webnovel

##Bab 94 Julian Sangat Senang Febi Akan Bercerai

"Terkadang kamu perlu mengambil inisiatif untuk memperjuangkan sesuatu seperti kebahagiaan. Kalau kamu terus-menerus takut dan menghindar, kebahagiaan juga akan menghindarimu." Nada suara Julian sangat datar, tapi arti ucapannya sangat dalam. Dia menoleh untuk melirik Febi, "Apa kamu mengerti maksudku?"

Febi terdiam. Kebahagiaan perlu diperjuangkan, tapi setidaknya dia harus tahu ke mana arah kebahagiaan itu. Akankah Julian menjadi kebahagiaannya? Febi tidak yakin sama sekali. Jika Julian tidak begitu sempurna, jika dia tidak memiliki latar belakang yang begitu menonjol, Julian benar-benar adalah kandidat yang terbaik....

Bukannya Febi tidak merasa percaya diri, hanya saja dia yang sudah mengalami kegagalan pernikahan, tidak bisa lagi menjadi seperti gadis kecil yang polos. Gadis yang jelas-jelas mengetahui di depannya ada rintangan yang menghalangi, tetapi masih mengandalkan keberuntungan untuk berusaha keras agar dapat mencapainya.

"Hari ini, aku bertemu Vonny di Hotel Hydra," ucap Febi tiba-tiba.

Mata dalam Julian tidak memperlihatkan emosi apa pun, dia hanya melihat jalan dengan tenang, "Bagaimana? Bagaimana perasaanmu?"

Febi tertawa, "Bagaimana perasaanku? Aku rasa dia telah kehilangan banyak berat badan, wajahnya tidak terlihat baik. Dia berkata padaku Nando sudah lama tidak berkunjung ke tempatnya, ucapan ini kedengarannya tidak seperti berbohong."

Julian mencibir, "Tampaknya selera Nando perlahan kembali normal."

"Menyukai Vonny, seleranya tidak normal?" Febi tidak mengerti kata-kata Julian.

Dari sudut pandang seorang pria, Vonny jelas merupakan tipe wanita yang disukai pria. Namun, tidak tahu apakah itu ilusi?Febi selalu merasa Julian tampaknya memusuhi Vonny secara misterius.

Julian tidak menjawab kata-katanya, dia hanya bertanya, "Apa yang kamu pikirkan sekarang?"

Febi menghela napas, "Cerai."

Febi mengarahkan matanya ke kejauhan dan berkata dengan lembut, "Selama dua tahun terakhir ini, aku sudah lelah. Sekarang satu-satunya yang aku pikirkan adalah keluar dari pernikahan ini."

"Bahkan kalau sekarang Nando ingin membuatmu berubah pikiran dan berjanji untuk putus dengan Vonny, kamu juga akan bercerai?" tanya Julian sambil meliriknya. Febi merenung sebentar, lalu dia mengangguk, "Beberapa orang memang ditakdirkan tidak berjodoh lagi. Tidak akan ada orang yang menunggu seseorang seumur hidup."

Ekspresi Julian jauh lebih ceria dan senyum tipis melintas di pupilnya yang gelap, seperti air danau beriak yang berhiaskan cahaya fajar, terlihat sangat harmonis. Febi melihat hingga jantungnya berdegup kencang dan seakan terinfeksi. Suasana hati Febi juga menjadi lebih ceria dan dia bercanda dengan santai, "Pak Julian, aku berencana untuk bercerai sekarang. Ini bukan hal yang baik. Kamu seharusnya tidak sebahagia ini, 'kan?"

Mereka kebetulan bertemu lampu merah dan Julian menghentikan mobil.

"Apakah sangat jelas?" Julian berbalik dan menatapnya sambil tersenyum.

"Hmm!" angguk Febi.

Melihat matanya semakin gelap, Julian tiba-tiba menjentik dahi Febi dengan jari-jarinya, "Kamu lumayan cerdas. Ini adalah langkah pertama yang harus kamu ambil untuk menemukan kebahagiaan."

Febi menyentuh dahinya tanpa sadar. Dia tidak merasa sakit, malah terasa hangat dan merasa suhu tubuh Julian yang masih tersisa dan terus masuk ke dalam hatinya. Febi secara naluriah bertanya, "Apa langkah selanjutnya setelah bercerai?"

Julian menatapnya dengan penuh arti dan berkata, "Langkah selanjutnya, kamu bisa memberikan dirimu kepadaku."

Nada suaranya sangat rendah, dalam mobil yang sempit terdengar sangat seksi. Febi ingat malam itu Julian berkata padanya, setelah Febi bercerai dia akan langsung menginginkannya. Jantungnya berdetak kencang dan mulutnya terasa kering. Febi memalingkan wajahnya ke jendela, "Aku tidak mau berbicara denganmu lagi...."

Julian mengulurkan tangan dan meraih bagian belakang lehernya, Febi terkejut dan menoleh secara naluriah. Tidak disangka wajah Julian sedang berada sangat dekat dengannya. Ketika Febi berbalik seperti ini, mata keduanya tiba-tiba bertemu. Febi secara naluriah ingin mundur satu inci, tapi bagian belakang lehernya digenggam oleh telapak tangannya yang besar, hingga membuatnya tidak dapat menghindar.

Mata Julian begitu dalam sehingga dia seolah melelehkan Febi, "Setiap kata yang baru saja aku katakan adalah serius. Serahkan dirimu padaku. Yang aku inginkan bukan hanya tubuhmu, tapi ... di sini."

Jari-jari Julian yang ramping mendarat di dada kiri Febi dan menekannya dengan ringan. Pada saat itu, seolah-olah Julian dengan mudah menembus semua garis pertahanan di hatinya, menekan langsung ke posisi terdalam dan terlembut di hatinya.

"Deg, deg, deg...."

Febi mendengar detak jantungnya benar-benar di luar ritme....

Julian adalah pria yang kuat dan mendominasi. Dia menginginkan hati Febi, bukan dengan nada negosiasi dan bukan bertanya kehendak Febi.

Julian menyusun rencana dan sudah memastikan hasilnya, seolah-olah dia begitu yakin cepat atau lambat Febi akan menjadi miliknya. Perasaan menjadi benar-benar pasif ini membuat Febi sedikit panik, tapi dia tidak dapat menahan diri untuk terkesan dengan aura alami dan kepercayaan diri Julian.

Apakah selama Julian mau, tidak ada yang tidak bisa dia dapatkan?

...

Keesokan harinya.

Febi menerima telepon dari produsen material di Kota A. Dia segera membawa barang-barang dan melakukan perjalanan bisnis.

Dia naik kereta sore sambil memegang tas ranselnya sendirian dan mendengarkan suara kereta, "Tut, tut...." Tiba-tiba Febi tertidur.

Setelah ponselnya berdering beberapa kali, dia baru terbangun. Dia mengeluarkannya dari tasnya dan melihatnya. Sudut bibirnya sedikit terangkat, lalu dia mengambilnya dan menempelkannya ke telinganya.

"Malam ini aku akan pulang larut, jadi kamu tidak perlu membuatkanku makan malam." Suara Julian datang dari ujung sana. Febi tertawa, mengapa Febi merasa seperti mereka hidup bersama?

"Kebetulan aku tidak ada di rumah malam ini." Febi baru bangun, suaranya masih sedikit serak dan linglung.

"Kenapa di sana berisik sekali? Kamu di dalam mobil?" tanya Julian.

"Hmm, di kereta. Aku sedang dalam perjalanan bisnis ke Kota A."

"Kenapa tadi malam aku tidak mendengarmu memberitahuku?"

"Jadwal yang diputuskan hari ini."

"Kamu menginap di hotel mana? Apakah perlu aku menyiapkan kamar di Hotel Hydra?"

"Jangan repot-repot, perusahaan sudah memesannya. Aku bermalam di Hotel Bougenville, jaraknya sangat dekat dengan tempat yang harus aku datangi."

Febi sudah berkata demikian, jadi Julian secara alami tidak memaksakan kehendaknya lagi. Dia hanya berdeham pelan, lalu terdiam sejenak dan bertanya, "Kapan kamu akan kembali?"

"Kalau rapatnya berjalan lancar, aku akan kembali besok."

"Hmm," jawab Julian dengan santai, kemudian menambahkan, "Kalau begitu aku akan menunggumu."

Lima kata sederhana, seperti stik drum kecil yang memukul jantungnya hingga berdetak kencang. Melihat pemandangan yang lewat melalui jendela, tiba-tiba merasa suasana hatinya menjadi sangat baik.

Julian menunggunya....

Perasaan seseorang sedang menunggu seakan terasa ... sangat aneh....

"Kalau begitu aku ... akan kembali lebih awal," jawab Febi dengan sedikit tidak nyaman, tapi suaranya terdengar lembut. Mendengar tawa rendah di sana, Febi hanya berpura-pura tenang dan berkata, "Aku tutup teleponnya." Kemudian, dia buru-buru memutuskan telepon.

Jantungku berdetak ... dan semakin panas....

...

Saat Febi tiba di hotel, sudah jam 5 sore. Febi mengemasi barang-barangnya, kemudian keluar dari kamar dan berencana untuk makan malam dengan penanggung jawab pabrik. Tepat saat dia mengunci pintu, dia mendengar langkah kaki berisik mendekat dari kejauhan.

"Mati! Mati! Ada orang yang mati di atap!" teriak seorang gadis dengan wajah pucat dan berlari ke arah Febi. Hanya sekejap, banyak orang keluar dari ruangan, lalu menangkapnya dan bertanya, "Apa yang terjadi?"

"Di dalam tangki air ... di atas gedung ... seseorang meninggal ..." Bibir gadis itu gemetar, dia berbicara sambil tergagap-gagap, "Dengar-dengar, mati penasaran ... menakutkan! Menakutkan sekali!"

"Tidak begitu menakutkan, bukan? Aku sudah memesan kamar di sini selama sebulan!"

"Apakah dia sendiri yang jatuh ke tangki air? Jangan bicara tentang hantu, tidak ada hantu di dunia ini."

"Aku tidak akan tinggal di sini lagi…. Kalau kamu tidak percaya, kalian tunggulah!" Gadis itu menyingkirkan dari kerumunan dan bergegas kembali ke kamarnya untuk mengemasi barang bawaannya.

Febi tidak pernah percaya pada hantu. Namun, ada orang yang mati di sini, saat mendengarnya Febi juga ikut bergidik. Akan tetapi, sudah terlambat untuk check out dan mencari hotel baru. Waktu janji temu dengan penanggung jawab pabrik akan segera tiba. Febi tidak boleh menundanya walau semenit pun.

Febi tidak mungkin terlambat untuk pertemuan pertama.

Lagi pula, hotel ini tidak kecil, ada banyak staf jadi tidak akan terjadi apa-apa. Memikirkan hal ini, Febi mencoba menghibur diri sendiri dan menetapkan hati untuk tidak check-out dari hotel ini, lalu keluar dengan cepat.

...

Mereka makan malam sampai jam 10.

Saat Febi kembali ke hotel dan berjalan ke dalam lift, kebetulan ada pasangan muda di dalam lift.

"Suamiku, aku sangat takut! Mereka membicarakan hal mistis, mereka berkata hantu penasaran, kaki ditarik oleh hantu...."

"Jangan takut, bukankah suamimu ada di sini? Semua hal mistis akan lari jauh setelah bertemu suamimu."

"Dasar sombong!" Sang istri memukul dada suaminya dengan genit, "Kalau ada hantu, malam ini kita akan celaka."

Febi mendengarnya hingga berkeringat dingin. Dia berjalan keluar dari lift sendirian. Melihat ke koridor panjang yang diselimuti cahaya redup, dia merasa ngeri. Meskipun dia berulang kali mengatakan pada diri sendiri tidak ada hantu ataupun dewa di dunia ini, hatinya masih tetap bergemetar. Febi mengambil napas dalam-dalam, lalu dia menutup matanya, bersikeras dan berjalan ke pintu kamarnya dengan cepat. Dia mengambil kartu kamar, menggesek di pintu dan bergegas masuk.

Dia menutup pintu dengan berat, lalu bersandar pada panel pintu dan mengambil napas dalam-dalam. Febi menyalakan lampu di seluruh ruangan. Namun, dia masih merasa sangat seram, yang membuatnya takut dan gelisah.

"Febi, jangan takut, jangan takut! Kamu adalah orang yang berpendidikan tinggi, bagaimana kamu bisa percaya pada hal-hal yang tidak masuk akal itu?" gumam Febi untuk menyemangati dirinya sambil mengeluarkan piyama dari koper. Dia ingin mandi dan segera tidur. Asalkan dia pergi tidur, dia tidak perlu takut lagi.

Sambil memegang pakaiannya, Febi segera berlari ke kamar mandi.

Namun, saat Febi berdiri di bawah shower dan mandi air hangat sambil melihat ke toilet, kemudian melihat dirinya di cermin dengan rambut acak-acakan, dia mulai memikirkan film hantu di Jepang. Febi kesal saat itu dirinya penasaran dan menonton begitu banyak film horor bersama Tasya. Sekarang gambaran itu muncul dan membangkitkan semua sarafnya, hingga membuatnya gemetar ketakutan. Seakan ada seutas tali yang terentang di hatinya dan akan putus kapan saja.

Meskipun itu air panas, dia hanya merasa bahwa semakin dia mencuci, semakin dingin jadinya, dan dia tidak berani menunda lebih lama lagi. Bahkan sebelum aku bisa mengenakan pakaian aku, aku mengemas handuk mandi besar yang aku bawa, dan membuka pintu kamar mandi untuk keluar.

Dengan kaki basah, dia segera memakai sandal yang diletakkan di pintu. Setelah memakainya dan melangkah, tiba-tiba dia gemetar ketakutan dan air mata keluar dari matanya.

Di depan pintu....

Bahkan ada sepasang sepatu?

Ketika dia masuk mandi, dia berjalan dengan tergesa-gesa sehingga dia tidak memindahkan sepatunya. Siapa yang menyimpan sepatu ini? Dari mana asalnya?

Astaga!

Apakah itu ... hantu?

"Ah...." teriak Febi setelah bergidik sejenak. Tubuhnya terbungkus handuk besar dan wajahnya yang pucat, dia membuka pintu dan bergegas keluar dengan linglung.

Seolah-olah roh jahat sedang mengejarnya, dia berlari cepat dan tergesa-gesa. Saat menabrak seseorang, dia tidak berhenti. Namun, pinggangnya dirangkul dan dia ditarik kembali oleh seseorang.

"Tidak! Jangan sentuh aku! Jangan sentuh aku!" Febi sangat ketakutan hingga bibirnya memucat dan seluruh tubuhnya gemetar.

Matanya tertutup rapat karena panik, air mata menetes dari bulu matanya. Dia memegang handuk di tubuhnya dengan satu tangan, dia menepis dengan tangan lainnya, "Pergi! Aku tidak takut hantu! Jangan seret aku! Pergi!"

"Ini aku, Febi! Buka matamu!"

Suara ini....

Febi tertegun sejenak dan berhenti bergerak, tapi tampaknya dia masih tenggelam dalam kepanikan barusan, bulu matanya bergetar dan dia tidak berani membuka matanya.

Julian menghela napas tak berdaya. Dia menyentuh pipi Febi yang masih ternoda oleh tetesan air dan menatap matanya, "Ini aku! Julian!"

Baru saat itulah Febi membuka matanya. Febi menatapnya dan tiba -tiba menangis, seperti anak yang ketakutan. Air matanya tidak bisa berhenti mengalir. Dengan tangan terentang, dia berdiri berjinjit dan melingkarkan lengannya di leher Julian. Febi bersandar di pundak Julian dan menangis tanpa mempedulikan citranya.

Febi benar-benar ketakutan. Sampai saat ini Julian telah memeluknya, tubuhnya masih bergemetar.

"Tidak apa-apa, tidak apa-apa...." Julian merasa Febi semakin seperti anak kecil, dia menepuk punggungnya yang setengah telanjang dan dengan sabar menghiburnya, "Ada aku di sini, jangan takut...."

"Seseorang meninggal di atas gedung.... Mereka semua berkata dia mati penasaran...." isak Febi sambil menceritakan kisah itu kepada Julian dengan ngeri.

Tampaknya seseorang mendengar gerakan itu, ada orang yang membuka pintu dan keluar melihat ke koridor. Saat ini, Julian baru teringat Febi hanya mengenakan handuk mandi. Mata Julian menjadi gelap dan menggunakan tubuhnya yang tinggi untuk memeluk Febi dengan erat, lalu berkata dengan suara rendah, "Mari kita bicarakan setelah masuk ke kamar."

Dengan Julian berada di sisinya, hati Febi yang ketakutan seketika merasa tenang. Untuk sesaat, dia tidak takut lagi pada hantu atau pembunuh. Hanya saja, saat kembali ke kamar dan melihat sepasang sepatu, Febi masih merasa takut.

Febi berdiri di pintu dan bersandar di dada Julian. Dia tidak melihat sepasang sepatu itu, dia hanya menjulurkan tangannya untuk menunjuk ke sepasang sepatu itu dan berkata dengan suara gemetar, "Aku tadi.... Sepasang sepatu tiba-tiba muncul di depan pintu. Julian, haruskah kita mencari hotel lain?"

Air mata baru saja menetes, mata yang berlinang air mata itu terlihat berkaca-kaca. Dengan ketergantungannya pada Julian, dia terlihat sangat mirip dengan anak kecil.

Terutama pada saat ini, Febi terus-menerus membenamkan tubuhnya ke dalam pelukan Julian, Febi sama sekali tidak peduli saat ini dia hanya mengenakan sehelai handuk mandi dan betapa memesonanya untuk Julian.

Jika Julian tidak kenal baik seperti apa wanita ini, Julian akan benar-benar curiga wanita bodoh ini sedang merayunya.

Julian melingkarkan tangannya di pinggang Febi, berdiri di seberangnya dan tersenyum, "Ternyata kamu sangat penakut."

"Aku sudah ketakutan, kamu masih mengolok-olokku!" Febi mengulurkan tangan dan menepuk bahunya dengan marah.

Julian meraih tangan Febi dengan satu tangannya dan menggenggamnya erat-erat, seolah memberinya keberanian, "Jangan takut. Tidak ada hantu, sepatu itu dimasukkan oleh pelayan. Ketika aku datang, aku kebetulan melihat pelayan keluar dari kamarmu."

"Benarkah?"

"Hmm!" Julian mengangguk dan menyentuh pangkal hidung Febi, "Dasar penakut! Kamu menakuti dirimu sendiri!"

Akhirnya, Febi menghela napas lega dan menepuk dadanya dari ketakutan yang tersisa, "Aku menakuti diri sendiri! Aku benar-benar idiot!"

Julian melihat kemarahannya pada dirinya sendiri dan merasa tersentuh.

Dia mengeluarkan sedikit kekuatan di lengannya yang panjang, lalu memeluk erat Febi di dalam pelukannya. Matanya memandang ke seluruh tubuh Febi. Mata Julian yang gelap membuat Febi gemetar, "Hanya memakai handuk, kamu berani berlari keluar?"

Ketika Julian mengatakan ini, Febi tiba-tiba menyadari betapa memalukannya dia saat ini.

Astaga!

Dia ... di bawah handuk, dia bahkan tidak mengenakan sehelai pun pakaian dalam.

Wajah Febi tiba-tiba menjadi merah. Dia memeluk tubuhnya dengan satu tangan dan mendorong Julian dengan tangan yang lain, "Lepaskan aku dulu! Aku ... aku pergi ganti baju."

Seperti apa penampilannya sekarang?

Baru selesai mandi, kulit seputih salju tersiram air panas hingga berwarna merah muda seperti bunga persik. Awalnya, Febi mengenakan handuk mandi dengan acak, setelah bergerak sejenak, handuk itu mengendur.

Mata Julian menjadi gelap.

Julian tidak melepaskannya, tapi malah menundukkan kepalanya dan bibirnya yang tipis menempel di leher Febi yang putih.

"Ah...." Febi tidak menyangka Julian akan seperti ini, dia tersentak kaget. Tanpa sadar dia berjalan mundur selangkah, tapi Julian malah menariknya kembali. Seluruh tubuh Febi melekat erat pada Julian.