webnovel

Lima

Rasanya seperti terhempas ke dasar kolam dengan kaki terikat besi, berusaha naik ke permukaan dengan nada sesak, rintik dari air mata tak lagi terlihat, hanya gelembung udara dari napas yang kian menipis. Mave berjalan terseok menuju alun-alun tempat eksekusi.

Mulanya, ia pikir itu hanya candaan belaka, namun ketika sadar, temannya tak mungkin bercanda soal perkara seperti itu membuatnya menjatuhkan tempat menampung ikan. Kaki tanpa alas berpijak pada tanah.

Ada suara jeritan dan sorakan begitu memasuki area.

Orang-orang tanpa aba-aba terbelah, membuat jalur bagi Mave untuk masuk. Sebuah upaya yang sia-sia ketika ia berteriak dan memberontak untuk bergerak maju.

Ayahnya kini terduduk dengan wajah penuh lebam di atas sana. Matanya memandang nanar ke arah putranya sembari menggeleng pelan agar anaknya itu tak membuat keributan yang nantinya malah membahayakan dirinya sendiri.

Mave menangis keras, di belakangnya teman-temannya juga ikut menangis sembari memeganginya agar tak maju lebih jauh.

Sekarang ia paham darimana daging itu berasal. Ayahnya mengambil itu dari rumah pejabat setempat. Tak begitu banyak namun malah membuatnya menerima eksekusi, sungguh tak sepadan sekali.

Di seberang sana, adik dan ibunya juga ikut tertunduk. Kai didekap erat. Ibunya enggan membiarkan anak semata wayangnya melihat eksekusi yang akan menimpa ayahnya.

Langit yang semula cerah kini berganti warna, awan-awan putih kini menyingkir menjadi gugusan awan gelap.

Seorang pria berbadan tinggi besar dengan sorot mata tajam mengeraskan suaranya sambil membawa gulungan kertas berisi nama-nama orang yang akan dieksekusi, tak mengindahkan ucapan orang-orang yang menyuruhku turun. Masing-masing penjaga memegang pedang panjang nan mengkilap, pedang itupun diacungkan tinggi-tinggi demi menakuti. Anak-anak kecil akan menjerit, sementara orang dewasa sedikit menjaga jarak, sebab tak sedikit yang kena tebas jika melewati batas tipis yang ditentukan.

Ketika pengumuman selesai, prajurit mulai berbaris. Satu persatu orang yang dibariskan disuruh berdiri menuju tempat pemenggalan.

Orang pertama didesak untuk memasukkan kepalanya dikurungan leher. Ketika ia sudah berada di sana. Kurungan di atas akan menimpanya, hingga leher dan kepalanya tak bisa ke mana-mana. Hanya berjarak beberapa meter di atas sana. Sebuah kayu panjang yang dilapisi pedang tajam, siap memotong apapun yang menimpanya.

Ctak

Jerit, pekikan dan membubarkan diri karena tak sanggup lagi untuk melihat adalah beragam reaksi warga.

Pisau itu baru saja terjun bebas, sepenggal kepala terjatuh dan menggelinding. Mave yang paling dekat pun langsung gametaran. Tak ingin ayahnya ikut terpenggal, hingga terus menerus meminta untuk berhenti.

Mereka tak diperlakukan tak manusiawi, hingga tibalah saatnya untuk Ayah Mave. Pria itu tersenyum menatap ke arah Mave dan istrinya. Seakan berkata untuk tetap semangat dan jangan bersedih.

Ia menegadah menatap langit sekali lagi.

Setidaknya ia sudah membuat keluarganya bisa makan enak untuk terkahir kalinya.

"Aku menyayangi kalian, Mave jaga ibu dan adikmu!" Itulah teriakan terakhir dari sang ayah sebelum bilah tajam itu membuat tubuh ayahnya terpisah dari kepala. Mave terjatuh, suaranya tak lagi terdengar karena parau, harusnya itu suara erangan. Ibu Mave jatuh pingsan hingga Theodore yang berjaga di belakangnya langsung menarik Kai ke dekapannya ketika orang-orang mulai menggotong ibunya. Mave sendiri di peluk erat oleh Wisley dan Zed. Mengikat pergerakan temannya itu.

Agar tak berbuat macam-macam, sebab jika tak hati-hati ia bisa jadi sasaran juga, di tempat ini, nyawa manusia tak lebih dari sesuatu yang mudah untuk dihilangkan, ia tak berharga sama sekali.

Orang-orang miskin susah payah mempertahankannya namun orang berkuasa sekenanya mengambilnya.

Rintik hujan mulai turun, beiringan dengan Isak pilu. Seakan langit tahu bahwa di bumi baru saja terjadi kejadian yang menyesakkan hingga ia ikut meneteskan air mata. Musim kemarau panjang dan tanah gersang pun menghilang. Entah mereka harus bersyukur atau apa, sebab musibah dan doa yang terkabul terjadi pada saat yang sama.

Hujan yang harusnya membuat sukacita kini meredam semua tangisannya.

Percikan darah dan air mata, bercampur luruh ke tanah basah.

Zed dan Wisleu mengusap punggung Mave, ia tak bisa bicara apa pun lagi.

Mereka juga tak kalah menangis tersendu, ikut merasakan perihnya melihat peristiwa tragis itu.

Sementara Theodore membawa Kai menjauhi kerumunan. Beruntung gadis kecil itu tak sempat melihat ayahnya dieksekusi karena Theodore menariknya dengan cepat, tak bisa dibayangkan jika diumurnya yang masih sebelia itu melihat peristiwa tragis.

Karena hal itu pulalah ia mulai menerka apa yang sebenarnya tengah terjadi.

Yang pasti ia tahu ada sesuatu yang tak beres terjadi pada sang ayah.

Ia hanya ingat ibunya jatuh pingsan.

Dan Theodore belum berani membicarkannya sekarang, sepertinya butuh waktu untuk memberikan pengertian pada gadis kecil itu.

Walau peristiwa tadi sering sekali terjadi.

Bagi Theo sendiri, peristiwa barusan bukan yang pertama kali ia lihat, jauh sebelum ini, dan beberapa kali sebelumnya, ia melirik hal yang sama.

Sambil berhati-hati agar tidak mengalami hal yang sama pula. Tapi kalau orang terdekat yang kena ia merasakan sakitnya juga.

Dirinya tidak tahu bagaimana caranya untuk berbicara dengan Mave setelah ini.

tapi ia berjanji dalam hatinya agar bisa membuat Mave tersenyum-senyum lagi karena mereka adalah teman sekaligus saudara.

Ia tahu temannya itu kuat jadi ia perlu banyak dukungan.

Sebab kekuatan tak hanya berasal dari badan saja.