webnovel

Dinodai Suami Sendiri

Tyas terjebak dalam pernikahan yang dia rencanakan.

Oscar21 · Teen
Not enough ratings
10 Chs

Bibit Pelakor

Dengan tergesa, aku berjalan menghampiri mereka. Berdiri di sisi Zein, dan menepiskan tangan gadis yang sedang menyentuhnya. Dengan sigap aku langsung menggantikan posisi untuk merangkul lengannya. Dengan berwajah angkuh dan membusungkan dada, aku menantang dan menatap wajahnya. 

"Siapa kamu?" tanya gadis itu dengan wajah terkejut. 

"Kamu yang siapa? Berani megang-megang suami orang. Mau jadi pelakor, ya? Kepengen viral?" sindirku. 

"Eh, Buk. Ibuk yang jangan berani megang-megang cowok sembarangan. Ingat suami dan anak yang lagi nungguin di rumah."

Ha? Ibuk? Aku menoleh ke belakang, ke kiri dan ke kanan. Siapa yang sedang dia panggil Ibuk? Aku? Apa aku terlihat terlalu tua di matanya? 

"Eh, cewek minus. Minus mata, minus akhlak. Siapa yang kamu panggil Ibuk, ha?"

"Siapa lagi? Emang di sini ada orang lain?"

"Eh, berani kamu, ya." Aku menggulung lengan bajuku untuk menyerangnya. Mungkin akan menjambaq bulu matanya, lalu menggelitiki perutnya dengan kuku panjangku. Namun dengan menghela nafas Zein langsung menahan tubuhku. 

"Udah, udah. Kenapa bertengkar di sini? Nggak malu apa diliatin orang?" ucapnya. Dia terdengar sangat tegas. Uh, macho. 

"Siapa wanita ini, Mas?" Gadis itu kembali memelas. 

Mas, Mas. Mesra banget manggilnya. 

"Dia istri Mas. Mas sudah menikah. Jadi sebaiknya kita tidak usah bertemu lagi, ya."

Aku mengulas senyum melihat wajah gadis yang usianya sekitar dua puluhan itu mendadak kecewa. Bahkan tidak menyangka sama sekali. Apa dia pacarnya Zein, yang dia tinggalkan karena ingin menikah denganku? 

Huh, dasar laki-laki. Selalu saja begitu. Tega sekali meninggalkan kekasih hatinya demi bisa mendapatkan wanita yang baru. Tapi, ya sudahlah. Toh juga aku sudah membayar mahal Zein untuk ini. Jadi untuk saat ini, biar aku dulu yang memilikinya. Setelah nanti bercerai, terserah dia mau kembali sama gadis itu atau enggak. 

"Kamu bohong kan, Mas? Kamu cuman mau manas-manasin dan balas dendam sama aku, kan?"

"Enggak, Bela. Mas nggak pernah dendam sama kamu. Ini memang istri Mas."

Entah kenapa ada rasa bangga di dalam hati saat dia menyebutku sebagai istrinya. Seolah-olah aku merasa diakui dan dihargai. Dengan angkuh aku lagi-lagi merangkul lengannya. Kali ini lebih erat, hingga dia merasa terjepit. 

"Udah yuk, sayang. Aku pengen cepat-cepat pulang nih. Kan kita masih pengantin baru. Masih pengen berduaan terus sama kamu," rengekku manja, sambil menempelkan wajahku ke lengan kekarnya. 

Kulirik wajah gadis itu merah menahan marah. Matanya pun ikut memerah menahan tangis. 

"Kamu jahat, Mas. Aku nggak nyangka kamu bisa ngelupain aku secepat ini." Dia berjalan menjauhi kami sambil mengusap air matanya yang jatuh. Duh, kacihan... 

Huft... aku merasa lega. Akhirnya terbebas juga dari situasi seperti ini. Kulihat wanita itu sudah menjauh dan tidak terlihat lagi. Membuat aku melepaskan rangkulanku dan melirik ke arah Zein. 

Dahiku mengernyit, dia berdiri tegak bagai patung. Pipinya bersemu kemerahan. Aku menunduk ke arah bawah. Jangan-jangan.... Huwaaa.... aku berjalan cepat sembari mendorong troli belanjaan menuju ke kasir. 

Kami sampai di rumah menenteng belanjaan yang super banyak. Bisa untuk stok sampai bulan depan. Zein dengan telaten menyusun barang dengan rapi. Baik yang di kulkas atau pun kabinet dapur. 

"Cewek tadi tuh siapa?" tanyaku penasaran, sambil duduk dan memandori aktifitasnya. 

"Bela."

"Bela siapa? Pacar kamu?"

"Mantan. Kami udah putus tiga bulan yang lalu."

Tiga bulan? Berarti statusnya sudah jomblo dong, saat kupinang kemarin. Berarti bukan salahku kalau mereka putus. Wah, aku merasa lega. Karena Zein tidak seburuk dan sebanksad yang aku pikir. 

"Kenapa diputusin?"

"Dia yang mutusin. Katanya mau dijodohin sama cowok yang lebih baik dari aku."

"Emang kamu cowok nggak baik?"

"Kamu kan tau sendiri, Yas. Aku sama sekali nggak punya pekerjaan tetap. Mana ada keluarga yang mau menikahkan anak gadis mereka sama aku," ucapnya memelas. Ada rasa iba juga di hatiku mendengarnya. 

"Papi dan Mami mau, kok."

"Makanya itu, aku sangat menghormati mereka. Papi dan Mami itu istimewa di mataku."

Duh... so sweet. Pinter banget nih cowok ngeluluhin hati orang. Pantes aja Papi sama Mami sayang banget sama dia. Walau pun Zein tidak sekaya menantu-menatunya yang lain. 

"Trus, tadi kenapa dia mewek? Nggak jadi kawin?"

"Katanya sih begitu."

"Trus, ngajak balikan gitu?" Jantungku panas sendiri. 

"Kayanya juga begitu." Duh, makin panas nih. 

"Kamu mau?"

"Ya enggak, lah." Good. 

"Kenapa?"

"Kan aku udah punya istri. Emang kamu mau di poligami?"

What? Poligami? Stop. Ini bukan alur cerita seperti itu. Nggak ada poligami-poligamian. Walaupun alur cerita seperti itu tetap jadi novel favorit dan best seller di penerbitanku. 

"Awas aja kalo kamu sampek kepikiran kek gitu, ya? Pokoknya selama masa kontrak, kamu nggak boleh deket-deket sama cewek lain. Baca lagi isi perjanjian!" perintahku. 

"Iya, iya. Aku tau. Menafkahi satu istri aja aku belum sanggup. Gimana mau nambah lagi."

"Bagus deh kalau kamu tau diri."

"Ya udah, yuk. Udah malem."

"Ayuk kemana?"

"Ya tidur."

"Kalo mo tidur, ya tidur sendiri aja. Ngapain ngajak-ngajak. Beda kamar juga, kok."

"Lho, tadi katanya pengen cepat-cepat pulang biar bisa ehem-ehem. Aku udah siap nih." Dia berusaha membuka kancing kemejanya. 

"Eh, eh. Jangan macam-macam kamu, ya." Aku yang berada di seberang meja makan menunjuk-nunjuknya. 

"Nggak macem-macem, kok. Cuman satu macem aja."

"Awas kalau kamu deket-deket, ya." Aku bergerak menjauhi. "Mau, masuk penjara?"

"Nggak papa deh. Yang penting malam ini enak," ucapnya sambil terus membuka kancing kedua. 

"Dasar museum!" teriakku. "Papi... Mami... " Aku berlari menuju ke kamar. Kudengar suara tawanya seperti sedang mengerjaiku. Akupun masuk dan menutup rapat pintu kamar dan menguncinya. 

Huft... dasar kucing garong. 

.

Pagi-pagi sekali aku menuju dapur, bermaksud hendak membuat secangkir teh. Namun lagi-lagi aku diberi kejutan dengan dua cangkir teh dan dua piring roti tawar yang sudah terpanggang. 

"Pagi, Sayang," sapanya penuh senyuman. Manis sih. 

"Sayang, sayang. Norak tau!" desisku. 

"Lah, kan kamu sendiri yang selalu manggil aku kek gitu. 

"Itu kan kalau di depan orang, Zein. Biasa aja napa." Aku menyeruput teh dan menggigit roti bakar.  Dia ikut duduk di depanku. Lalu melakukan hal yang serupa. Kuhirup aroma shampo dari rambutnya. Dia memang terlihat segar seperti habis mandi. 

"Kamu keramas, ya?"

"Iya, wangi, kan? Ini sampo yang kita beli semalam. Pas banget untuk aku keramas pagi ini," ucapnya menggoda. 

"Ngapain tuh pagi-pagi keramas?" aku mengangkat sebelah bibirku ke samping. Risih. 

"Abis tadi malam kamu nolak aku sih, jadinya ya...." Dia tersenyum nakal sambil melirik ke arahku. 

"Ya, apa?"

"Ya... gitu deh."

"Ihh... Zein... kamu menjijikkan. Jorok...." Aku berteriak sambil memejamkan mata. Dia terkekeh geli melihatku yang kesal dan jijik mendengar kata-katanya. 

"Kamu tuh yang jorok. Udah sana mandi. Aku manasin mobil dulu, ya."

"Iya, iya. Dasar bawel."

"Kamu yang bawel."

"Zein jorok...." Dia kembali terkekeh. 

                              **********