webnovel

Karma Buruk

#40DBWFiksi

#Day22

#Judul_CintaDivita

#Jumkat_1470

#Nama_dhidieMoe

Kesalahan besar yang kuperbuat adalah tidak bertanya marital status pada pria teman kencanku. Aku santai saja jalan bersama mereka menemani ngobrol, makan malam, makan siang, nonton bahkan sesekali karaoke.

Jika kukatakan tidak ada kontak fisik, itu bohong. Jelas dua orang dewasa berbeda jenis kelamin yang ketiganya pasti setan. Aku tidak berkilah, tetapi memang betul aku selalu membatasi agar tidak berlebihan, tanpa cium tanpa rabaan.

Wanita sangat bisa memegang kendali untuk hal itu, jangan pernah takut menolak. Sebagai wanita membuat batasan itu penting. Dengan begitu kita akan dihargai. Sebaiknya memang jangan seburuk aku, menerima ajakan begitu saja kadang tanpa berpikir hanya melihat traktiran dan gratisan. Jangan pernah. Cukup aku saja. Seringkali aku berkata begitu pada Arie dan Nuril. Saat kamu tidak punya kontrol diri dan rasa tega yang kuat jangan pernah berjalan bersama pria mana pun. Pria itu serigala berbulu domba.

Akhirnya hal buruk terjadi juga, bukan tentang diperkosa tetapi  dicaci-maki sebagai perebut suami orang, pelakor. Hari itu seorang wanita meneleponku meminta bertemu, tetapi aku menolak saat tahu dia adalah istri Mas Guntur Adiswara –sang dokter yang menyukai live music–. Aku hadir sebagai wanita ketiga di antara mereka.

Aku menolak karena takut. Sebaiknya, aku memang tidak menemuinya. Jelas tidak ada keberanian untuk mencederai harga diri apalagi ditambah kemungkinan sebotol air keras melukai wajahku. Biarlah kami tidak saling bertemu dan aku cukup mendengar suaranya saja.

Caci-makinya di telepon mengeluarkan separuh kebun binatang dengan segala rentetan kata busuk lainnya. Anehnya, aku ... tidak merasa kasihan padanya.

"Seorang pencuri tidak mampu mengambil milik orang lain, jika sang pemilik sanggup menjaganya dengan baik."

Begitu kataku padanya datar. Selanjutnya, aku tertawa getir.

"Priamu tidak akan berpaling nyonya, jika kamu sudah bisa menjaganya dengan baik," gusarku dalam hati.

Tetapi bukan itu saja, seorang wanita lain mencariku dan meneleponku lagi. Dia mengaku istri mas Dony –Mbak Ajeng– wanita cantik yang masih berkerabat dengan Mas Ndaru yang kutemui di acara resepsi sepupu mereka. Kali ini tanpa caci-maki, dia mengingatkanku tentang perasaan perempuan. Tentang karma dan hasil perbuatan.

"Mba Divi, tau 'kan tentang peribahasa siapa menanam benih akan menuai badai? Mungkin sekarang saya adalah pihak yang dilukai, tetapi besok? Bisa jadi kamu yang akan terluka. Sebagai sesama wanita kenapa kita harus saling menyakiti."

"Saya yakin, Mba berpendidikan dan tahu mana batasan hubungan lelaki dan perempuan, Mas Dony hanya bermain-main, dia hanya sedang jenuh pada saya, tapi dia tidak akan pernah meninggalkan saya. Jadi sebaiknya Mba mengerti dan membatasi diri, tolong jangan lagi menerima ajakan pergi bersamanya."

Bibirku terkatup, aku tidak mampu berkata-kata hanya merasa bodoh. Inikah aku? Wanita ketiga yang hadir mengacaukan hubungan orang lain. Padahal aku dan pria-pria itu tidak terikat apa-apa.

Setelahnya dialog panjang kali lebar bersama Mbak Ajeng, aku duduk di bawah pancuran shower menikmati guyuran air menyembunyikan air mata. Aku membasuh setiap jengkal tubuh dan menggosoknya dengan sabun, berkali-kali hingga kulit terasa perih dan memerah.

"Aku sama, sama dengan para wanita yang menjahati Uma. Menjahati Acil Odah, menjahati Uwaknya Arie. Aku pelakor. Aku player. Aku menyakiti orang lain ... "

Terduduk di bawah kucuran yang tak berhenti mengalir kepeluk lututku dan akhirnya terisak-isak.

Apa yang kulakukan selama ini?

———

Aku bergelung di kasur menekuk bak udang. Kumatikan ponsel dan BBku mulai kemarin. Aku bahkan tidak beranjak untuk mengikuti kuliah pagi tadi. Kepalaku pusing, badan lemas. Aku kehilangan semangat.

Tidur semalam sangat taknyenyak bermimpi buruk. Bayangan disiram air keras, dipukuli, digunduli, diarak orang satu kampung, menghantuiku. Aku sempat terbangun tengah malam dalam igauan dan bersedu-sedan, menangis dalam tidur.

Ingatanku akan tangisan Uma, Acil Odah yang babak-belur membuatku pikiranku lagi-lagi berhalusinasi. Aku menyakiti wanita lain.

Ketekukan dan suara yang memanggil namaku membuatku harus beranjak membuka pintu.

Telah berdiri di sana, sosok Kak Ana. Aku hanya berbalik lalu menjatuhkan lagi badanku di kasur tipis yang terhampar di lantai.

"Kamu sakit? Perlu ke dokter?"

Aku membelakangi perempuan yang usianya terpaut tujuh tahun dariku. Dia sebaya dengan Kak Ifa -Kakakku bedanya Kak Ana masih melajang.

"Kamu tidak kuliah, hp tidak aktif, ini tidak biasa? Tadi Pak Djati cariin kamu juga. Sebentar, dia ada tengok ke kelas."

Aku hanya mendengar tanpa berkomentar. Hasrat untuk menyahut atau bercerita tidak ada.

"Kalau ada masalah kamu harus cerita, gunanya teman itu untuk berbagi. Tapi jika kamu tidak percaya saya, ya sudah saya pulang saja."

"Kak ..."

Aku masih memungunginya, belum sanggup menampakan wajah. Aku takut hitamnya kantung mata yang bengkak membuatnya semakin khawatir.

Kudengar dengkusan napasnya yang kasar.

"Aku salah ya mengacaukan rumah tangga orang?"

Tidak ada jawaban atas pertanyaanku itu. Hening membungkus di antara kami.

"Kamu mau dengar cerita Saya?"

———

Usia muda merupakan usia tanpa ketakutan, begitulah yang dialami Kak Ana. Buatnya saat itu semua bisa dilakukan dan semua sah untuk dilakukan. Saat itu, Kak Ana berumur 27 tahun, usia yang cukup untuk menikah dan sedang ranum-ranumnya.

Pekerjaan mapan, wajah cantik, tubuh seksi. Apalagi?

Banyak pria mendekat, sayangnya Kak Ana menyukai kepala bidang di kantornya. Pria itu begitu penuh perhatian, membuai dan mampu membuat wanita lumer. Bukan hanya tampilannya yang memang metroseksual, ketampanan blasteran berdarah Portugis-Papua membuat Kak Ana sulit memalingkan wajah darinya. Selain itu juga, pria itu pintar, kharismatik dan terlihat cerdas. Satu hal yang luput dari perhatian Kak Ana, Pria itu telah beristri.

Janji cintanya untuk menceraikan sang Istri membuat Kak Ana lebur dan kehilangan satu-satunya hal yang paling berharga, yang dijaga setiap wanita untuk diberikan kepada pria yang membuat janji sakral sehidup-semati.

Akan tetapi, malang tak dapat ditolak untung tak mudah diraih. Jangankan bercerai, istri sang pria malah hamil, dia datang menemui Kak Ana, memohon agar menjauh.

Kak Ana bilang, dia mengamuk pada saat itu. Nyaris mencelakakan sang istri. Dia hancurkan semua barang-barang di rumah mungil yang mereka —ia dan pria itu— beli bersama. Dia nyaris menggosongkan rumah itu, tetapi prianya tetap tidak kembali. Nyatanya dia memilih sang istri.

Tidak kurang yang dilakukan Kak Ana untuk membuatnya kembali, bahkan sampai pada tindakan menyakiti diri sendiri.

"Sesuatu yang dimulai dengan cara yang salah tidak akan menghasilkan kebahagiaan, apalagi jika kamu tahu itu salah."

Aku tersedu-sedu, kembali membahasi pipi, hanya menatap Kak Ana yang bercerita dengan begitu tenangnya.

"Di usiamu sekarang, baik-baiklah memilih. Jangan ke depankan emosi tetapi juga jangan takut untuk jatuh cinta. Kamu punya batin untuk menuntunmu. Kamu punya Tuhan yang melindungi umat-umatNya, Dia akan selalu mendampingiMu. Setiap kesulitan pasti disertai kemudahan. Saya yakin kamu tahu itu."

Kami sama-sama terdiam dalam jeda hening yang cukup panjang. Dia memainkan sebatang rokok yang dari tadi tidak dinyalakan. Aku hanya duduk memangku bantal menatapnya dalam pikiran yang entah kemana.

"Kamu tahu, Di? Banyak luka di masa lalu yang kita dapat bukan berarti membuat kita selalu melihat luka itu untuk membalas dendam, tetapi lihatlah lukanya sebagai sebuah pelajaran agar tidak terluka lagi. Jadilah lebih kuat dan berhati-hati."

—–—

Kak Ana mampu membuatku bergerak ke kamar mandi, dan mengajakku pergi makan, kembali lagi ke Kafe Kopi Ketan Legenda.

Tidak satu bedak pun yang mampu menyamarkan kantong hitam di bawah mata, tetapi aku peduli apa. Rasa lapar setelah nyaris tiga puluh enam jam membuat perut kosong tanpa menyentuh makanan apa pun, pasti menghilangkan rasa malu.

Aku bukan hanya memesan ayam geprek keju kesukaan, tetapi juga kentang goreng crispy, onion ring, dan dua gelas es teh di luar pesanan Kak Ana tentunya.

Kulirik wajah Kak Ana yang tersenyum dikulum, persetan pada apa yang ada di pikirannya. Aku menguyah pelan, menikmati rasa satu-satu. Manis, asem, asin, pahit kucecap di lidah. Ekspresiku mungkin sudah mirip para penyintas Moro yang terkatung-katung di lautan berminggu-minggu saat menghadapi makanan enak pertama kali.

Sebuah gerakan tiba-tiba menduduki kursi di sebelahku,

"Eh, ada pesta nih?"

Kutolehkan wajah ke kiri, yang sontak membuat sosok di sebelahku ngakak, dan Kak Ana yang ikut terkekeh.

"Makan pelan-pelan, Di. Pipimu nggak usah di ajak makan juga."

Pria di sebelahku, menghapus pipiku dengan selembar tisu, lalu menunjukkan noda saus di sana. Setelahnya dia tertegun, mata nyalang menyelidik, aku membuang muka menatap Kak Ana. Kucoba menyembunyikan wajah yang pasti bentuknya masih belum normal.

Krisna menarik tangan kiriku,

"Ada apa?"

Kulihat Kak Ana menggeleng. Kode darinya membuatku buru-buru merubah ekspresi baru menoleh ke kiri.

"Aku lucu, ya?"

"Kamu, kenapa? Berkelahi dengan Mama? Ada apa?"

Kuhempaskan sisa tulang ke piring.

"Mama sudah pulang ... "

"Yaela, anak mama ... segitunya deh kesayangan mama. Pasti sedih karena ditinggal tunangan balik kampung, ya?"

Wajahnya berubah jadi tengil.

"Eh, Di ... kamu dulu pernah gabung dengan Silva Indonesia, kan?"

Alisku naik mendengar pertanyaannya.

"Sudah lama sekali, dulu waktu aku kuliah sarjana."

"Owh, ok. Aku balik kerja dulu."

Pria gondrong itu menepuk pundakku.

Kak Ana mengangkat bahunya sambil menatapku, sedang aku mengambil ponsel dari saku tas selempangku karena mendengar bunyi pelan beberapa kali.

Pesan-pesan WA dari Mas Ndaru membombardir kotak penyimpanan.

"Di mana Kal? Tahukah kamu apa yang bikin tugas-tugasku menumpuk takselesai?

Karena sudah seminggu kamu menyita pikiranku."

"Kal, aku salah apa?"

"Kali ... Maafin aku, ya."

Noted :

*Uma - Ibu

*Acil - adik Ibu

*Uwak - kakak Ibu