webnovel

Sebelas

Ada rasa hangat membias mengenai wajahnya. Lamat-lamat ia mengerjap

Yang pertama terbangun adalah Wisley, Untuk sesaat ia harap yang dialaminya semalam hanyalah mimpi, sayangnya ketika ia melihat teman-temannya masih tertidur. Dilihatnya sekeliling. matahari sudah setengah naik, ia tahu itu kenyataan yang harus diterimanya. Sesak rasanya ketika ia mengingat hal itu.

Mave membuka matanya cepat ketika bermimpi buruk. Napasnya berembus kasar, langit sudah mulai cerah walau tragedi telah terjadi. Zed, Theodore dan Kai masih tertidur. Dengan cepat ia duduk dan melihat sekitarnya. Lalu menyadari salah seorang temannya tak terlihat.

"Di mana Wisley?" gumamnya kebingungan ketika melihat Wisley tak nampak di mana pun. Pikirannya langsung mengarah ke alun-alun dan itu cukup berbahaya.

Pemuda itu langsung berdiri, berlari cepat hendak mencari temannya dengan menembus ilalang. Berharap ia belum pergi.

Ketika merasa frustasi karena tidak dapat melihatnya di mana pun, di antara ilalang itu. Wisley muncul di belakangnya.

"Sedang apa?" tanya Wisley pada Mave.

Mave lantas menoleh dan mengembuskan napas syukur.

"Kau dari mana saja?!" cecar Mave.

"Hanya melihat-lihat keadaan sekitar."

Mave memandangi Wisley lamat-lamat. Sebelum akhirnya berujar.

"Baguslah."

"Ngomong-ngomong aku menemukan sesuatu yang aneh," ucap Wisley.

"Ayo temui yang lain," sahut Mave.

Kedua pemuda itu pun berjalan beriringan, yang lain sudah terbangun kecuali Kai yang masih meringkuk, yang lain duduk sambil menunggu mereka.

"Kalian akhirnya kembali," ujar Theodore senang. Ia pikir mereka tadi kembali ke alun-alun yang pasti sudah dipenuhi antek-antek pemerintah kejam.

"Ada yang ingin Wisley katakan," ujar Mave membuka percakapan.

Entah kenapa ia malah berbasa-basi, seperti bukan dirinya saja.

Mereka lalu duduk diam, menunggu Wisley berbicara.

Dengan wajah kusut dan kebingungan tentunya.

"Aku menemukan sesuatu yang aneh di dekat dinding ketika berkeliling tadi," katanya kemudian.

"Kau lupa kita dilarang mendekati dinding?" Kali ini Zed yang menyahut. Ia tak habis pikir dengan jalan pikiran Wisley yang biasanya tak akan melakukan hal aneh.

Ada larangan turun menurun bahwa mereka dilarang mendekati dinding. Entah apa alasannya, lagipula akan ada barikade dari kawat berduri berjarak 50 meter dari dinding, hingga orang-orang hanya bisa melihatnya dari kejauhan.

"Tunggu—bagaimana caranya kau ke sana? Bukannya—"

"Tidak ada barikade di sini, lagipula tempat ini jarang didatangi orang-orang," selanya seakan tahu apa yang ingin Zed katakan.

"Bagaimana mungkin tidak ada barikade?" sela Theodore.

Semuanya langsung terdiam, sepertinya sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Menurut kalian apa penyintas itu ada maksud lain menyuruh kita kemari?" tanya Mave akhirnya bicara setelah dari tadi hanya menyimak saja.

Kali ini pandangan mereka langsung mengarah pada Mave.

"Dia menyuruh kita bersembunyi? siapa?" tanya thedore ketika Mave memperjelas. Rupanya ia tak sadar ketika berada di dekat pria itu semalam.

"Siapa pria bermasker itu? Dia perhatian sekali padamu," kata Zed lagi merasa aneh.

Memang benar pria yang menyuruhnya kabur tadi terlihat sangat perhatian. Tapi kan memang penyintas lebih akrab dengan orang kecil seperti mereka.

Theo menatap teman-temannya bingung.

"Bagaimana aku tahu?" Sahut Mave memeluk adiknya, ia mengusap punggung Kaki dengan lembut.

"Siapa yang kalian maksud?" tanya Theodore.

Mave akhirnya menjelaskan secara singkat tentang apa yang terjadi dini hari tadi, bukan sebuah kebetulan ia mengajak mereka ke sini, itu tak lain karena anjuran seorang penyintas.

"Apa yang sebenarnya kau temukan?" Tanya mereka secara bersamaan kini kembali menatap Wisley.

Mengesampingkan siapa penyintas itu. yang ini jauh lebih penting.

Terdiam sejenak sebelum akhirnya Wisley menjawab dengan mantap.

"Sebuah lubang."