webnovel

Do'a Gadis Kecil Diantara Duka dan Harapan

Ketika ayah dan ibu telah pergi, Nuriah sadar. Bahwa ialah satu-satunya tumpuan harapan bagi adik-adiknya. Dengan tertatih-tatih ia berjuang. Membahagiakan mereka. Mencurahkan semua perhatian dan kasih sayangnya. Meskipun hari- hari yang ia lewati penuh dengan untaian kisah sedih dan air mata. Suatu malam Nuriah menggores untaian harapannya dalam sebentuk puisi.. Do’a si Gadis Kecil diantara Duka dan Harapan Duka menyeruak Membaur dalam dentingan kehidupan Hampa dan sunyi, juga kelam Mana kasih sayang Tangan si gadis kecil menengadah Menatap langit gelap tanpa cahaya bintang Mana ayah, mana bunda Sang tumpuan kehidupan Hari-hari sendu membayang Air mata berlinang Sesenggukannya begitu memilukan Menatap sosok adik-adiknya Yang rindu akan cinta dan belaian Penuh kasih dipeluknya mereka Cita-cita luhur telah membulatkan hatinya Perlahan ia menyeka air matanya Tak ada resah, juga gundah Ia harus bangkit demi kehidupan mereka Matahari tersembul dari balik awan Menghapus mendung yang membahana Sang gadis kecilpun tersenyum senang Asanya menggema bersama serangkaian cita-citanya Adik-adikku sayang Hidup kita terus berjalan Bagai roda pedati ia berputar Janganlah bimbang, tepiskan ragu yang menghadang Mentari pasti akan kita genggam. Dan... seperti harapannya. Apa yang ia cita-citakan, semua mimpi yang ia bangun dalam angan benaknya mampu ia wujudkan. Namun kenyataan hidup tak seindah yang ia bayangkan. Disaat mereka telah hidup berkecukupan, kebahagiaan dalam kebersamaan mereka tiba-tiba memudar. Berganti dengan keserakahan, kebencian bahkan pengkhianatan. Kasih sayang yang mereka pupuk bersama sejak orang tua mereka hidup kini punah seketika. Nuriah tersudutkan. Nuriah menjadi korban fitnah dan kekejian manusia-manusia tak bermoral. Dan hanya air mata yang menemani kisah pilunya. Namun Nuriah tak pernah gentar untuk selalu menebar kebaikan. Dan selalu percaya bahwa Allah tak pernah menutup mata. Apa yang ia tabur itulah yang akan di tuainya. Sebuah prinsip yang selalu ia bangun dalam hatinya. Ketulusan dan cinta Nuriah ternyata lebih kokoh dari semua kepalsuan. Bahkan mampu untuk meruntuhkan segala kepongahan. Mendung yang menggelayut itupun akhirnya pudar seketika. Berganti dengan hari cerah. Kini mereka sadari. Kakak Nuriah adalah pengganti ayah dan ibu bagi semua. Tempat adik-adik pulang. Tempat mereka temukan kebahagiaan yang sesungguhnya.

azkia_azkana · Teen
Not enough ratings
29 Chs

Bab. 1 Nuriah, Si Kecil Yang Dewasa

Ditemani cahaya pelita Nuriah mengulang kembali pelajaran sekolahnya. Begitu konsentrasi sehingga suara jangkrik yang bersahutan di bawah jendela tak sedikitpun mengusiknya.

Hanya suara batuk sang ibu yang sesekali terdengar, membuatnya harus bolak balik ke kamar sebelah demi mengantarkan segelas air.

Ia juga memijat punggung ibunya dengan penuh kasih.

"lbu harus banyak istirahat", ia berpesan sembari menyelimuti ibunya dengan sarung. Sang Ibu hanya mengangguk.

" Bapakmu belum pulang, Nur..? ", ibu terlihat sedikit gelisah. Menatap jam dinding yang hampir menunjukkan pkl. 24.00.

" Sebentar lagi bapak pasti pulang. Nuriah tersenyum. berusaha menghilangkan kecemasan yang tersirat di wajah ibunya.

Selepas Isya Pak Kardi pamitan pada istrinya untuk memancing di sungai. Biasanya tengah malam atau hampir subuh baru kembali ke rumah.

Nuriah hampir tak pernah bisa membiarkan matanya terlelap sampai ia memastikan bapaknya pulang dalam keadaan yang baik-baik saja.

Dan ketika tiba, ia akan mengambil hasil tangkapan bapak, membersihkannya, melumuri dengan garam dan asam untuk digoreng esok paginya, baru kemudian ia tidur kembali dengan lelapnya.

Keempat orang adiknya baru saja terlelap. Selepas maghrib ia menemani adik-adiknyai mengaji. Setelah itu ia mengontrol pekerjaan rumah Yatno dan Zainy, lantas menemani Samy bermain sebentar dan kemudian menina bobokkan si Fany yang masih kecil.

Tanggung jawabnya sebagai seorang kakak begitu besar. Apalagi saat ini dimana sang ibu sering sakit-sakitan.

Nuriah hampir-hampir kehilangan masa bermainnya karena sepulang sekolah harus mengurusi rumah dan keempat orang adik-adiknya yang masih kecil.

Dia memang si kecil yang dewasa. Dan untung saja si Yatno sudah kelas 3 SD. Jadi sudah sedikit lebih mengerti ketimbang si Zainy yang baru kelas 1 SD.

Namun mereka berdua cukup banyak membantu pekerjaan di dalam rumah. Walaupun mungkin hanya sekedar mengupas bawang atau mengukur kelapa.

* * *

Minggu pagi ini begitu cerah. Matahari mulai menyembul dari balik rindangnya pohon Flamboyan yang tumbuh di halaman rumah.

Di musim penghujan ini, bunga-bunga Flamboyan mulai bermekaran. Warnanya yang merah cantik dengan kelopak sedikit oranye bermahkota tegak, membuat takjub setiap mata yang memandang.

Kicau burung-burung Pipit yang bertengger di atas dahan menyembulkan seuntai senyuman dari bibir manis Nuriah.

Di Gubug kecil itu sepagi ini sudah ramai oleh suara anak kecil.

Nampan yang berisi beberapa gelas teh hangat serta sepiring singkong goreng baru saja di hidangkan Nuriah untuk orang tua dan adik-adiknya.

Sambil tertawa-tawa Samy dan Fany mencomot sepotong singkong.

Fany dengan gigi kecilnya tak mau kalah dari abang Samy. Menggigit, lalu membuang potongan singkong di lantai papan.

Lantas mencomot kembali yang tersisa di piring sambil tertawa memperlihatkan gigi kelincinya.

Nuriah menggendongnya sebentar, mencium pipinya dengan lembut lantas membaringkannya di atas selembar tikar pandan yang tergelar di lantai papan rumah mereka.

Pak Kardi yang sedang mengasah parang di sudut rumah langsung menghentikan kegiatannya dan bergabung dengan istri dan anak-anaknya untuk menikmati sajian pagi mereka.

"Nur, jangan lupa kau bantu bapakmu di kebun belakang. Lihat sayuran apa yang bisa di petik untuk dimasak hari ini", pinta ibunya tiba-tiba.

" baik bu", Nuriah menjawab cepat.

Tak lama kemudian ia sudah siap dengan sebuah nyiru dan sebilah pisau. Yatno dan Zainy yang sudah tahu kakak mereka akan ke kebun langsung membuntuti Nuriah.

Bermain di kebun adalah hal yang paling mereka tunggu. Banyak buah-buahan segar yang bisa mereka nikmati disana.

Kebun Nuriah hanya berjarak beberapa meter dari belakang rumah. Kebun yang luasnya hanya setengah hektar itu digunakan oleh Pak Kardi semaksimal mungkin untuk ditanami berbagai sayuran serta apotik hidup lainnya.

Betapa gembira Yatno ketika mengetahui bahwa ada nangka yang sudah mulai masak. Tercium dari aroma wangi yang tersebar ketika pertama kali mereka mulai memasuki kebun.

"Hati-hati, No... ", Pak Kardi yang sudah berdiri di pintu pagar mewanti-wanti.

Yatno hanya menoleh sebentar. Lalu menarik dahan dan ranting yang menutupi buah nangka yang telah matang.

Sementara Zainy sudah tak nampak batang hidungnya. Hanya sepersekian detik ia sudah berada diatas sebuah pohon jambu batu yang berbuah lumayan lebat dan sebagian besar telah matang.

Nuriah tersenyum menatap kedua adiknya. Dengan sigap dipotongnya dua tangkai sayuran pare yang sudah hampir tua.

Ia juga memetik beberapa lembar daun singkong yang tumbuh lebat, cabe serta enam buah tomat yang kebetulan tengah matang.

Kemarin sempat turun hujan sehingga tanaman di kebunnya terlihat hijau dan segar.

Setelah selesai ia kembali ke rumah. Nerebus daun singkong, untuk dibuat urap-urapan kesukaan ibunya.

"Di rebus dulu daun singkong nya. Kelapa nanti bapak bawakan dari kebun", ucap Pak Kardi lembut menatap dedaunan kelapa yang melambai di pinggir kebun.

* * *

Aroma nasi yang telah matang menyapa batang hidung ketika langkah kaki Nuriah mulai memasuki dapur.

Ia tahu, ibu baru saja menanak nasi. Terlihat dari gerakan tangannya yang sedang menyapu bara api di pinggiran tungku.

Sammy yang tengah asyik bermain mobil-mobilan sedikit merengek melihat kakaknya berada di dapur.

Nuriah memeluknya lembut.

"Jangan nakal. Ibu sedang tak enak badan".

Sammy manggut-manggut. Seperti memahami ia lalu melanjutkan permainannya. Sementara si kecil Fany sudah tertidur sejak tadi.

" Ibu istirahat ya, nanti Nur saja yang memasak",

"Tidak apa nak, selagi ibu masih bisa melakukannya uhuk... uhuk.. ", ia terbatuk kecil.

" Tuh... kan, ibu batuk lagi".

"udah, stirahat saja. Nanti Nur ambilkan air", ia berkata sembari meraih lengan ibu dan memapahnya menuju kamar.

" Nur... Nur..., Kamu ini....Jangan perlakukan ibu seperti seorang pasien.. ", pinta ibunya memelas.

" Selagi masih ada aku yang bisa ngerjain semuanya, bu... ", Nuriah tak mempedulikan perkataan ibunya dan meninggalkan orang tua itu di kamar. Ia lalu beranjak ke dapur untuk mengambil air.

Bu Fatimah hanya tersenyum kecil menyaksikan bayangan tubuh Nuriah yang berbelok menuju dapur. Perlahan dibaringkan kepalanya. Kakinya ia selonjorkan. Lalu menengadah menatap kelambu ranjang yang sudah lusuh.

Air matanya menetes. Gejala Pneumonia yang di deritanya berusaha untuk di sembunyikan nya.

Ia tak ingin Nuriah menelantarkan sekolah dan adik-adiknya hanya dengan alasan ingin mengurusinya.

Walau bagaimanapun, ia sudah cukup merepotkan Puteri sulungnya.

"Assalamualaikuum... ",

Suara salam terdengar dari arah depan. Nuriah beringsut dari dapur dan membuka pintu.

" Waalaikumsalaam... ",

ia tersenyum melihat Bi Sumi yang tengah memikul sebuah besek dari anyaman bambu.

" Eh, bibi.... ", sambutnya senang.

"sepagi ini sudah nganterin jagung rebus. wow..., masih hangat lagi", ia membelalak senang sembari mencomot satu.

"Taruh saja di balai-balai dapur. ", ia menyodorkan besek kepada Nuriah.

Bi Sumi adalah tetangga dekat mereka yang sudah dianggap seperti keluarga sendiri.

Di Desa Welas Asih hanya dua rumah yang jaraknya paling dekat.

Itu adalah rumah mereka . Sementara rumah penduduk lainnya tersebar merata di tengah desa. dan jaraknya lumayan jauh.

Namun semua warga desa memiliki kepedulian yang tinggi terhadap sesama. Sesuai dengan nama desa mereka, Desa Welas Asih.

Nuriah kembali ke kamar membawa segelas air putih yang masih hangat.

Bi Sumi sudah ada disana memijat kaki Bi Fatimah. Wajahnya menggambarkan raut kesedihan.

Perlahan Nuriah membantu ibunya meneguk air.

"Uhuk... uhuk... uhuk... uhuk... ".

Suara batuk terdengar semakin keras. Lelehan keringat juga membasahi jidat.

Bi Sumi meraih handuk kecil yang tergantung di tiang ranjang. Kemudian mengusap keringat Bu Fatimah dengan penuh kasih.

" Kakak jangan paksakan diri untuk bekerja di ladang". Bi Sumi berbisik perlahan. Tangannya terus memijat kaki Bu Fatimah.

" Iya... ", Bu Fatimah hanya bisa mengangguk lemah. Menatap mata Nuriah dengan pandangan yang sulit di mengerti.

Nuriah hanya diam. Sama sekali tak tahu jika kedua paru-paru ibunya telah mengalami peradangan.

Beberapa kali ibunya berobat ke puskesmas terdekat tanpa sepengetahuannya. Dan dokter mendiagnosa bahwa ibunya terindikasi pneumonia. Terlihat dari gejala yang dialami dimana ia seringkali menggigil, susah bernafas, berkeringat dan kurang nafsu makan.

Itulah mengapa tubuhnya semakin hari semakin terlihat ringkih.

"Daun singkongnya sebentar lagi matang. Nuriah kembali ke dapur dulu".

Bu Fatimah mengangguk perlahan.

Tak lama kemudian Pak Kardi telah tiba di rumah. Membawa dua butir kelapa yang telah dibersihkan, juga beberapa batang singkong yang baru di cabut.

Yatno dan Zainy mengikutinya dari belakang. Memikul sekarung kecil singkong yang besar-besar.

" Dibuat onde-onde juga boleh, kak... ", Yatno mengerling pada kakak perempuannya. Nuriah mengangguk senang.

* * *