80 Chapter 77 : Diego and Irene's Wedding Party

•••

"Mmpphh... Diego," Irene mendesah, menikmati perlakuan Diego kepadanya. Jemarinya yang lentik meremas pergelangan tangan Diego yang semakin kuat menyiksa tubuhnya. Irene ingin menjerit. Disela ciuman mereka, tangan suaminya masuk semakin dalam dan berakhir memainkan intinya. Menusuk-nusuknya dengan liar.

Disaat Irene kehabisan oksigen di paru-parunya, tiba-tiba dia merasakan tarikan kasar di lengannya.

"Dasar wanita murahan!"

Irene terkejut. Tubuh lemahnya sedikit goyah ketika dia berusaha untuk berdiri tegak. Irene menoleh, melihat Victoria yang tiba-tiba menarik lengannya dengan sangat kasar. Irene tidak siap menerima perilaku buruk Victoria berikutnya. Reflek, Irene hanya memejamkan matanya melihat Victoria yang langsung mengangkat salah satu tangannya ke atas untuk menampar wajahnya.

"Victoria!" Diego membentak. Pria itu bangkit seraya menahan tangan wanita itu. Diego berdiri di antara Victoria dan Irene. Mata biru Diego menatap Victoria tajam. "Apa yang kau lakukan?!" ucap Diego marah, kemudian menghempaskan tangan Victoria.

Victoria sedikit meringis. Wanita itu membalas tatapan Diego tak kalah tajam. "Dia merayu Raka! Istrimu merayu pacarku!"

"Aku tidak percaya." Diego berkata dingin sembari merapatkan tubuh Irene dengannya.

Victoria menarik napas dalam. "Mr. Alvaro... percaya padaku. Aku tidak mungkin berbohong!"

Irene mendengar itu. Membuat kedua tangan Irene mengepal. Dia sungguh tidak terima Victoria menuduhnya merayu—Wait! Kata-kata Victoria sama sekali tidak benar! Dia merayu pacarnya? Raka Mikhailova?

Is she insane?

Diego menoleh, menatap Irene lekat. Irene menggeleng begitu merasakan tatapan Diego yang seakan menyelami dirinya.

"Aku tidak percaya pada siapapun kecuali istriku." ucap Diego tanpa sedikitpun melepaskan matanya dari Irene. Irene seketika terpana dengan kalimatnya barusan. Kaki Irene lemas. "Dia menyangkal itu. Dan aku percaya." ucap Diego lagi.

Victoria langsung menatapnya tak percaya. Dia bahkan membuka mulutnya lebar-lebar. Wajah Victoria memerah menahan umpatan. "Tapi aku melihat sendiri! Aku lihat Irene dan Raka—"

"Cukup!" sanggah Diego. Seketika itu Victoria langsung diam. Diego melangkah maju, membuat Victoria mundur selangkah. "Hentikan tuduhanmu. Pergi dari rumah Irene." geram Diego rendah.

Victoria menelan ludahnya kasar. Sementara, bulu halusnya berdiri mendengar suara Diego. Perkataannya seperti ancaman. Merasa terpojokkan, Victoria melemparkan tatapan marahnya pada Irene. Diego menggeram, matanya memicing melihat cara Victoria ketika memandang Irene—penuh kebencian. Diego tidak suka.

"Aku bilang, pergi, Victoria Jenner." ucap Diego dengan kilatan dimatanya.

Victoria tidak tahan dengan Diego, tatapan pria itu benar-benar menyeramkan, membuatnya takut. Namun, Victoria berusaha menyembunyikan ketakutannya dengan mengepalkan tangan—menunjukkan emosinya. Victoria membatin kesal dalam hati—Aku tidak akan membiarkanmu mendapatkan Raka! Raka hanya milikku! Raka tidak mungkin masih mencintaimu!—seperti itu.

Dengan masih menyisakan rasa benci, Victoria mendelik tajam pada Irene.

"Go die, Bae Irene!" Victoria menunjuk wajah Irene dengan murka.

Victoria kemudian pergi meninggalkan mereka. Dia menutup pintu dengan membantingnya cukup keras.

Kepergian Victoria membuat suasana menjadi canggung. Irene masih berdiri di belakang Diego dengan wajah bingung. Irene tidak habis pikir. Di benaknya masih memikirkan tuduhan Victoria kepadanya. Ada apa dengan Victoria? Lalu kenapa Victoria sampai menunduhnya?

Irene bahkan tidak pernah mendekati Raka, apalagi merayunya. Itu sama sekali tidak pernah Irene bayangkan untuk dia lakukan. Justru sebaliknya, Irene sangat anti terhadap Raka. Irene selalu ingin berada jauh dari Raka. Raka bukan orang baik, dan Irene tahu itu.

Dan karena Raka yang menerornya beberapa waktu yang lalu, sudah cukup membuat Irene tidak ingin melihat pria itu lagi.

"Aku melakukan apa yang seharusnya aku lakukan," Diego berkata lugas dan terkesan begitu santai seolah perkataan Victoria sama sekali tidak berpengaruh baginya.

"Kau tidak marah padaku?" Irene bertanya pelan.

Diego malah tersenyum. "Tentu, sayang. Kau tidak salah. Kenapa aku harus marah?"

Irene menatap Diego, merasakan nadinya berdenyut melihat cara Diego menatapnya lembut. Irene berdehem, mengalihkan pandangan—membiarkan Diego dengan pikiran tentang dirinya yang seperti apa—Irene tidak peduli. Irene yakin Diego percaya bahwa dia tidak mungkin melakukan apa yang Victoria katakan.

"Lupakan Victoria. Anggap dia tidak pernah kesini," pinta Diego, bergerak memeluk Irene, lalu berbisik di telinganya. "Istriku tidak seperti itu. Aku sangat mengenalinya."

Irene menoleh—menatap Diego haru sembari menggigit bibir bawah—kehilangan kata-kata. Benaknya menghangat, tidak menyangka akan perlakuan Diego kepadanya. Tuduhan Victoria sempat membuat Irene cemas, Irene takut jika Diego percaya dengan wanita itu. Irene ingin menjelaskan, tapi melihat Diego yang memperlakukannya layaknya Ratu, Irene tidak memiliki kesempatan.

"Irene...." panggilan Diego membuat Irene kembali menoleh. Lelaki itu menarik pinggangnya, mengikis jarak mereka—mata Diego masih berpendar hangat, menatapnya lekat.

"Aku bertaruh nyawa untuk mendapatkanmu. Katakan, bagaimana bisa hanya sebuah kata sanggup membuatku melupakan cintaku?" bisik Diego serak, menggentarkan saraf Irene.

Jantung Irene berdebar, Irene tidak kuat.

Beberapa jam kemudian...

Diego kini tengah sendirian di ruangan pribadinya. Lelaki itu duduk sembari membaca berkas-berkas yang berisi beberapa laporan keuangannya yang sedikit dihabiskan dengan 10 juta USD atau sekitar 148 miliar rupiah hanya untuk biaya pesta pernikahan. Sisanya berisi laporan keuangannya yang per detik, uang legalnya bertambah 100 ribu USD atau sekitar 1,4 miliar rupiah, sedangkan untuk 'uang ilegal' yang masuk ke Diego itu sekitar 1000 USD atau 14,8 juta rupiah.

Saking banyaknya, kekayaan Diego tidak bisa dihitung. Diego sendiri tidak mau menghitung uangnya, katanya itu sangat merepotkan. Dia akan merasa pusing sendiri jika melihat data-data keuangannya.

Well, seperti sekarang, kepala Diego mendadak pusing. Karena itu dia segera meminta Christian untuk menyiapkan secangkir teh hangat. Dia juga meminta Christian untuk memeriksa berkas-berkas keparat yang berada di tangannya ini. Ketika pelayan setianya itu datang, Diego langsung menyerahkannya, menyenderkan punggungnya di sandaran kuris panjang yang dia duduki, lalu memejamkan matanya erat-erat. Selang beberapa detik, Diego meminum tehnya.

"Periksa daftarnya, Chris. Untuk pesta, pastikan tidak ada yang terlewat. Lebihkan jika ada yang terlihat kurang. Irene alergi daging ayam, jangan sediakan hidangan itu untuk jadwal makannya." perintah Diego. "Beritahu juga pada Lucas, kalau aku ingin pengawasan pada Irene diperketat. Suruh dia sendiri yang menjaga Irene, dibantu tim X. Tim A dan B yang mengatur keamanan pesta sampai selesai. Ingatkan mereka, jangan pernah terima tamu yang tidak membawa undangan." perintah Diego lagi, menatap Christian serius.

Christian mengangguk paham, setiap kata Diego sudah dia rekam dikepalanya. "Baik, Tuan."

"Satu lagi. Tentang Victoria, aku ingin menghukumnya." ucap Diego, suaranya berubah dingin. Matanya juga berubah menjadi gelap ketika Diego mengatakan, "Dalam waktu dua puluh empat jam, jatuhkan perusahaan Ayahnya. Aku ingin melihat wanita dengan mulut kurang ngajar itu jadi gelandangan di jalanan." perintah Diego tak terbantahkan.

Oh, Jesus... Christian hanya bisa mengangguk patuh mendengar kalimat Diego. Dalam benaknya, dia mengasihani Victoria. Gadis yang bahkan masih bukan apa-apa itu, nekat mengusik Tuannya. Bisa dibilang, Victoria cari mati. Dan Christian benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikiran Victoria. Stupid!

•••

On airplanes.

Pesawat jet pribadi milik Diego sudah mengudara. Diego, Irene, Christian dan Lucas berada di pesawat itu. Sementara, keluarga Alvaro beserta keluarga Irene berada di pesawat jet yang berbeda. Kedua pesawat itu pergi sekitar jam sembilan malam dengan tujuan pergi ke Tiongkok—tempat dimana pesta pernikahan Diego dan Irene diselenggarakan.

Lalu sekarang, langit tampak cerah karena waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Penerbangan dari Jakarta ke Tiongkok membutuhkan waktu sekitar 18 jam 30 menit. Itu berarti, 7 jam 30 menit lagi untuk mereka sampai di Dalian—Kota yang berada di Tiongkok.

"Diego....kenapa lama sekali?" keluh Irene. Wanita itu duduk dipangkuan Diego, menarik Diego ke pelukan kemudian membenamkan wajahnya ke curuk leher Diego. "Kapan kita sampai?"

"Sebentar lagi, sayang." Diego tersenyum lembut, membelai rambut dan punggung Irene. "Christian bilang setengah jam lagi."

"Setengah jam?!" ulang Irene, setengah memekik. Matanya berbinar karena senang. "Aku tidak sabar, Diego! Aku ingin lihat hotel yang mirip istana itu. Katamu, kau akan mengadakan pesta pernikahan kita disana kan?"

Diego tertawa pelan, mengecup kening Irene. "Iya. Disana kita akan merayakannya." ucap Diego, matanya berkilat—seakan menegaskan kata-katanya. "Pesta kita akan jadi pesta paling megah yang pernah ada di dunia." ucapnya lagi, penuh janji.

•••

At Castle Hotel. West Binai Road No.600, Shahekou, Dalian—Tiongkok. 03:10 PM.

Mobil sport mewah bermerek Mercedes Benz Maybach Exelero itu melaju lambat, memutari area air mancur berbentuk lingkaran, memimpin iringan-iringan mobil mewah lainnya dengan berada di posisi paling depan. Mobil-mobil itu juga berhenti tepat di forecourt Castle Hotel. Beberapa bodyguard yang menaiki motor besar berwarna hitam yang berjaga langsung membentuk formasi; lingkaran oval, ketika rombongan Alvaro telah sampai—sengaja dilakukan agar kerumunan wartawan yang sudah menunggu di lobi hotel tidak dapat mendekati Diego dan Irene yang hendak keluar dari mobil mewah itu.

Irene mengintip dari jendela, menatap menembus karpet merah. Dia langsung terkejut karena melihat banyak sekali orang-orang diluar. Kebanyakan dari mereka adalah wartawan. Menarik napas panjang, Irene mengalihkan matanya pada Diego. Diego ternyata sedang menatapnya. Alisnya terangkat satu. "Siap untuk keluar, My Princess?" tanya Diego, mengulurkan tangannya.

Irene tersenyum, mengangguk. Mengambil uluran tangan Diego. "Tentu."

Lalu disana, para wartawan itu terlihat sudah menunggu—bersiap dengan siapa yang akan keluar. Benar saja, ketika Christian dan Lucas keluar lebih dulu, kilatan blitz langsung menghujani mereka.

"Aku kira mereka tidak akan kemari." ucap Irene pada Diego.

Diego tersenyum tipis, mencium pelipis dan pipi Irene. "Aku juga. Tapi biarkan saja, itu demi makanan mereka."

"Maksudmu?" Irene mengernyit.

Diego menyeringai. "Biasa. Kepopuleran kita menjadi makanan mereka. Kalau tidak, mereka kelaparan."

Irene menatap Diego seakan dia sudah gila. "Ugh! Keras sekali hidup mereka. Aku tidak bisa membayangkan harus desak-desakan hanya untuk merekam apa yang artis lakukan."

Diego tersenyum kecil menatap ekspresi Irene. Wajah cantiknya tampak lebih cantik saat ini. Diego kemudian berjalan keluar dan memutari mobilnya—membuka pintu mobil, dan mengulurkan tangannya ke arah Irene. Cincin kawinnya berkilau terkena cahaya sebelum Irene meraih jemarinya.

Diego pun menggenggam tangan Irene. Seketika itu Irene mendengar suara jepretan kamera bersahutan, belum lagi badai blitz yang menghujami Diego. Wartawan bahkan lebih riuh dibanding ketika Christian dan Lucas muncul.

"Mr. Alvaro! Kami sangat takjub mendengar Anda akan menggelar pesta di hotel istana ini!" teriak salah satu wartawan, dia seorang lelaki, sambil mengambil gambar Diego dengan kamera besar.

Wartawan wanita disampingnya ikut menyahut. "Tuan Diego, bisakah Anda memberitahu kami berapa harga sewa hotel ini?" teriaknya keras.

Suasana makin tak terkendalikan ketika Irene keluar. Irene berdiri di samping Diego, membiarkan lelaki itu menggenggam tangannya. Silau. Irene merasa tidak nyaman di kelilingi mereka, dia juga merasa kilatan kamera dan pertanyaan makin menjadi. Wanita itu berusaha keras untuk tersenyum meskipun matanya susah terbuka.

Tidak tinggal diam, para bodyguardpun bersiap—langsung menjaga di depan Diego dan Irene yang kini tengah berjalan di atas karpet merah yang ada di depan pintu masuk hotel. Kerumunan wartawan pun mengejar mereka hingga berhenti karena dibatasi garis pembatas yang sudah ada dikedua sisi karpet merah. Kilatan blitz kamera mereka makin buas ketika mendapati Diego Alvaro menghela Irene masuk sembari memeluk pinggangnya posesif.

"Mrs. Alvaro! Anda tetap cantik memakai baju santai itu! Apa rahasianya, Mrs?"

"Nyonya Irene! Kami ingin mewancaraimu! Lihatlah kemari!"

"Kami seperti melihat Dewi! Mrs. Alvaro, Anda cantik sekali!"

"Sir! Kami dengar istri Anda mengandung bayi kembar, bisakah Anda memberitahu kami berapa usia kandungan—" dan lain-lain. Tidak jelas. Suaranya bahkan mulai menghilang. Diego terus berjalan dan mengabaikan mereka. Tapi, dibalik itu semua Irene tahu jelas bahwa Diego sempat merespon—bibir lelaki itu tersenyum, yang langsung membuat semua wartawan wanita menjerit keras.

Menyebalkan.

Irene menatap Diego sebal. "Diego!"

"Huh?"

"Aku tidak menyangka wanita-wanita itu berteriak karena melihat senyumanmu. Aku tidak suka. Jangan pernah tersenyum didepan mereka lagi." gerutu Irene dengan bibir maju.

Tidak hanya Diego, kata-katanya membuat semua orang menoleh. Mereka menatap Irene sebentar. Hanya Diego yang bertahan. Lelaki itu tersenyum kecil, menatap Irene dengan senyuman geli. "My Princess marah?"

"Tidak!"

"Benarkah?"

Irene belum menanggapi lagi ketika matanya melihat pemandangan di depan. Wanita itu melangkah pelan ke depan dengan mata yang bergerak menatap seluruh ruangan. Beberapa detik kemudian Irene terdiam ditempatnya. Diego ikut berhenti ketika Irene berjalan tanpa sadar sembari menatap Irene lekat. Diego berjalan ke arah Irene, berdiri disebelahnya, lalu melingkarkan lengannya yang bebas di pinggang Irene.

Mereka sudah berada di ruangan utama hotel. Irene menatap ruangan itu dengan takjub. Indah sekali. Meskipun pesta pernikahan mereka diadakan nanti malam, suasana ruangannya sudah indah. Irene tidak bisa membayangkan akan seindah apa jika ruangan indah ini sudah dihias untuk pesta pernikahannya?

Dan setelah itu Irene kembali melanjutkan langkah, ketika tiba-tiba saja Diego langsung menarik tangannya untuk ikut dengannya.

Irene terkejut dengan Diego. Lelaki itu membawanya menjauh dari ruangan. Irene tidak terima! Dia masih belum puas melihat pemandangan indah itu.

Irene menatap punggung Diego kesal. "Kau mau membawaku kemana?!" pekiknya.

"Kamar!" jawab Diego cepat, menyeringai.

Sementara Irene, dia melongo mendengar itu.

To be continued.

JANGAN LUPA LIKE DAN KOMEN YA GAISS<3

SEMOGA SUKA! TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA! TERIMAKASIH JUGA YANG UDAH NUNGGUIN UPDATE-AN😭😭

See you soon! Sayang kalian!💞

✨Berlanjut ke Chapter 78 : Diego and Irene's Wedding Party [2]✨

avataravatar
Next chapter