak Elang! Dia mulai berontak. Kabari semua anggota! Akan ada salah paham besar!" titah Macan dengan batuk darah setengah sadar.

Para mata-mata Kartel mulai membuat rencana untuk memantau anak Elang lebih seksama.

*****

Keesokan harinya, sekolah di hebohkan dengan berita kematian Erik dan Abdul. Semua orang histeris dengan hal gila ini.

Edward menangis tersedu-sedu, begitu pun Fitri. Aldi tak percaya jika keadaan menjadi serumit ini. Rama sendiri sama sekali tak menanamkan rasa curiga pada Edward, mengingat dia terlalu naif untuk bertindak sejauh itu.

"Dalam rekaman CCTV, tersangka bertemu dengan korban inisial A. Mereka tampak mengobrol dan pergi ke arah toilet. Beberapa menit kemudian, tersangka kembali sendiri hingga satpam menemukan mayat A pukul 06.16 pagi," lapor sang wartawan.

Polisi menyebutkan dia adalah tersangka. Aldi mengira jika itu adalah Rama. Dia berbisik pada Edward jika gelagat Rama aneh, terlihat gelisah. Edward hanya diam dengan tatapan kosong, bersembunyi dari dari jati dirinya.

Ponsel Aldi berdering. "Nak, kita harus pergi ke luar kota untuk beberapa minggu. Kondisi kita nggak aman saat ini. kamu pulang secepatnya, ya. Kita harus bergegas."

"Baik, Ayah," jawab Aldi.

Edward mendengar percakapan Aldi dan ayahnya di telepon, ia hanya menyeringai.

Rama dan Edward saling menatap dari jauh, menanam rasa curiga satu sama lain.

*****

Malam tiba, Aldi dan ayahnya akan naik pesawat tengah malam. Mereka tengah bersiap di rumah mengemasi barang dan mengunci brankas dokumen penting. Pikiran picik Edward mencari ide untuk membuat alasan kedatangannya. Edward menelepon Aldi dengan dalih ingin menemuinya untuk berpamitan.

"Kita udah terlambat, Nak. Nanti kau video call saja Edward," kata Pak Yudi.

Aldi sama sekali tak menanamkan rasa curiga pada gerak-gerik Edward. Dia sepenuhnya meminta maaf karena waktunya tidak pas.

Mereka tak sadar jika Ed sudah di depan rumah saat menelepon. Dia menyelinap lewat jendela dan berhasil masuk ke rumah. Ed melihat Aldi sedang berkemas. Dia membekam dan menyuntikan obat tidur padanya.

"You're the good ones, Aldi. Get some sleep," gumam Edward.

Hati nurani Ed masih sadar, Aldi adalah orang jujur yang memberi petunjuk selama ini dan dia tak akan menyakitinya. Edward terpaksa meninjunya agar dia tak sadarkan diri. Sebelum Aldi pingsan, ia sempat menatap Edward dengan penuh rasa kasihan pada sosoknya saat itu.

Setelah Aldi tertidur, dia menghajar pak Yudi dan menusuknya dengan empat tusukan pisau dapur di dadanya hingga membuatnya kehilangan banyak darah. Sadar ini adalah saat terakhir bagi polisi itu, Ed membuka maskernya.

"Terima kasih atas kebijaksanaan yang anda tutupi selama lima tahun ini. Semoga anda tenang sebagaimana uang membungkam perut buncit anda, bapak Kapolsek."

"Maafkan saya, Edison...,"

Darah membanjiri ranjang berkain putih di redupnya lampu kamar. Edward merasa benar-benar hidup dan ini adalah hal yang benar.

Huft.

Untuk memanipulasi polisi, Edward menyuntikan Morfin pada tubuhnya. Dia akan bermain layaknya Rama yang selalu rapih dan terlihat suci. Untuk menghapus jejak, ia membakar bajunya dan bergegas pulang. Edward merasa lega karena iblis-iblis penyebab kehancuran hidupnya dan orang-orang di sekitarnya telah lenyap.

"Hahahaha...,"

Ed tertawa lepas seperti orang gila dalam dinginnya malam. Ia tidak sadar jika dirinya adalah iblis yang sebenarnya.

*****

Suasana hati Ed tiba-tiba begitu baik. Ia pergi ke tempat Idrus untuk bersenang-senang.

Dum Tak Dum Jep Ajep Ajep!

"Edward! Sini, bro!" sapa pria besar di balik meja bar.

"Halo, Bang. Gila, rame banget."

"Iya, nih. Mau pesan apa?"

"Biasa."

"Oke. By the way, kamu keliatan seneng banget, beda banget pas datang pertama kali sama ... ah, anjir, aku nggak pernah percaya kalo mereka udah nggak ada," ucapnya sedih.

"Iya, Bang. Aku lagi senang makannya datang ke sini, soalnya mereka suka di sini."

"Kau gila, ya! Jangan buat takut dong! Idrus merinding mendengar leluconnya.

"Serius, Bang. Mereka ada di ingatanku, forever and always."

Idrus mengerutkan wajahnya. "Ya udah, silahkan minumannya, Tuan."

Ed meneguk minumannya. "Bang, ada rokok yang waktu itu Willy berikan padaku nggak, di sini?"

"Ada. Tapi, kau balik nyetir, kan?"

"Chill, aku mau ke hotel aja, di rumah suram banget. Entar tolong antar aku, ya!"

"Gila, nih, anak! Nggak apa-apa, deh, tajir. Kasih uang tip kayak kasih gaji bulanan," batin Idrus.

"Oke!"

Beberapa saat kemudian, Ed hilang kendali. Ia nyaris mencumbu pria di depannya. Hampir saja mereka berkelahi jika Idrus tak melerai mereka.

"Ed, udah Ed, itu laki! Kamu doyan laki?" Edward menggeleng-gelengkan kepala berjalan sempoyongan ke toilet.

Ada seorang gadis mungil tengah menangis. Ia tampak berantakan, tapi tak terlihat mabuk.

Edward mencoba sadar di mode terbangnya. "Hei, kamu kenapa nangis? Di putusin pacar?"

"Hai. Iya, nih."

"Kamu datang sama siapa?"

"Paca ... mantan pacar. Tadi dia putusin aku," jawabnya sayu.

Ed meraba rambutnya. "Masa gadis cantik seperti ini di putusin begitu aja, sih? By the way, nama kamu siapa?"

"Airin," jawabnya dengan tersipu malu.

Ed terlena pada tatapannya. Ia membawa gadis itu ke bilik toilet dan mereka bercumbu bersama.

"You're so tall and smell like a baby doll!"

Airin mendesah menikmati momen yang tak bisa ia lewatkan. Dia akan pernah menolak mendapati sosok pria muda yang sempurna sepertinya. Mereka hendak melakukan tahap selanjutnya-hingga Airin menahan.

"Kamu bawa pengaman, nggak?"

"Nggak, bakal aku keluarkan di luar, kok," jawab Edward polos.

Airin memakai kembali bajunya. Ia membawa Edward ke hotel dekat bar. Ia tampak teler namun terlihat bahagia, seperti tak ada beban di pikirannya.

Idrus melihat Airin membawanya. "Anjir, mantap, tuh, anak. No wonder, sih .. cakep, tajir, tapi bodoh."

*****

Di hotel, Ed makin liar. Dia terus mencumbu dan meraba Airin bagaikan menemukan harta karun. Airin memberinya pil. "Telan cepat! Aku nggak mau ini segra berakhir."

Edward melepas keperjakaannya pada gadis asing yang baru ia temui. Airin nampak lihai menuntun Ed melakukannya. Ia begitu jinak bagai anjing menurut pada majikannya.

Pukul 05.01 pagi, mereka selesai.

Ed masih teler. "Rin, tadi kita pake pengaman, kan? Aku nggak bisa tahan soalnya."

"Pake, kok. Tenang aja," jawabnya dengan suara yang masih terengah-engah.

"Airin ... aku nggak bisa bohong kalo ini kali pertama gue lakukan semuanya. Dan, aku senang banget, seakan-akan semua hal buruk pergi dari hidupku. Tapi ... aku malah lakukan hal yang paling buruk malamm ini." Edward tiba-tiba menangis sembari meracau.

"Apa itu? Kamu kenapa tiba-tiba nangis? Jangan buatku takut...,"

"Aku udah kirim orang pergi sebelum waktunya, Rin."

Airin terkejut. "Maksudmu?!"

"Aku merasa ini bukan diriku. Kepalaku terus memerintahku untuk melakukan hal yang buruk. Aku nggak bisa tahan itu. Tiap kutahan, pasti telingaku sakit," Edward terus meracau.

"Kamu sakit? Kamu kenapa, sih? Aku nggak paham. Udah, dong, jangan buat aku merasa bersalah," pinta Airin seraya mengelus-elus dada bidang Edward.

Edward tertidur pulas setelah meracau.

Malam itu berakhir sunyi karena sikap Ed yang seketika berubah. Airin pergi meninggalkan sebuah catatan.

Ed terbangun di siang hari, kepalanya masih terasa pengar. Dia terkejut karena bangun telanjang dan berada di kamar hotel dengan pakaian yang berserakan.

"Apa yang terjadi?"

Ia segera meraih ponselnya dan menelpon Idrus.

"Bang! Aku, kok, bangun-bangun begini! Kau benar mengantark, kan, semalam?!"

"Apaan sih, bukannya kau sendiri yang pergi sama cewek itu?"

"Cewek siapa?" Ed menutup teleponnya.

Ia bergegas mandi dan memakai kembali bajunya. Dompetnya terlihat berantakan dan terdapat secarik kertas di bawahnya.

'083213654**6, call me! btw, uangmu kubawa untuk ganti check-in hotel, ya. see you!

-Airin

"HOLY SHIT!" Ed mengumpati dirinya sendiri.

Dalam lift, ia memeriksa galeri fotonya dan terdapat banyak foto Airin berswafoto di ponselnya. Bahkan, ia memotret dirinya yang tengah Ed peluk erat di kamar tadi.

"WHAT THE FUCK?!"

*****

Hari-hari berlalu, setelah bertemu dengan Airin dan mereka ulang insiden kemarin dengan kesadaran penuh, Ed tetap merasa belum puas karena bukan dia tujuan kepuasannya, tapi 'mereka.'

Mengingat hal yang ia temukan di catatan Erik. Ed merasa ini saatnya untuk menyelesaikan semuanya dengan dalang yang sebenarnya. Ia akan memojokan seraya bertanya dengan dengan polos mengenai kejadian empat tahun lalu di Kalimantan.

Edward meminta om Wandi untuk datang ke sebuah Café.

"Om, aku mau tanya perihal ayah ... Dulu ayah memang punya penyakit jantung?"

"Iya, Ed. Bang Widyo dulu punya riwayat penyakit jantung. Kenapa, memang?"

"Tapi kenapa di tubuhnya ada Morfin, Om?" celetuk Edward.

"Morfin? Bukannya itu sejenis narkoba? Nggak, lah, nggak ada, Ed. Kamu tahu, kan, kasusnya dulu terpaksa di tutup tutup karena polisi nggak menemukan bukti yang kuat."

'Dasar bajingan! Kau yang memanipulasi kasusnya!'

"Terus waktu kejadian, om di mana?" Ed terus memancingnya.

"Saat itu, om di kantor cabang lain. Waktu itu ayah kamu yang suruh om kesana. Kenapa emang? Ada hal yang mengganggumu?"

'Bohong. Kau sedang memperkosa dan membunuh anak orang, keparat!'

Suasana mulai menegangkan saat Edward terus mengocek pertanyaan pada pamannya. Ia ingin segera mengakhiri semuanya dengan benda di dalam saku jaketnya.

*****

Empat tahun yang lalu, saat Widyo tengah berada di ujung tanduk. Ia merasa jika masalah yang datang di perusahaan dan bisnisnya berasal dari sumber yang sama, yakni adiknya. Rusdi, sang manager telah memata-matai Wandi yang sering bertransaksi narkoba pada bandar bawahan Widyo tanpa sepengetahuannya. Hal ini membuat Madam dan Elang gusar dan gelisah akan adanya kudeta, mengingat bisnis ini sangat menggiurkan dan menggelapkan akal sehat penikmatnya.

Melihat situasi kacau setelah Wandi berkhianat dengan membocorkan aib kakaknya yang korupsi, Madam dan Elang bekerja sama untuk menghabisinya. Ia menujuk orang yang paling dipercaya, Rusdi. Dengan bayaran yang fantastis, tak akan ada satu orang pun yang akan menolak tawaran itu, terlebih akan mendapat jabatan dan posisi yang layak di dua perusahaan.

Namun, Rusdi dan Wandi tak ada bedanya. Mereka adalah pria cabul yang sering gonta-ganti wanita untuk memuaskan nafsu birahinya. Dan, narkoba adalah senjata utama mereka selain uang dan barang mewah.

Wandi pernah mendapati Rusdi tengah berselingkuh dengan istrinya saat ia dinas di Jakarta. Perlu di ingat kembali, mata-mata kartel ada di mana pun dan kapan pun orang yang bersangkutan berada. Kabar itu membuat Wandi murka dan bertujuan untuk menghabisi Rusdi.

Memanfaatkan kejadian ini, Elang dan Madam akan mengadu domba mereka. Kedua pimpinan Kartel itu tampak menikmatinya hingga saat berita kematian anak sulung Rusdi mengacaukan segalanya.

Wandi berselingkuh dan mengencani anak sulung Rusdi selama berada di Kalimantan. Gadis itu tak pernah tahu jika pria muda itu sudah beristri dan beranak satu.

Karena terlanjur cinta, maka gadis itu memberikan segalanya pada Wandi. Hingga nyawanya pun dia renggut karena Rani membahas rencana Wandi untuk menghabisi ayahnya. Saat itu, mereka tengah bercinta dalam pengaruh alkohol hingga kehilangan kesadaran satu sama lain. Mendengar perkataan itu, Wandi mencekiknya hingga ia tak mengeluarkan suara dan hembusan nafas.

Wandi tak pernah sadar jika saat itu Rama berada di sana, menyaksikan semuanya. Rama menyaksikan bagaimana predator itu membunuh kakaknya dalam keadaan yang sangat memalukan. Rama menyaksikan kakaknya di seret dan di gantung di kamarnnya sendiri. Sungguh kejam, sungguh sadis, sungguh jahanam, sungguh tidak manusiawi.

Melihat kejadian itu, Rama tak kuasa menahan jeritannya hingga Wandi menghampiri dan membuatnya babak pelur hingga pingsan. Saat itu, ia lolos dan melarikan diri.

Keesokan harinya, Rusdi membuat laporan pada Kartel bahwa seorang penghianat telah memperkosa dan membunuh gadis sulungnya. Ia meminta pertanggung jawaban Kartel karena telah menyeret keluarganya dalam bahaya kudeta ini. Bersumpah dan bersimpuh darah, ia akan membalas dendam pada siapapun yang membunuh anaknya.

Mendengar kabar itu, Elang merasa kewalahan dan bersalah. Ia memohon maaf pada Rusdi atas nama pribadi dan nama organisasi. Madam geram dan murka. Dengan amarahnya ia langsung meminta Rusdi untuk membunuh Wandi, orang yang melakukan segalanya.

Rusdi bertemu dengan Wandi di danau bekas tambang. Dengan amarah dan kobaran api dalam diri mereka, Wandi menembak kaki kanan Rusdi.

"Kau tahu, kan, jika dirimu adalah pria paling bejad di dunia?"

"Berisik! Jau bunuh anak gadisku, keparat!"

"Hahaha ... terus apa bedanya sama gigolo beranak dua yang jadi kesayangan direktur di perusahaan dan jadi mata-mata di Kartel narkoba?"

Dengan mengerang menahan sakit, Rusdi mendekati Wandi yang kapan saja bisa dengan mudah membunuhnya.

"Aku nggak pernah ada urusan denganmu! Kau itu hanya benalu di hidup Widyo. Dia nggak pernah berharap punya adik sepertimu! Asal kau tahu aja!" ucapnya menyeringai.

"Aku tahu selama ini kita cuma jadi kambing hitam. Dan mulai saat ini, kau harus pergi lebih dulu!"

Dor!

Wandi menembak tepat di jantung Rusdi, membuatnya terpental dengan cipratan darah yang pekat. Dalam pertarungan domba terkuat ini, Wandi menang. Ia melempar jasad Rusdi ke dalam danau bekas tambang yang hijau pekat dengan tali dan batu besar untuk membuatnya tenggelam.

Untuk kedua kalinya, Wandi lolos.

*****

Emily tengah berada di perjalanan pulang setelah berkeliling kota. Saat di persimpangan daerah sepi pemukiman, tiba-tiba mobil Jessika di tabrak mobil yang oleng. Orang yang menabrak mereka terlihat teler saat keluar dan memaki mereka. Dengan terengah-engah ketakutan, Emily segera menelepon Edward.

"Bang! Tolong kita!"

"Kenapa?

"Ada orang mabuk tabrak mobil kita. Aku takut, Bang, orang itu marah-marah bawa pisau!"

"Astaga! Kalian tetap di sana, ya! Abang otw sana! share-loc sekarang, cepat!"

Ed kesal karena terpaksa harus pergi saat mencoba memancing paman sialannya itu untuk mengaku. Namun, dia ingat Emily dan ibunya adalah prioritasnya.

"Om, nanti lagi, aja, ya! Aku mau susul Emily, katanya ada yang tabrak mobil dia."

"Hah? Di mana? Ya sudah, ayo, om, ikut."

Mereka pergi bersama. Ed hanya bisa menelan ludah dan mengeraskan rahangnya saat bersama satu mobil dengan si berengsek itu.

"Hati-hati...," ucap Wandi yang merasa tak nyaman dengan sikap Edward saat menyetir. Ia bisa merasakan ketidaknyamanan pada mobil yang Edward kendarai.

Tiba di sana, rupanya orang mabuk itu Bayu. Dia terlihat kacau dan frustrasi setelah berpikir Amir kembali kritis karena Edward mendesaknya. Ed berusaha menenangkan Bayu. Namun, dia malah menyayat pipi Ed dengan pisau hingga berlumur darah.

Argh!

"Sakit, kan?"

"Maksudmu apa, Bayu?!"

"Kau memang bodoh Edward! Kau terlalu terobsesi menjadi pahlawan!"

"Jawab anjing, maksudmu apa?!

"Kau lihat kakiku! Kemarin malam kau sayat kakiku karena kau benci diriku! Kau bilang kalo Amir teler karenaku! Willy mati karenaku! Alisya bunuh diri karenaku! Kau datang malam-malam dengan menangis dan mengemis minta maaf padaku tapi ujungnya apa? Kau hampir membunuhku, psikopat sialan!" amuk Bayu meledak.

Edward terlihat kebingungan dan terdiam mencoba mencerna ocehan Bayu. Om Wandi hanya diam menyaksikan mereka berdebat alih-alih menenangkan Emily.

"Kamu teler, Bayu! Kamu nggak bisa mikir jernih."

Bayu teler tergeletak.

Ed membantunya masuk ke mobil dan mengirimi teman Bayu pesan untuk menjemputnya.

"Kalian nggak apa-apa, kan?"

"Nggak apa-apa, Bang. Cuman, ini mobil penyok."

"Tinggalkan saja. Nanti om panggil derek," ucap pamannya setelah membisu selama Edward berdebat.

"Bang, tadi siapa? Kenapa malah kamu yang di salahkan? Sebenernya ada apa? Apa yang kau lakukan padanya? Aku takut."

Tanpa berkata, Edward memeluk adiknya dengan menahan rasa sakit dipipinya. Melihat kejadian itu, Wandi bergegas membawa Ed ke rumah sakit.

*****