Pikiranku benar-benar sedang kalut. Mengingat kejadian di kontrakannya David. Bagaimana Reyna ada di sana? Apa yang akan terjadi jika dia mengadu sama, Reyhan. Sementara aku belum mendapatkan hartanya, Reyhan. Aku harus mengurus semuanya, biar perempuan itu tak membuka mulut di hadapan, Reyhan.
Mataku mulai mengantuk. Membuatku merasa sedikit lelah dan memejamkan mata dalam kekalutan. Berharap hari bisa segera pagi supaya aku bisa bertemu dengan, Reyna.
*******
POV REYHAN
Seperti biasa, pagi ini saat bangun tidur aku meraba tanganku mencari seseorang yang berada di sampingku. Tiba-tiba aku mengingat akan sosok, Reyna. Dia akan bangun terlebih dulu, menyiapkan sarapan untukku. Dia juga yang selalu menyiapkan pakaian kerjaku. Aku menghela nafas panjang, lalu membuangnya kasar. Kemudian, bangkit dan segera pergi mandi.
Sesudah selesai mandi, tiba-tiba aku pergi menuju ruang makan. Biasanya Reyna duduk di sana dan memintaku untuk sarapan. Namun, hari ini meja itu kosong. Tak ada apapun di sana.
"Mas, kenapa bengong? Ayo cepetan berangkat ke kantor!" suara Keyla mengejutkanku. Dengan langkah gontai aku berjalan menuju mobil dan siap berangkat ke kantor.
Dalam 30 menit, aku pun sampai di kantor. Keyla berjalan memeluk erat lenganku. Semua mata menatap ke arah kami dengan tatapan yang sulit aku artikan.
*******
Alhamdulillah, dapat rumah yang sudah langsung bisa ditempati tanpa harus membersihkannya terlebih dahulu. Sekarang saatnya aku berkarir untuk masa depanku dan kedua orang tuaku. Akan aku buktikan kepada dunia, kalau aku bisa sukses. Meskipun aku seorang janda, tapi harus bisa menjadi janda yang berkelas.
Hari ini aku dan kedua orang tuaku, melakukan pindahan ke rumah kontrakan. Diantar oleh Haris. Rumah ini ternyata sangat bersih dan rapi, tidak rugi aku membayar sewa dengan lumayan mahal. Aku dan Haris memilih duduk di depan rumah, menikmati angin sore yang begitu cerah.
"Nak Haris! Reyna! Makan dulu!" Terdengar Ibu memanggil dari arah meja makan. Kami saling berpandangan, sama-sama tersenyum dan berjalan ke arah meja makan.
"Wah Ibu cepat sekali masaknya," ujar Haris. Pemuda tampan itu langsung menarik kursi dan duduk di samping Bapak.
"Masak begini itu sangat mudah dan tidak perlu lama-lama," ujar Ibu kembali. Untung saja tadi mampir ke supermarket membeli keperluan dapur. Dan semuanya yang membayar, Haris.
Kami menikmati masakan Ibu dengan penuh bahagia. Nikmat yang pantas aku syukuri. Ditengah hancurnya rumah tanggaku, masih ada kedua orangtuaku dan seorang sahabat yang selalu ada untukku, memberi semangat.
Kami bercanda penuh hangat, melupakan beban hati dan pikiran. Melupakan segala masalah yang membuat hati terasa sesak.
"Ibu, Bapak, Reyna! Terimakasih untuk makan sore ini. Aku pamit pulang dulu," ujar Haris setelah dirasa cukup lama waktu untuk mengobrol dan menikmati masakan dari ibu.
******
Pagi ini terasa lebih indah. Aku buka pintu jendela, sambil menatap matahari terbit yang baru saja memancarkan sinarnya. Ku hirup udara pelan-pelan melalui hidung dan mengeluarkannya dari mulut dengan perlahan. Terasa sangat damai. Ingatanku kembali tertuju kepada, Mas Reyhan. Namun aku segera mangalihkannya. Jujur, kadang aku masih mengingatnya. Untuk apa aku mengingat kenangan bersamanya? Bukankah dia sekarang sudah bahagia dengan istri barunya?
Aku duduk sejenak di depan lemari sambil merapikan pakaianku yang masih berada di dalam koper kemarin. Lalu merapikan sprei tempat tidurku yang terlihat berantakan.
Tak banyak yang kulakukan sepagi ini, selain menghabiskan waktu dengan bermain ponsel. Tadinya aku ingin keluar untuk jalan pagi sebelum masuk kerja, tapi hujan rintik-rintik datang. Sehingga aku memilih untuk berselancar ria di media sosialku.
Hari sudah menunjukkan pukul 06:00 pagi, waktunya aku bersiap-siap untuk berangkat kerja. Semoga menjadi awal yang lebih baik untuk kehidupanku mendatang.
Setelah sarapan pagi, yang sudah disiapkan oleh ibu, aku bergegas berangkat kerja dengan berjalan kaki. Ketika aku hampir sampai di kantor, tiba-tiba ada sebuah mobil yang hendak menabrakku. "Awww! Hati-hati dong kalau mengemudi!" teriakku.
Mobil itu berhenti tak jauh di depanku. Dan seseorang turun dari dalam mobil. Mataku terbelalak saat melihat sosok perempuan dengan baju kerjanya, berjalan mendekat ke arahku.
"Kamu!" Emosiku tiba-tiba berada di ubun-ubun. Dia menyunggingkan senyum sinis, tatapan matanya tajam menyiratkankan kebencian.
"Iya, kenapa? Ini baru permulaan, Reyna. Ingat! Pertemuan kita kemarin, saat aku bersama David, jangan sampai Reyhan tau!" sinis Keyla. Lalu ia mendorongku hingga tersungkur.
Tiba-tiba ada seseorang yang membantuku berdiri. "Kamu tak apa-apa, Reyna?" tanya Haris yang tak aku sadari kedatangannya.
Aku bangun dan berdiri, lalu menatap mata Keyla tajam. Rasanya sudah hilang kesabaranku dibuatnya. "Tak cukup kamu merebut semua dariku, Keyla? Lalu, sekarang kamu mengancam ku. Kesalahan terbesarku adalah selama ini aku sudah menganggap kamu sahabat baikku, ternyata tega menusuk aku dari belakang!" ucapku tak kalah sinisnya.
"Jadi, kamu masih mengharap kembali sama, Mas Reyhan? Apa kamu masih mencintai dia? Laki-laki yang sudah meniduri sahabatmu ini?" ucapnya dengan telunjuk tepat mengarah di depan wajahku.
Emosiku kian terbakar melihat perlakuan dia, ingin aku menjambak rambutnya, lalu mencakar-cakar wajahnya. Tanganku mengepal kuat di bawah sana, siap untuk menghantam mulut dia yang pedas.
"Aku tak akan merendahkan harga diriku untuk mengemis cinta, Reyhan!" ketusku.
Cuih!
Keyla meludah di hadapanku. Aku yang merasa tak terima di perlakukan seperti ini, aku melempar sebatang kayu yang ada di sekelilingku. Niat hati ingin melempar kakinya, tapi ternyata mengenai perutnya.
"Aw!" teriak Keyla. Dia merintih kesakitan.
"Astaga, aku lupa kalau Keyla sedang hamil," mendadak aku menjadi panik.
"Apa, Keyla, hamil?" tanya Haris yang ikutan panik setelah mendengar celotehku. Aku diam saja, karena otakku memikirkan kandungannya.
"Haris! Cepat bawa Keyla ke rumah sakit!" ujarku. Haris segera bergegas.
"Aduh bagaimana ini? Semoga tidak terjadi apa-apa pada kandungan, Keyla." gumamku. Tetap saja ada ketakutan yang luar biasa dalam hatiku. Panik dan juga takut bercampur menjadi satu.
Gawat kalau sampai terjadi sesuatu pada kandungan Keyla bagaimana? Kenapa aku bisa ceroboh seperti ini? Habis mulut dia juga pedes kaya bon cabe. Wajar aku emosi.
Aku segera menghubungi Mas Reyhan. Memberitahu kalau Keyla di bawa di rumah sakit. Sesampainya kami di rumah sakit, selang beberapa menit Mas Reyhan datang dan menghampiri kami.
"Apa yang terjadi sama, Keyla? Kenapa dia bisa bersama kalian?" tanya Mas Reyhan. Ada gurat kepanikan di raut wajahnya. Sebegitunya dia mengkhawatirkan istri barunya itu.
"Maaf! Mas Reyhan! Tadi aku tak sengaja sudah melempar perut dia dengan kayu," jawabku menunduk. Jujur aku takut menghadapinya.
"Apa? Sudah gila kamu? Kalau sampai terjadi sesuatu pada kandungan Keyla, kamu orang pertama yang harus bertanggung jawab!" ujar Mas Reyhan penuh emosi. Aku hanya diam dan menunduk.
"Wajar Reyna melakukan hal itu pada, Keyla. Istri kamu itu bermulut pedas. Kamu sebagai suaminya, harusnya ajarin istri, biar bisa jaga itu mulut," tutur Haris seakan tak rela kalau aku yang disalahin.
Ditengah-tengah perdebatan kami, seorang laki-laki botak dengan seragam serba putih datang dari ruangan di mana Keyla di periksa. Jujur aku sangat was-was, juga takut.
"Bagaimana, Dok? Keadaan istri saya," tanya Mas Reyhan kepada laki-laki yang berseragam tersebut.