81 Chapter 78 : Diego and Irene's Wedding Party [2]

Beberapa jam kemudian...

At Castle Hotel. West Binai Road No.600, Shahekou, Dalian—Tiongkok. 07:30 PM.

Duduk di kuris meja riasnya, Irene menoleh begitu mendengar suara pintu kamarnya terbuka. Ternyata pelayan hotel. Irene hanya melihatnya sekilas lalu kembali menatap cermin. Irene sedang berdandan, tadinya ada Jung Hana yang membantunya berhias, tapi gadis itu kini tengah keluar untuk mengambil beberapa alat make up lagi.

Satu pelayan wanita mendekati Irene, menyentuh bahunya. "Nyonya."

Irene tidak menoleh, hanya menatap wajah pelayan itu lewat pantulan cermin didepannya. "Ada apa?"

Pelayan itu menyuruh pelayan wanita lain dibelakangnya untuk menyerahkan meja dorong berisi makanan yang sangat penuh ke tangannya. "Kami membawakan sarapan untuk Anda, Nyonya. Ini vitamin Anda, roti gandum selai, oatmeal, almond, jeruk, ikan salmon, sayuran dan susu untuk Anda. Mohon untuk memakan semua ini, Nyonya. Minum vitamin setelah Anda habiskan makanannya. Ini perintah dari Tuan Alvaro."

Irene menghela napasnya. Lagi. Diego benar-benar suka sekali menyuruhnya makan.

"Nanti akan ku makan. Katakan pada Tuanmu, aku bisa tambah gendut, Tedy bear!" ucap Irene kesal, lalu fokus berdandan lagi.

Pelayan itu mengedipkan matanya berkali-kali, tidak tahu harus menjawab apa mendapat perintah dari Irene. "Iya, Nyonya."

Kemudian pelayan itupun pergi. Begitu mereka berdua keluar saat itu juga Jung Hana masuk.

Jung Hana berjalan ke arah Irene dengan kotak besar ditangannya. Irene tersenyum, matanya memindai gadis itu—mata bulat, hidung mancung, wajah tirus, kulit putih, masih muda, langsing. Cantik. Sempurna. Kemudian senyum Irene mendadak hilang. Dia berpikir—Jung Hana tidak seperti dirinya. Dia gendut. Perutnya besar, tidak seperti dulu. Oh, God... Jung Hana benar-benar cocok menjadi selingkuhan Diego.

"Nona, maaf membuat Anda menunggu lama." Hana tersenyum tidak enak.

"Tidak. Tidak apa." jawab Irene cepat. "Hana, apa aku boleh minta bantuanmu?" tanya Irene lembut.

"Tentu saja, Nyonya."

"Kau lihat makanan ini?" Irene melirik makanan di sebelahnya. Hana mengikuti arah matanya, kemudian mengangguk. "Aku ingin kau makan separuh makanan ini. Perutku tidak akan muat. Aku mohon..." pinta Irene sembari menatap Hana lekat.

"Tapi Nyonya, Anda kan sedang hamil. Anda tidak boleh kekurangan makanan. Jika aku ikut makan nanti kau malah—"

"Ku mohon..." potong Irene cepat, makin menatap Hana lekat.

Sikap Irene membuat Hana bingung harus apa. Menghembuskan napas, Hana kemudian menatap makanan itu dan menelan ludah. Kebetulan sekali, dia juga sebenarnya belum sarapan. Lagipula makanan sebanyak itu juga pasti tidak akan habis jika hanya untuk satu orang.

"Baiklah, Nona. Terimakasih banyak." ucap Hana.

Irene tersenyum, lalu mereka mulai untuk makan. Lima belas menit setelahnya, mereka akhirnya selesai dan Hana pergi keluar menuju dapur untuk menaruh alat makan bekas mereka.

Dan bertepatan dengan itu, sosok lain tiba-tiba membuka pintu kamar Irene. Irene yang duduk di meja riasnya menoleh, menatap ke arah pintu.

Irene langsung mengerutkan keningnya. "Kau?" ucapnya tak percaya, Irene bahkan langsung berdiri sembari mengepalkan tangan.

Raka menyeringai. "Hi, Mrs. Alvaro." sapanya.

"Lancang sekali kau masuk ke kamarku!" teriak Irene marah. Memang, setiap kali Irene melihat Raka, Irene tidak bisa menahan emosinya.

"Ssttt....jangan berisik. Nanti ada yang dengar." Raka menempelkan jari telunjuk di depan bibirnya, suaranya pelan mirip bisikan.

Mendengar itu Irene semakin marah. "Apa maksudmu?! Keluar darisini! Keluar!" teriaknya kesal.

Bukannya Raka menurut, justru pria itu melakukan hal sebaliknya. Raka malah menutup pintu kamar lalu berjalan ke arah Irene.

Melihat apa yang dilakukan Raka membuat Irene melotot. "Kenapa kau tidak keluar?! Aku bilang keluar!"

Raka terkekeh. "Sayang...aku baru saja masuk, kenapa kau tega mengusirku keluar? Aku bahkan belum menyentuhmu." ucapnya santai, terus berjalan.

Irene menggeleng ketakutan, sementara kakinya melangkah mundur hingga punggungnya menempel pada dinding. Hal yang paling tidak diinginkan Irene malah terjadi. Irene sama sekali tidak menduga Raka akan masuk ke kamarnya. Dan, oh Tuhan! Dimana suaminya itu?! Kenapa Diego membiarkan pria sialan bernama Raka masuk?!

"Berhenti disana! Berhenti! Kalau tidak suamiku akan menghabisimu!" teriak Irene panik ketika dia benar-benar merasa Raka akan semakin mendekatinya. Karena itu, ketika Raka hanya berjarak lima langkah didepannya dia langsung mengancam pria itu.

Raka berhenti, menatap Irene dengan tatapan mengejek dan bibir berkedut. Wajahnya terlihat menyebalkan bagi Irene.

"Wow! Apa kau sangat yakin jika suamimu itu akan bisa membunuhku?" goda Raka sembari menahan tawa.

Irene tersenyum sinis. "Tentu saja. Aku akan mengatakan kelakuanmu pada Diego. Kita lihat setelah ini kau masih bisa bernapas atau tidak."

"Sungguh?"

Irene mengangkat satu alisnya, bersidekap, menatap Raka remeh. "Dengar, aku peringatkan kau untuk keluar. Sekarang."

Raka tersenyum, matanya menatap Irene geli. "Sebenarnya aku juga tidak ingin lama-lama disini."

Irene mengerutkan alis. "Maksudmu?"

Raka tiba-tiba bergerak. Irene langsung panik, matanya menatap nanar pada Raka yang mendekatinya. Semakin dekat. Hingga akhirnya Irene hanya bisa menahan napas ketika dia malah terkunci oleh tubuh kekar Raka. Pria itu berdiri didepan Irene, mengurung wanita itu dengan kedua tangannya.

Irene menggeram. "Lepaskan aku!"

Geraman Irene seakan angin lewat bagi Raka. Raka tidak merespon. Hanya senyum miring yang dia tunjukkan. Kurang ngajar....Melihat itu, Irene tidak bisa menahan emosinya.

"Dasar kau brengsek! Lepaskan aku!"

"Kalau aku tidak ingin melepaskanmu, kau bisa apa?" Raka menyeringai.

Irene mengepalkan tangan, napasnya memburu. Matanya menatap Raka tajam. Sementara Raka kini membalas tatapannya dengan tatapan mata hijau tajamnya yang dingin dan menusuk.

"Asal kau tahu, aku bukan lagi Raka yang bisa dihancurkan dengan mudah oleh suamimu seperti dulu. Kau tidak tahu apa yang sudah aku lakukan untuk merebutmu darinya. Kau bahkan tidak tahu kalau orang terdekatmu sendiri telah ikut membantuku menghancurkan suamimu."

"Orang terdekatku?!" ulang Irene, terkejut. Dia langsung menatap Raka tak percaya.

Raka mengangguk. "Glen Michael. Ayah tirimu yang bodoh itu menjadi anak buahku."

Plak!

Irene tidak bisa menahan diri untuk menampar Raka. Mengabaikan tubuhnya yang gemetar karena kedekatan mereka, mata coklat Irene menatap Raka dengan tatapan tidak terimanya. Raka keterlaluan. Dia pasti berbohong! Sialan, kenapa harus ayah tirinya?!

Irene menarik napas gemetar. "Jangan pernah kau menghina Ayahku! Aku sangat menghormatinya dan menyayanginya. Kau sudah kelewatan, Raka. Beraninya kau menghina Ayahku. Ayahku tidak mungkin seperti itu! Ayahku tidak seperti yang kau bilang! Aku tidak percaya padamu!"

"Ah, aku tidak peduli itu." geram Raka rendah, mengusap pipinya yang merah dengan matanya yang menatap Irene lekat. "Terserah kau percaya atau tidak. Aku hanya mengatakan kebenaran. Kau cukup pintar untuk memikirkan kata-kataku, Irene. Jangan sampai kau menyesal karena terlambat untuk menyadari semuanya. Suamimu itu tidak bisa kau andalkan."

"Kau tidak tahu apa-apa tentang suamiku!" pekik Irene kesal sembari mendorong dada Raka. Perlawanan Irene ternyata percuma, tubuh Raka sama sekali tidak bergerak. Pria itu malah memajukan tubuhnya dan merapatkan tubuh mereka. Ya Tuhan....Irene benar-benar jijik merasakan hembusan napas Raka dilehernya. Irene bahkan tidak berani membuka matanya untuk melihat wajah Raka yang begitu dekat.

Irene mengalihkan wajahnya ke samping sembari menekan punggungnya ke dinding dengan kuat untuk menahan rasa takutnya. "Lepas! Lepaskan aku kumohon...." Irene berkata lirih.

"Jadi, kau memilih percaya pada Ayah tirimu dan tetap menjadi boneka suamimu?" bisik Raka serak, menempelkan hidungnya di leher Irene. Sementara itu, tangan Raka bergerak di paha Irene, mengusapnya pelan hingga naik ke atas.

Irene menggigil hebat ketika Raka menyentuhnya. Dia reflek menjauhkan tangan Raka ketika jemari pria itu hampir menyentuh inti tubuhnya. "Raka, please...." Irene memohon, menggigit bibirnya kuat-kuat.

Irene ingin lepas. Sangat. Raka menakutinya.

"It's okay. Aku akan melepaskanmu karena kau tidak lama lagi akan jatuh ditanganku. Waktu kita masih banyak, Irene."

"Kau benar-benar bajingan!" Irene menghapus genangan air mata yang sempat mengganggu penglihatannya.

"Yes, I am. Aku memang bajingan. Dan bajingan ini mencintaimu. Salahkan dirimu yang membuatku seperti ini, Irene. Salahkan kenapa kau selalu tidak bisa aku dapatkan dengan mudah. Salahkan kenapa kita harus berada di situasi seperti ini. Kau musuhku, sekaligus cintaku."

Irene membeku. Dia benar-benar takut. Dia bahkan tidak bisa melawan ketika Raka mendekatkan kepalanya. Jarak mereka begitu dekat, seolah Raka ingin mencium bibirnya.

Irene tidak ingin Raka menciumnya! Tidak mau! Tubuhnya sudah sepenuhnya milik Diego!

"Before I leave, I wanna kiss you." bisik Raka serak.

Tidak!

Irene membuang wajahnya ke samping, hingga bibir Raka hanya mendarat di pipinya.

Raka tidak keberatan. Lelaki itu justru menikmatinya dengan berlama-lama menempelkan bibirnya di pipi Irene. Seluruh tubuh Irene menggigil. Dalam kondisi tegang itu, mata Irene tanpa sengaja melihat pergelangan tangan Raka yang bebas dan begitu dekat dengan wajahnya.

Dan....

"Shit!" Raka mengumpat karena Irene mengigit pergelangan tangannya.

Belum cukup dengan menggigit tangan Raka, Irene menggunakan kesempatan dari lengahnya Raka dengan menendang selangkangannya.

"Damn it! Are you crazy?!

Irene terpana dengan apa yang dia lakukan, terlebih ketika dia melihat Raka mengerang kesakitan.

"Rasakan!" hardik Irene, menatap marah Raka.

Raka bergerak menjauhi Irene dengan sumpah serapah yang keluar dari mulutnya. Bahkan ketika Raka mengusap miliknya yang sempat on, Raka menatap lurus kepada Irene sembari berkata dengan lancang, "Aku bersumpah akan memasukimu, Irene!"

Deg!

Oh, sial...jantung Irene langsung berdegup kencang. Kata-kata Raka mengejutkannya. Hell, pia bajingan seperti dia berani bersumpah seperti itu? Ha! Raka tidak akan bisa! Bahkan sebelum itu terjadi, Irene akan mengatakan semuanya kepada Diego dan tidak lama lagi Raka dipastikan akan berakhir!

"Sumpahmu tidak akan pernah terjadi." ucap Irene dingin, sedingin matanya yang menatap Raka. "Aku milik Diego Alvaro. Orang lain termasuk kau tidak akan bisa merebut apa yang Diego miliki. Kalau kau berani menyentuhku sekali lagi—" jeda Irene, melangkah ke arah meja rias dan mengambil earphone kecil yang dibuat khusus untuknya, yang langsung terhubung dengan Diego dan Lucas.

Raka mengamati Irene dengan mata memicing.

Irene memasang earphonenya ke telinga, lalu mengaktifkannya sebelum berkata, "Dalam satu menit Diego akan memerintahkan Lucas untuk menangkapmu, dan Diego sendirilah yang akan menghabisimu."

Rak terdiam, tapi tangannya mengepal. Dia membiarkan Irene melanjutkan perkataannya.

"Ayahku tidak mungkin mengkhianatiku dan Ibu. Ayahku tidak mungkin tega membuat diriku kehilangan seorang suami dan menjadi janda. Ayahku juga tidak mungkin mau melihat cucunya tidak punya seorang Ayah. Ibu telah memilih Ayah, pasti Ayah adalah orang yang baik. Tuduhanmu pada Ayahku tidak terbukti. Kau harus dihukum berkali-kali lipat, Raka."

"Oh, kau ingin aku menunjukkan bukti?" tanya Raka cepat, menyeriangi. Tangannya bergerak merogoh saku celana, mengambil ponsel miliknya dan membuka galeri. "Lihatlah ini! Lihat!"

Irene diam, tapi dia menerima ketika Raka mengulurkan ponselnya. Layarnya menampilkan beberapa video yang berisi rekaman pembicaraan Diego dan anak buahnya. Irene yang melihat itu melotot.

Raka tersenyum senang. Pria itu lantas menyentuh layar ponselnya—memutar salah satu video yang baru saja dia dapatkan kemarin malam—sengaja agar Irene melihatnya.

"Kau lihat mereka berempat? Diego, Lucas, Hans, Christian....mereka sedang melakukan rapat rahasia." ucap Raka.

Irene terus mendengarkan, sementara matanya tampak sibuk memperhatikan layar ponsel Raka. Benar. Apa yang dikatakan Raka benar. Orang-orang terdekatnya ada di video ini. Astaga....Ada apa sebenarnya?

"Ah iya, disana juga ada Glen. Dan menurutku, apa yang mereka diskusikan sangat penting. Bahaya sekali jika musuh suamimu sampai mengetahui rencana mereka. By the way, di video ini Ayahmu tidak terekam. Itu artinya..."

Raka menggantungnya kalimatnya. Irene yang seakan paham dengan Raka lantas menggeleng. Irene tidak sanggup. Dadanya sesak.

"Kalau begitu, kau ingin tahu siapa yang merekam sekaligus memberikannya padaku?"

Durasi videonya habis. Irene mendongak menatap Raka. Matanya berkaca-kaca. Dia menggeleng lemah karena tidak ingin mendengar jawaban Raka.

"Irene... Kau ingin tahu?" ulang Raka, menatap Irene tertarik.

Kalimat Raka terdengar kejam ditelinga Irene. Dia juga tengah berusaha menenangkan diri. Tapi, ya Tuhan...dia tidak siap jika benar Ayahnya telah mengkhianatinya.

Karena Irene diam, Raka pun berkata. "Tidak salah lagi. Dia Glen, Ayah tirimu. Sekarang dia menjadi mata-mataku."

Irene menegang. "A—apa?"

Raka mengangguk. "Sungguh menyedihkannya, sekali lagi kau dikhianati oleh keluargamu sendiri. Ayah macam apa dia itu?"

Irene terpancing. Tanpa pikir panjang, Irene melepas sepatunya, lalu melemparkannya ke arah Raka. Meleset. Sepatunya malah mendarat di vas bunga yang terbuat dari emas milik Castle Hotel.

Terkejut. Raka sontak menoleh ke belakang melihat sepatu Irene dan mengadu pandangan dengannya. "Are you lost your mind?!"

Irene sendiri langsung meluruh ke lantai. Tangis Irene pecah, disusul dengan tubuhnya yang bergetar hebat. Raka Mikhailova, pria itu benar-benar sialan.

"Cukup, Raka. Cukup....Kau menyakitiku." mohon Irene sungguh-sungguh berbarengan dengan air mata yang sudah jatuh.

Irene membenci Raka. Sangat membenci Raka.

Raka terdiam ditempatnya. Mata hijaunya memandangi Irene lekat, melihat apa yang Irene tunjukkan—keputus asaannya, frustasinya, kesedihannya. Melihat Irene seperti ini, entah kenapa dia tidak suka. Entah kenapa Raka merasa dia telah salah. Raka bahkan sedang menahan dirinya untuk mendekap Irene erat serta membisikkan kata-kata penenang untuk Irene. Tapi...sialan. Dia malah orang yang membuat Irene seperti ini. Itu gila.

Dan lagi, Raka juga hanya bisa menatap Irene dengan lekat sembari menarik napas dalam. Perasaan Raka campur aduk; cinta, sayang, benci, balas dendam. Semuanya dia rasakan bersamaan. Namun, lebih dari semua itu Raka tidak ingin melihat Irene menangis.

Mungkin cinta Raka pada Irene sangat buruk. Buruk sekali. Di satu sisi dia ingin menghancurkan, tapi di sisi lain dia ingin melindungi.

"Irene..." panggil Raka.

Irene mendongak, menatap Raka di antara air mata yang berlinang. Sorotannya begitu terpukul, membuat Raka kembali dilanda rasa bersalah.

"Ayahmu masih aku biarkan hidup jika kau menutup mulut. Diego tidak boleh tahu apapun yang terjadi di antara kita. Mengerti?"

Irene tidak menjawab, tapi dia yakin Raka dapat melihat kemarahan didalam dirinya dari tangannya yang mengepal dengan tatapan tajam darinya.

"Aku anggap kau mengerti. Jadi, tutup mulutmu itu." tutup Raka, melangkah pergi darisana.

Dasar iblis! Irene sangat ingin membunuh Raka.

To be continued.

✨Berlanjut ke Chapter 79 : Diego and Irene's Wedding Party [3]✨

avataravatar