webnovel

Membela Gu Shen

Translator: Wave Literature Editor: Wave Literature

Beberapa orang lainnya masuk. Belum sempat Yan Xi melihat mereka dengan jelas, Luo Yun dan Yan Dong sudah menyambut mereka dengan senyuman.

Sepertinya status mereka lebih tinggi daripada mereka berdua.

Yan Xi cemberut, bersama Gu Er dia mendorong Gu Shen ke samping.

Yan Xi masih merasa tertekan saat mengingat lukisan itu.

Dia menyentuh bahu Gu Shen, lalu pria itu menatapnya.

"Apa lukisan itu asli? Kenapa memberikannya pada Yan Dong." Yan Xi memelankan suaranya, dia berbicara di telinga Gu Shen.

Udara panas saat dia berbicara menyeruak ke telinga Gu Shen, membuatnya geli.

"Karena sudah diberikan, tidak ada alasan untuk mengambilnya kembali."

Yan Xi menghela nafas berat. Dia tahu bos besar ini kaya, tapi dia tidak bisa menahan rasa tertekan di dadanya.

Itu karya asli Wu Daozi. Harganya tak ternilai. Dan itu diberikan pada si tua b*jingan, Yan Dong.

"Kenapa kamu tidak mendiskusikannya denganku dulu?"

Mata Gu Shen berubah, "Kamu yang memintaku memberikan ini."

"Aku…" Yan Xi tak bisa berkata-kata.

Pemilik asli tubuh ini sungguh gila! Dia mengira karya asli Wu Daozi ini bisa membuat Yan Dong senang sampai menyuruh Gu Shen memberikannya.

Dia bergumam dengan suara rendah, "Kalau begitu, lain kali, jangan dengarkan aku kalau aku meminta sesuatu yang mengeluarkan uang seperti ini."

Gu Shen dan Yan Xi tidak terlihat terlalu mencolok. Tapi mata orang-orang masih saja diam-diam tertuju pada mereka. Mereka saling berbisik satu sama lain, memperlakukan Gu Shen seperti sebuah lelucon.

Gu Shen sudah terbiasa dengan semua ini, tapi justru Yan Xi yang marah.

Apakah orang-orang ini punya masalah dengan otak mereka? Bukannya ini cuma kaki yang cacat? Untuk apa membicarakannya terus menerus seperti seekor katak yang tak pernah melihat dunia?

Ketika mereka melihat monyet, apakah mereka akan membicarakan bulu monyet itu tiga hari tiga malam tanpa henti?

Melihat kejadian itu, membuat dadanya dipenuhi kemarahan. Dia ingin sekali menjahit mulut orang-orang ini.

Melihat wajah Yan Xi, Gu Shen tahu dia sedang marah. Entah kata-kata jelek macam apa yang akan dia keluarkan lagi kali ini.

Sampah atau idiot?

Tidak disangka, Yan Xi tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya berdiri di depan Gu Shen, menghalangi tatapan semua orang.

Dia bergumam dengan kesal, "Lihat apa sih!"

Gu Shen menatap Yan Xi dengan tenang. Emosi yang tidak bisa dijelaskan muncul di matanya.

***

Gu Shen tidak lama menghadiri pesta itu. Saat telepon berdering, dia dan Gu Er pergi lebih dulu.

Sebelum pergi, dia menatap Yan Xi dan memperingatkannya.

"Sopir akan datang menjemputmu sebentar lagi. Ingatlah untuk meneleponnya jika terjadi sesuatu."

Yan Xi mengangguk patuh lalu bertanya, "Kalau begitu, bisakah aku meneleponmu?"

"Terserah."

Yan Xi sangat senang. Setelah mengantar Gu Shen pergi, dia membuka ponselnya, dan menyadari dia tak memiliki nomor ponsel Gu Shen.

Dengan sedih dia kembali ke aula dan melihat daging steak Wellington di meja buffet.

Kulitnya yang krispi dan dagingnya yang juicy.

Semuanya menggoda Yan Xi.

"Bantu aku mengambil steak Wellington."

Pelayan dengan cepat memotong steak, meletakkannya di piring perak, memberi saus dan menyerahkannya kepada Yan Xi.

Yan Xi mengucapkan terima kasih lalu mengambil roti panggang dan buah dari meja.

Entah itu di keluarga Yan atau pun di lingkaran sosial ini, Yan Xi bukanlah orang penting. Dan tak akan ada yang memperhatikannya jika dia meninggalkan meja. Toh dia disini juga tidak untuk mendengarkan sanjungan orang lain. Jadi dia membawa piringnya kemudian pergi ke kolam renang di halaman belakang.

Yan Xi meletakkan piringnya di meja kecil di dekat kolam, lalu duduk disebelahnya.

Suhu steak-nya sudah sangat pas, tapi Yan Xi memilih untuk memakan roti panggang di sebelahnya terlebih dahulu. Roti itu dilapisi dengan saus, dan aromanya yang kaya memenuhi mulutnya.

Yan Xi sedikit terkejut. Saat ingin menggigit roti lagi, tiba-tiba ada dorongan keras yang datang dari belakangnya.

Garpunya menusuk ke rahang atasnya. Seketika itu dia bisa merasakan darah mengucur di mulutnya.