webnovel

Empat Belas

Entah harus bereaksi atau bicara apa, semuanya antara tengah terkejut dan bingung.

Dari segi pakaian dan penutup wajah sendiri, para remaja itu tahu, yang baru saja berbicara adalah seorang penyintas.

"Kalian orang pertama yang datang kemari," katanya lagi dengan suara agak serak. Dari gaya bicaranya sudah jelas kalau tempat ini adalah markasnya. Mungkin bisa dibilang begitu.

Mereka menatapnya dengan seksama, penyintas adalah pelindung, jadi mereka tak perlu takut. Meski begitu, Kai tahu-tahu sudah berdiri dan bersembunyi di belakang kakaknya. Mungkin ia masih takut.

Mave hanya mengusap pundak adiknya lembut, sambil berbisik bahwa orang di depannya itu cukup baik.

Ada bekas noda sisa-sisa pertarungan dini hari tadi di pakaiannya. Hanya nampak sorot mata tegas di wajahnya, pria itu nampaknya masih tidak ingin memperlihatkan muka aslinya.

Baru sekarang mereka bisa memerhatikan ia dari dekat. Badannya tinggi tegap, mungkin kisaran 185cm.

Masih ada jarak yang ia berikan pada mereka.

Walau hanya sekilas, Mave masih ingat dengan suara orang yang menyuruhnya kemari.

"Anda—" gumam Mave ingin bicara.

"Ya, ini aku, aku yang menyuruh kalian kemari," potongnya seakan tahu apa yang sebenarnya ingin Mave katakan.

Anak remaja itu saling pandang.

"Apa maksudnya dengan anda yang akan mengurusnya?"

Kali ini yang berbicara adalah Wisley, mewakili yang lain, tak perlu basa-basi, ucapan pertama pria tadi masih membuatnya bertanya-tanya.

Ditatapnya Wisley lekat-lekat sebelum bicara.

"Anggota kami yang tersisa mengubur orang-orang yang telah gugur," katanya menjelaskan.

Ada rasa sesak ketika mereka ingat keluarganya meregang nyawa.

Seakan tahu apa yang remaja itu pikirkan, Pria penyintas kembali berbicara.

"Kalian boleh memanggilku Bi, jangan tanya panjangnya apa, dan ya, tunggu— apa yang ingin kukatakan? Oh benar, aku belum minum."

Mave dan yang lainnya menatap heran pada sosok yang memperkenalkan dirinya sebagai Bi, ia mengambil minuman yang tergantung di dinding dan menegaknya membelakangi mereka, sejenak penutup wajah itu dibuka, tapi hanya sedikit, agaknya berkelahi sepanjang dinihari membuatnya kehausan, terlebih siapa yang masih ingin minum di tempat semacam itu.

"Kalian tidak bisa kembali ke distrik timur lagi," Kata Bi begitu selesai menghabiskan minumannya.

"Apa maksudnya itu? Di sana rumah kami berada!" Suara Zed terdengar meninggi karena tak terima, Theodore menepuk pundaknya agar ia menurunkan suaranya. Ia paham semua orang tengah kalut pikirannya.

Ada tawa renyah dari Bi yang makin membuat mereka kesal. Terutama Zed, bukan saatnya untuk tertawa sekarang.

"Kalian tak berpikir di sana itu masih rumah kan? Telinga kalian tak mendengar desas-desus yang belakangan heboh ya?" ujarnya setengah menyelidik.

Ada banyak desas-desus yang beredar, sebagian memang banyak yang tak mengenakkan, mereka memutar otak, mencari tahu bagian yang mana itu.

Sampai akhirnya masing-masing kepala menatap ke arahnya dengan serius.

Ada rumor yang mengatakan bahwa distrik timur akan dimusnahkan.

Melihat mereka terdiam, nampaknya sudah paham tanpa perlu dijelaskan.

"Tidak ada rumah, kalian hanya akan menjadi mayat jika datang ke sana lagi." Bi berbicara lantang, matanya melirik ke arah Mave yang sedari tadi menutup telinga adiknya.

"Lalu, menurutmu kami harus apa?" tuding Zed. Kalau tidak ke sana lagi, ke mana lagi mereka harus pergi.

Bukannya langsung menjawab, arah matanya menyoroti sesuatu di depan.

Otomatis, kepala mereka langsung tertoleh pada suatu coretan di sana.

'Pergilah ke luar dinding.'