Percy bersama yang lain baru sampai di kediaman Angga setelah melakukan ngidam aneh ala Princes Leonna. Ia memasuki kamar mandi di kamar Rasya untuk buang air kecil, karena tadi sempat mandi di rumah Dhika.
Rasya ikut masuk ke dalam kamar dan duduk di sisi ranjang, ia tidak menyadari keberadaan Percy di dalam kamar mandi.
"Sayang, kamu gak boleh ngiri sama tante Leonna yah karena banyak sekali yang memenuhi ngidamnya." Mendengar penuturan Rasya, gerakan Percy yang hendak membuka pintu terhenti. Ia sedikit mengernyitkan dahinya mendengar penuturan Rasya yang ambigu.
Tak lama ketukan pintu terdengar di kamar mereka, Percy perlahan membuka pintu kamarnya dan melihat Rasya membuka pintu itu. Disana ada Angga tengah membawa nampan berisi makanan dan segelas susu.
Percy berdiri terhalang ruangan walk in close yang berada di dekat kamar mandi membuat mereka tak sadar ke beradaan Percy.
"Sayang, ini minum dulu susunya. Dan ini kue bikinan Mamah kamu sesuai ngidam kamu yang pertama."
Deg
Percy mematung di tempatnya mendengar penuturan Angga barusan.
Rasya Hamil...????
"Papa, apa Mama-?"
"Maafkan Papa sayang, Mama kamu memergoki Papa membuat susu hamil kemarin untukmu. Dia langsung curiga kamu sedang hamil," jelas Angga. "Kamu tidak marah kan?"
"Tidak apa-apa Pa, pantas saja Mama mau membuatkan cake ini," kekehnya.
"Makanlah yang banyak, kalau kamu ngidam lagi beritahu Papa atau Mama yah." Angga membelai kepala Rasya.
"Iya Pa, terima kasih kue nya."
"Baiklah sekarang habiskan dan istirahatlah," ucap Angga mengecup kepala Rasya.
"Good night Papa,"
Percy beranjak memasuki ruangan walk in close dengan wajah kaget dan kalut.
'Kenapa dia tidak memberitahuku? Apa maksudnya ? dia sungguh tak menganggapku sebagai suaminya?' Percy terduduk dengan bersandar ke salah satu lemari dengan mengusap wajahnya dengan gusar.
Tak lama terdengar suara pintu tertutup, menandakan Rasya sudah keluar dari dalam kamar.
***
Percy memutuskan tidur di apartementnya dengan alasan pekerjaan ke mertuanya, ia berdiri di dekat jendela kamar dengan meneguk wine di dalam gelas yang ia pegang. Pandangannya lurus menerawang ke depan.
Seketika ucapan Hezky mengusik pikirannya, bayangan-bayangan saat mereka melakukannya di malam itu kembali mengusik pikirannya. Percy sedikit heran saat mereka melakukan untuk kedua kalinya, itu seperti tak asing lagi dan bahkan ia mengetahui letak kelemahan Rasya di area mana.
Sekali lagi ia meneguk habis minumannya hingga terasa membakar kerongkongannya.
Sekarang Rasya hamil, dan Percy yakin itu anaknya. Mereka melakukannya dalam jarak 1 bulan lalu sebelum ia ke Austria. Tetapi kenapa? Kenapa Rasya menyembunyikan segalanya?
Kehamilannya...
Malam pertama mereka, bahwa Percy lah yang pertama untuknya...
Percy ingin mempercayainya, tetapi tak ada satu katapun terucap dari bibir Rasya untuk mengatakan kebenarannya. Percy bukan tipe pria yang peka, dia tidak bisa menyimpulkannya tanpa ada penjelasan.
"Rasya," gumamnya. "Hah..."
Ia menengadahkan kepalanya ke atas, menatap langit-langit kamar. Ia merasa bingung dan merasa tak paham akan semua ini. Rasya seakan membuat teka teki untuknya,
Tetapi satu hal, yang Percy yakinin saat ini. Hatinya sudah tidak lagi untuk Rindi tetapi untuk Rasya, beberapa hari berpisah tanpa kabar membuat Percy tersiksa karena rasa sesak di dadanya.
Ia teringat sesuatu, iapun segera beranjak menuju lemari berkasnya dan mencari sesuatu. Ia menemukan map merah itu.
"Surat kontrak ini harus gue batalkan," gumamnya, ia mencari sesuatu untuk membakar surat itu. Saat membuka laci, gerakannya terhenti saat melihat tespeck di sana. Ia mengambil tespeck itu dan tersenyum kecil.
Ia merasa tidak percaya akan segera memiliki anak dari sahabatnya sendiri.
Lamunannya buyar saat suara handphone terdengar, "Hallo,"
"..."
"Oke, aku ke kantor sekarang."
Karena buru-buru, Percy memasukan map itu begitu juga dengan tespeck ke dalam laci dan beranjak pergi meninggalkan apartement.
***
Percy baru saja sampai di kamar Rasya setelah menyelesaikan sesuatu bersama Adit, asistennya. Ia juga sempat menemui Angga dan menanyakan kebenaran tentang kehamilan Rasya, Angga menjelaskan segalanya dan meminta Percy untuk tidak memarahi Rasya. Percy paham, mungkin Rasya takut dirinya tidak mengakui kehamilan itu.
Percy menjelaskan segalanya ke Angga apa yang terjadi, dan ia juga mengatakan kalau restaurant milik orangtua Rocky sudah berhasil di belinya dengan harga yang sangat tinggi. Tetapi untuk Rasya, uang segitu belum apa-apa. Mungkin dengan cara ini, ia bisa menebus kesalahannya yang sudah berlaku kasar padanya. Dan syukurlah Angga mampu memahaminya, Angga hanya meminta satu hal, jangan pernah lukai lagi Rasya dan Percy harus menjaga dia kalau memang sudah mencintainya. Dan Percy berjanji pada Angga untuk hal itu.
Saat ini Ia tengah menatap Rasya yang terlelap dalam keremangan malam.
Ia berjalan mendekati Rasya dan duduk di sisi ranjang, tangannya terulur untuk merapihkan rambut Rasya dengan lembut. "Maafkan sikapku selama ini,"
"Aku sudah menuduhmu dan membentakmu. Maafkan aku," gumamnya, tatapannya turun ke bagian perut Rasya yang masih rata. Ia mengusapnya dengan lembut dan seketika air matanya luruh membasahi pipi.
Ada rasa hangat dan haru saat menyentuh perut Rasya itu. "Bersabarlah Sayang, setelah Papa menyingkirkan Rocky, kita akan berlibur dan bersenang-senang. Untuk sekarang jagalah Ibumu, untuk Papa." Percy menyecup perut Rasya, membuat Rasya sedikit bergerak kecil tetapi tidak terbangun.
"Besok aku akan mengusir bajingan itu dari restaurant. Dan aku akan memberikannya untukmu, kamu bisa puas bernyanyi di sana dan mengelola restaurant itu." Percy tersenyum kecil menatap wajah Rasya yang begitu tenang.
Flashback Off
Percy menatap nanar map merah di hadapannya, di dalamnya ada beberapa berkas kepemilikan restaurant dan juga tiket honeymoon ke London, bahkan Percy sudah menyiapkan hotel tepat di depan Big Ben atau biasa di sebut Menara Jam. Percy sudah meminta Adit menyiapkan honeymoon terindah di sana, ia ingin membuat Rasya bahagia sebagai permintaan maafnya.
Tetapi belum sempat mereka pergi, Rasya malah lebih dulu meninggalkannya.
Percy mencengkram kuat map itu, air mata kembali merembes membasahi pipinya. Ia tidak tau lagi harus mencari Rasya kemana. Ini sudah seminggu berlalu dan Percy sudah berusaha mencari Rasya di bantu brotherhood yang lain. Tetapi belum ada hasil,
Tak lama Percy menerima telpon dari sang Mama, ia mengatakan kalau Pretty pulang ke rumah dengan keadaan menangis. Dan tanpa menunggu lama lagi, Percypun segera beranjak menuju ke rumahnya.
***
"Percy hentikan!" Verrel datang menahan tubuh Percy yang tengah memukuli Datan. "Datan pulang,"
"Tapi-"
"PULANG SEKARANG!" mendengar bentakan dari Verrel, Datanpun berlalu pergi meninggalkan tempat itu setelah melirik ke atas dimana kamar Pretty berada.
"Loe gila, loe bisa membunuhnya!" bentak Verrel sedikit mendorong Percy.
"Dia nyakitin adik gue!"
"Lalu apa bedanya sama loe yang menyakiti Rasya hingga dia juga meninggalkan loe?" pekik Verrel.
"Gue dan Datan itu beda, dia sengaja sedangkan gue nggak!"
"Loe yakin?" pertanyaan Verrel membuat Percy terdiam, ia menghembuskan nafasnya jengah dan duduk di kursi yang ada di teras rumah diikuti Verrel.
"Apa gue begitu menyakitinya." Ia kembali menangis dengan menutup wajahnya membuat Verrel merasa iba.
"Kita masih berusaha mencari keberadaannya."
"Tetapi hasilnya masih belum ada, ini sudah seminggu berlalu. Bagaimana keadaannya dan bayinya." Percy terlihat begitu kalut, ia mengusap matanya yang berair dan menarik nafasnya dalam-dalam untuk mengisi rongga dadanya yang terasa kosong.
"Percayalah semuanya akan baik-baik saja, kita hanya perlu mencari keberadaan Hezky. Gue yakin dia tau dimana Rasya."
"Gue mencintainya, dan bodohnya gue baru menyadarinya sekarang." Verrel hanya terdiam dan menatap lurus ke depan.
"Takdir tuhan memang tidak bisa kita kendalikan, sesuatu yang biasanya ada di depan mata kini menghilang. Bukankah ini adalah permainannya yang begitu kejam?" ucap Verrel.
"Apa ini karena hukuman untuk gue?"
"Tidak ada yang tau, entah ini hukuman atau pelajaran. Tetapi sebaiknya loe jangan berhenti menyerah, tetap berusaha cari mereka." Percy hanya mampu diam seribu bahasa.
***
Malam itu Daffa mengajak Rindi ke sebuah pesta perayaan ulang tahun perusahaan sahabatnya. WT Corp Group adalah perusahaan yang sepak terjangnya melesat sukses dalam kurun waktu yang begitu singkat setelah lama hanya merupakan perusahaan kecil. Bahkan sekarang mampu menyaingi perusahaan Mahya, tetapi Okta tidak diam saja. Ia melakukan kerjasama dengan perusahaan ini hingga dua perusahaan itu melesat hebat hingga keluar Negri.
Rindi awalnya menolak karena keadaannya tetapi Daffa memaksanya.
Dan disinilah mereka sekarang, di salah satu hotel milik keluarga Mahya yang terbilang paling besar dan mewah di Jakarta. Daffa membopong tubuh Rindi dan mendudukannya di kursi roda.
Mereka sampai di sana, dan begitu banyak sekali orang, bahkan beberapa kolega penting yang Rindi ketahui sebagai client Papanya. Daffa mendorong kursi roda itu menuju ke depan dimana meja bundar yang di tempati beberapa orang berjas formal.
Semua mata tertuju pada mereka, apalagi mereka mengenal seorang Daffa. Para wanita terdengar menggunjing dan saling berbisik-bisik membuat Rindi meremas tangannya sendiri. Daffa mengambil tangan Rindi dan meremasnya membuat ia menengadahkan kepalanya menatap Daffa. "Tenanglah,"
"Pantas semua karyawan wanita menatap ke arah pintu, ternyata sang idola sudah datang." Ucapan itu membuat Daffa dan Rindi menoleh ke seorang pria tampan yang memakai tuxedo hitam berdiri tak jauh dari mereka.
"Davero, selamat bro." Daffa memeluk Dave singkat. "Loe jadi lebih terkenal daripada gue, sebagai pengusaha muda sukses, padahal baru selesai kuliah S2."
"Apa yang sulit bagi gue," ucapnya dengan sombong, yah itulah Davero.
"Oh iya kenalkan gadis cantik ini kekasih gue, namanya Rindi." Ucap Daffa memegang kedua pundak Rindi.
Rindi tersenyum ke sosok Pria tampan yang memiliki mata abu yang sangat tajam. Rahangnya terpahat tegas dan bersih.
Ia menampilkan senyumannya dan menyodorkan tangannya ke hadapan Rindi. "Davero,"
"Rindi,"
"Gadis yang cantik," ucapnya saat melepaskan pegangan mereka membuat Rindi tersenyum.
Rindi hanya memperhatikan Daffa dan sahabatnya itu berbicara seraya menatap seorang gadis cantik tak jauh dari mereka.
"Dia namanya Agneta," ucap Dave membuat Daffa mengangguk-angguk dan mereka kembali berbicara dengan sedikit candaan. Rindi hanya memperhatikan saja.
"Daffa," panggilan itu membuat membuat mereka bertiga menoleh ke sumber suara dimana seorang wanita paruh baya berdiri di sana. Wajahnya terlihat cantik walau sudah tak muda lagi, ia memakai pakaian yang terlihat glamour dan elegant.
Daffa terlihat menatap sinis wanita itu, "Tidak adakah pelukan hangat untuk Mamamu," serunya membuat Rindi sedikit kaget. Ternyata dia adalah ibunya Daffa.
"Dev, gue ke tempat makan dulu. Ayo Rin," Daffa mendorong kursi roda yang di duduki Rindi menuju ke taman.
Suasana di sini tak seramai di dalam, Daffa menyodorkan segelas wine ke Rindi. "Makasih,"
Daffa tak menjawabnya, ia lebih memilih berdiri di samping Rindi dengan tatapan kosong ke depan.
"Sepertinya hubungan kalian tidak terlalu baik," ucap Rindi.
"Dia menyelingkuhi Papaku," ucapnya membuat Rindi terdiam. "Aku memergoki mereka sedang berhubungan seksual di kamar utama yang biasa di tempati Papa dan wanita jalang itu!"
Rindi dapat melihat kilatan amarah di mata Daffa, rahangnya terlihat mengeras dan kedua tangannya mengepal kuat. Rindi paham kondisi Daffa saat ini.
Ia meraih tangan Daffa dan mengusap kepala tangannya membuat Daffa menoleh padanya. Hanya senyuman lembut yang menenangkan yang bisa Rindi berikan membuat Daffa merasa begitu tenang.
"Kamu wanita pertama yang bisa membuatku merasakan bahagia sekaligus sakit," kekehnya. "Aku mencintaimu." Daffa mengusap kepala Rindi dan mengecup puncak kepalanya dengan lembut.
Rindi hanya mampu menampilkan senyumannya.
Tak lama ada beberapa orang yang mengajak Daffa berbicara, Daffa harus meninggalkan Rindi sendirian di sana.
"Kau di sini rupanya," mendengar itu membuat Rindi menoleh dan tatapannya sedikit melebar saat ibu Daffa berdiri di sampingnya dengan angkuh seraya memegang gelas minuman.
"Emm, hai Tante."
"Saya tidak suka berbasa basi. Jauhi Daffa."
Deg
Rindi mematung di tempatnya dengan tatapan yang berkaca-kaca.
Haruskah terulang kembali.....
"Tanpa harus aku jelaskanpun kamu pasti tau diri, lihatlah kondisimu sendiri saat ini. Bagaimana bisa kamu mengurusi Daffa kalau kamu sendiri tidak bisa mengurus dirimu sendiri," ucapnya dengan sarkasis.
Rindi mengepal kuat dan sekuat tenaga menahan tangisannya sendiri. "Maaf Tante, tetapi sa-"
"Sudahlah jangan mengatakan kalau Daffa yang mengejarmu. Saya minta jauhi putra saya, dia tidak sebanding denganmu. Paham!" mendengar bentakan itu air mata Rindi sudah ingin jatuh.
Ibu Daffa berlalu pergi meninggalkan Rindi sendirian, sesak di dada semakin menghimpitnya. Ia beranjak untuk pergi meninggalkan tempat itu.
Tetapi gerakannya terhenti saat beberapa wanita menghadang dirinya. Wanita itu mentertawakan Rindi yang begitu percaya diri untuk bersama Daffa sang aktor terkenal. Mereka mencaci Rindi dan menghina kondisi Rindi yang cacat,
Rindi tak tahan lagi, ia segera berlalu melewati mereka tetapi naas, mereka mendorong kursi roda Rindi hingga jatuh ke dalam kolam renang.
Rindi sangat syok, kakinya tak mampu di gerakan sama sekali. Ia bahkan tak bisa mencapat permukaan. Hingga suara berisik terdengar di sisi kolam, seseorang terdengar menjatuhkan dirinya ke dalam kolam renang dan menolong Rindi.
Pria itu adalah Daffa yang membawa Rindi ke sisi kolam, Rindi terlihat terbatuk-batuk dan merasa sangat kedinginan. "Kamu tidak apa-apa kan?"
Daffa sudah duduk di sampingnya dengan tubuh yang basah.
"Rindi," panggilan itu membuatnya menoleh.
"Om Okta," ucapnya merasa senang sekali melihat kedatangan Okta di sana.
"Anda mengenalnya tuan Oktavio," tanya ayahnya Dave.
"Iya, ini keponakan saya. Siapa yang melakukan ini?" teriaknya mulai geram. Ia tau Rindi bukanlah gadis yang ceroboh.
Semuanya diam tidak ada yang menjawab. "Dia adalah putri kesayangan dari Arseno Basupati pemilik perusahaan alat komunikasi terbesar di Indonesia. Dan jangan harap kalian bisa lepas atas tindakan ini. Alifah,"
"Iya Pak," ucap Alifah sekretaris dari Oktavio.
"Minta Roy untuk menyelidiki ini, taman ini tersedia CCTV."
"Baik Pak,"
"Maafkan kami Mr. Okta." Ucap ayah Dave.
Okta tidak menjawabnya dan lebih memeriksa kondisi Rindi yang menggigil kesakitan dan terlihat terisak. Bahkan pertanyaan Daffa tak ia jawab.
"Om, antarkan aku pulang." Bisiknya.
"Baik Sayang, ayo kita pulang."
"Aku bisa antarkan kamu pulang, Rin."
"Aku akan pulang dengan om Gator saja," ucapnya tanpa ingin menatap Daffa.
Oktapun membopong tubuh Rindi dan membawanya pergi meninggalkan orang-orang di sana. Daffa hanya memperhatikan mereka yang semakin menjauh dengan tatapan bingungnya.
Tatapannya mengarah ke arah Ibunya yang terlihat memalingkan wajah dan beranjak pergi meninggalkan tempat itu.