1 Duri Yang Ditancapkan

"Apa? Ha-hamil? kamu hamil? Oleh Naran?" Sofia mundur beberapa langkah dari hadapan seorang gadis muda yang selama ini disebut sebagai sahabat olehnya. Dirinya mencoba mencerna apa sebenarnya maksud dari yang disampaikannya itu?

Gadis itu menunduk. Merasa sangat tertekan setelah mengakui dosa besarnya kepada Sofia. Ia bernama Ify, sahabat dekat yang paling dipercaya Sofia sejak SMA. Sembari mati-matian menahan isak tangis yang sulit ditahan, Ify mencoba meraih tangan Sofia, tetapi tangan itu langsung ditepis kasar.

"Nggak! Aku enggak percaya itu!" Sepasang mata Sofia berkaca setelah hatinya seperti diremas kuat hingga remuk.

"Maaf tapi ini kenyataan. Jadi, aku mohon tolong lepaskan Naran. Anak ini butuh ayahnya."

"Apa? Fy kamu gila, ya? Nyuruh buat lepasin calon suamiku sendiri?" tanya Sofia putus asa. Suaranya teramat pelan hingga terkadang tak jelas terbawa sapuan angin. "Kamu udah enggak waras!"

Kali ini Ify memberanikan diri menatap iris mata Sofia.

"Aku tahu ini gila. Jujur dalam lubuk hati aku minta maaf, tapi aku bener-bener minta tolong kali ini. Tolong batalkan pernikahan kalian."

Ify menarik Sofia ke dalam pelukannya, tetapi gadis itu meronta, mendorong kasar tubuhnya. Sofia terlalu marah.

"Pernikahan kami tinggal menghitung hari!" Sofia mengatakannya seraya menguatkan rahang ketika mengingatkan.

"Aku tahu, Sofia. Tapi ... aku juga butuh Naran. Tidak, sekarang anak ini juga butuh dia. Plis," mohon Ify tak lagi memedulikan harga diri, demi calon buah hati dalam rahimnya, apa pun akan Ify lakukan. Meski itu harus mengemis sekalipun.

Sofia menggeleng. Lantas memilih berlari, menjauh dari sosok sahabat yang berubah jadi pencuri cintanya itu.

Tidak, bagaimana mungkin Ify bisa setega itu? Bahkan kenangan termanis mereka ketika malam perpisahan SMA masih berputar-putar di kepala Sofia. Bagaimana mungkin kabar kehamilan sahabatnya adalah sebuah kenyataan yang menampar keras dirinya begitu kejam?

Naran, sosok lelaki yang sebentar lagi akan sah menjadi suaminya itu adalah ayah biologis calon bayi Ify? Sulit dipercaya. Akan tetapi, meski kenyataan pahit itu telah Sofia ketahui, dirinya tetap berdiri pada pendirian bahwa hatinya masih dipaksa untuk percaya akan kesetiaan Naran.

Di bawah langit yang mulai memudarkan cahayanya berganti kelabu, Sofia berlari di sepanjang jalan tersedu. Segunduk tanya masih berada di pikiran, dan kepada Naran lah ia ingin mengungkapkan semua tanya itu. Tentang kesetiaan lelaki itu, tentang kebenaran dari hal yang Ify katakan. Jika benar, sungguh tega seorang Naran. Lantas, ke manakah janji manis yang telah diucapkan selama ini? Komitmen yang telah disepakati? Apakah semua hanya bualan semata?

Sofia berhenti berlari ketika napasnya terasa tersenggal. Ia meraih ponsel dalam saku. Dalam pandangan sedikit remang akibat terhalang air mata, ia mencari-cari kontak WA sang calon suami.

Segera ia tekan tombol vidio call. Bahkan dalam keadaan hati yang telah hancur, ia berusaha memperlihatkan wajah cantiknya tanpa air mata. Selagi menunggu panggilan vidio darinya diterima, Sofia menghapus air mata.

Berdering, tetapi tak diangkat.

Jengkel. Itulah perasaan Sofia sekarang. Ia menghentikan taksi, berniat pergi mencari keberadaan Naran di rumah orang tuanya. Namun, tak jadi ketika Naran mengirim pesan personal padanya.

[Aku di rumah kamu. Cepatlah datang, Sofia]

"Pak, langsung putar arah!" Sofia tak membuang waktu. Gegas dirinya menyuruh sopir taksi putar balik menuju ke rumahnya.

Cemas-cemas Sofia berharap agar taksi segera tiba di halaman rumah. Meski sudah mencoba menghindari jalan yang macet, tetap saja perjalanan terasa lama. Terlebih ketika nomor Naran tak lagi aktif seusai pesan itu dikirim.

Setelah terjebak dalam perasaan cemas tak terkira, akhirnya Sofia tiba di rumah. Naran telah babak belur wajahnya. Lelaki itu telah habis dihajar oleh kakak Sofia. Beno namanya.

Semua terjadi karena pengakuan Naran kurang lebih dua puluh menit lalu. Karena permintaan pembatalan pernikahan yang dilayangkan oleh pihak keluarga calon mempelai pria, mereka akhirnya didesak agar segera mengatakan alasannya.

"Naran ... menghamili wanita lain. Maaf, ini kelalaian kami sebagai orang tua."

Alasan inilah yang akhirnya membuat Beno turun tangan. Seluruh anggota keluarga tak bisa menerima penuturan yang terlontar dari ayah Naran. Namun, Beno lebih tak terima, sehingga dia kehilangan kendali dan menghajar Naran tak ada ampun. Orang tuanya sudah mengira ini akan terjadi, tetapi mereka memilih membiarkan anaknya menjadi bulan-bulanan Beno, meski sebetulnya hal ini tak boleh dibenarkan.

Beruntung Sofia tiba sebelum lelaki itu benar-benar mati di tangan Beno.

Sofia menjerit, sedikit terkejut melihat keadaan ini. Sementara Naran babak belur terlentang di bawah lantai, kedua orang tuanya hanya duduk di sofa. Adapun calon mama mertua yang gemetaran, menangis dengan suara yang berusaha diredam, sang calon ayah mertua justru diam mematung memasang wajah marah yang tertahan. Terbukti dari tangannya yang dikepal begitu kuat.

Jeritan Sofia mengalihkan perhatian Naran. Mata yang membiru, bibir mengeluarkan darah, serta napas yang tampak tak teratur membuat Sofia bergeming.

Dalam keterkejutan yang menderanya, Naran merangkak menangis di bawah kaki Sofia, memohon ampun atas perbuatannya yang tak terpuji.

"Jangan begini, Naran. Bangun!" Sofia menarik bahu Naran sembari manahan emosi.

Naran bangun, tetapi ia begitu emosional.

"Kenapa harus dirusak wajahnya? Empat hari lagi kami menikah! Kalau bengkaknya tidak hilang sampai hari-H bagaimana?" Air mata Sofia luruh di pipi. Ia menyentuh, mengusap, meniup setiap luka di wajah Naran hasil karya kakaknya, Beno.

Gegas ibu Sofia bangkit dari duduk, menarik lengan anaknya lumayan kasar.

"Tak ada rencana pernikahan lagi, Sofia, sadarlah! Pernikahan kalian sudah batal! Tak sudi aku punya menantu berengsek seperti dia!" teriak ibu Sofia diiringi tangis pecah. Untuk menyadarkan anaknya, ibu yang kerap disapa Bu Halim ini mencengkram kedua bahu Sofia erat dan mengguncangnya.

Sofia masih tak terima, ia menatap Naran penuh harap. "Ran, kita tetap akan nikah, kan?" Berharap jika pernikahan mereka tetap akan dilanjutkan.

"Maaf, Sofia ...." Dan akhirnya kata yang tak pernah Sofia ingin dengar pun diucap Naran. Lelaki itu akhirnya hanya menambah luka di hati Sofia.

"Tapi Naran, empat hari lagi! Kamu tega!" Sofia histeris, tetapi itu tak mengubah apa pun. Naran tetap pada pendiriannya.

"Aku tidak bisa, Sofia. Aku harus tanggung jawab kepada Ify!" Naran menaikkan nada suaranya hingga terdengar seperti marah.

"Tapi aku gimana? Mimpi kita gimana? Kamu tega! Dasar bajingan!" makinya tak tertahan.

"Kita masih bisa membangun mimpi kita kalau kamu mau ...." Ucapan Naran menggantung begitu saja. Untuk sekadar mengucap kata tersebut, Naran terlampau takut kena bogem mentah lagi dari Beno.

Dahi Sofia mengerut. "Mau dimadu?" tanyanya memastikan. Dan diamnya Naran berarti jawabannya adalah iya.

"Berengsek! Jangan berani-berani mempermainkan adikku lagi!" Beno kembali melayangkan pukulan, tapi kali ini ditahan oleh Pak Salam, yakni ayah Beno dan Sofia.

Sofia ambruk ke lantai. Tak percaya jika Naran seberengsek itu. Dadanya teramat sesak setelah calon suaminya memutuskan membatalkan pernikahan. Menancapkan duri di hati Sofia yang sebelumnya telah dibuat hancur oleh pengakuan Ify, sahabatnya.

avataravatar
Next chapter